Serangan militer Amerika Serikat terhadap instalasi strategis di Iran pada Juni 2025 kembali membakar ketegangan geopolitik di kawasan Timur Tengah. Di tengah dunia yang belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi dan krisis energi global, tindakan agresif ini memicu gelombang kecemasan, bukan hanya dari sisi politik dan keamanan, tapi juga dari sisi ekonomi dunia yang kian rapuh.
Serangan ini bukan kejutan. Sudah lama relasi Washington-Teheran mengalami pasang surut sejak penarikan diri AS dari perjanjian nuklir JCPOA di era Donald Trump. Namun, insiden terbaru ini, yang diklaim AS sebagai “serangan pencegahan atas ancaman strategis Iran terhadap pangkalan-pangkalan AS di Irak,” justru menunjukkan bahwa kepentingan ekonomi dan dominasi politik menjadi motif nyata di balik kampanye militer tersebut.
Skenario Serangan dan Dampak Langsung
Iran adalah salah satu produsen minyak terbesar dunia, dengan cadangan mencapai lebih dari 150 miliar barel. Konflik yang melibatkan negara ini, apalagi ketika menyangkut Selat Hormuz, jalur perairan strategis tempat sepertiga ekspor minyak dunia melewati secara otomatis memicu lonjakan harga minyak global.
Dan benar saja, hanya dalam 24 jam pasca serangan, harga minyak mentah Brent melambung dari USD 82 menjadi USD 97 per barel. Ini bukan hanya angka; ini adalah sinyal krisis yang siap menyentuh seluruh lapisan ekonomi dunia.
Dampak kenaikan harga minyak sangat terasa pada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Lonjakan harga energi akan mendorong inflasi, memperbesar beban subsidi energi pemerintah, dan menyulitkan daya beli masyarakat.
Pemerintah Indonesia pun sudah mengisyaratkan kemungkinan penyesuaian APBN, terutama pada sektor energi, karena asumsi dasar harga minyak dunia bisa tidak relevan lagi jika konflik berkepanjangan.
Baca Juga: Konflik Iran-Israel dan Kedaulatan Negara
Ironisnya, Amerika Serikat justru diuntungkan dari skenario ini. Sebagai eksportir minyak dan gas terbesar kedua di dunia, konflik ini mendorong harga komoditas energi mereka naik dan secara tidak langsung memperkuat dolar AS sebagai mata uang perdagangan global. Kapitalisasi pasar energi mereka tumbuh pesat, sementara negara-negara pengimpor seperti Indonesia justru harus membayar lebih mahal dengan cadangan devisa yang tergerus.
Krisis Global yang Sistemik
Serangan ini juga menyulut ketidakstabilan pasar saham. Bursa Asia mengalami penurunan tajam, IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) sempat anjlok 2,1% dalam sehari, dan investor asing mulai menarik dananya dari pasar negara berkembang menuju aset-aset safe haven seperti emas dan dolar AS.
Hal ini memicu kekhawatiran akan capital outflow yang semakin besar dari Indonesia. Sektor riil pun mulai mengalami tekanan. Biaya logistik naik, harga bahan baku impor meningkat, dan laju inflasi diprediksi akan menembus batas aman Bank Indonesia. Jika situasi ini terus berlangsung, ancaman stagflasi; gabungan stagnasi ekonomi dan inflasi tinggi bisa menjadi kenyataan di tahun 2025.
Lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia juga mulai revisi proyeksi pertumbuhan global. Dunia semakin sadar bahwa konflik geopolitik tidak bisa dipisahkan dari stabilitas ekonomi. Ketika negara adikuasa menggunakan kekuatan militer demi mempertahankan pengaruh politik dan ekonomi, yang paling rentan terkena dampaknya justru adalah negara-negara Global South seperti Indonesia.
Baca Juga: Framing Media dan Stereotip Global: Belajar dari Konflik Israel–Iran
Dampak terhadap Ekonomi Indonesia
Indonesia, sebagai negara pengimpor minyak sangat rentan terhadap kenaikan harga minyak akibat konflik AS-Iran. Pemerintah perlu menetapkan langkah-langkah antisipatif untuk mengurangi dampak negatif terhadap perekonomian nasional, misalnya dengan diversifikasi sumber energi dan pengendalian inflasi.
Selain itu, Indonesia juga perlu memperkuat kerja sama ekonomi dengan negara-negara lain untuk mengurangi ketergantungan pada rantai pasokan yang rawan konflik. Penguatan sektor ekonomi domestik dan peningkatan daya saing produk dalam negeri juga sangat penting untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi global.
Refleksi Mahasiswa Jangan Apatis
Sebagai mahasiswa, kita tak boleh hanya mengutuk atau bertepuk tangan dari kejauhan. Gejolak seperti ini harus menjadi bahan refleksi tentang bagaimana sistem ekonomi dunia bekerja: bahwa stabilitas harga di kantin kampus kita bisa jadi ditentukan oleh ledakan rudal di kawasan lain. Bahwa dunia ini terhubung, dan krisis di satu negara bisa menjadi domino kehancuran di negara lain.
Baca Juga: Serangan Israel Picu Ancaman Iran Tutup Selat Hormuz: Waspada Dampak Ekonomi
Di tengah gempuran narasi “perang untuk keamanan,” kita harus tetap kritis. Jangan sampai ekonomi dijadikan dalih untuk membenarkan kekerasan. Dunia butuh solusi damai dan adil, bukan dominasi sepihak. Mahasiswa Indonesia punya tanggung jawab untuk mengawal diskursus ini, bukan hanya di ruang kelas, tapi juga di ruang publik.
Kesimpulan
Serangan Amerika terhadap Iran adalah babak baru dalam ketegangan global yang sarat kepentingan. Tapi di balik itu, tersembunyi wajah ekonomi yang timpang dan sistem global yang rapuh. Indonesia harus siaga, bukan hanya dengan kebijakan ekonomi yang adaptif, tapi juga dengan visi politik luar negeri yang berani dan bermartabat. Di tengah badai geopolitik, suara mahasiswa harus tetap lantang karena masa depan dunia tak boleh hanya ditentukan oleh kekuatan militer, tapi juga oleh nurani kemanusiaan.
Penulis: Ailsa Nahdah Khairunnisa
Mahasiswa Program Manajemen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News