Tiga bulan menuju tahun 2024, suasana politik di Indonesia semakin memanas. Pasangan bakal calon presiden (capres) dan cawapres semakin bersaing untuk bisa menduduki kursi kepresidenan.
Dominasi suara dipegang oleh generasi Milenial dan Gen Z, anak kemarin sore yang baru berkecimpung dalam dunia politik.
Menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebanyak 56,45 persen dari total pemilih bera sal dari dua generasi ini. Memutar otak, paduan kata yang tepat bagi para calon untuk menggambarkan pemilu 2024 mendatang.
Para bakal calon presiden (capres) dan wakil calon presiden (wacapres) rata-rata berasal dari generasi Baby Boomers harus menyesuaikan diri dengan transformasi komunikasi ala Generasi Z dan Milenial.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dua generasi ini sangat piawai dalam hal teknologi. Namun ironinya, kepiawaian ini menjadi pisau bermata dua bagi dunia politik Indonesia.
Pada Gen Z maupun Milenial, sikap yang terkesan kurang peduli pada partisipasi pemilu tampak dari mereka. Teknologi adalah salah satu yang menarik di matanya.
Baginya smartphone adalah teman hidup, itu adalah kata yang cocok untuk penggunaan smartphone bagi Gen Z dan Milenial.
Tetapi, isu politik adalah isu yang ramai diperbincangkan para generasi muda di smartphone-nya. Sikap ini menunjukkan bahwa generasi muda Indonesia peduli pada politik namun kurang tertarik berpartisipasi.
Demonstrasi mahasiswa adalah salah satu bukti kepedulian generasi muda pada dunia politik Indonesia. Mahasiswa turun ke jalan untuk menyuarakan kegelisahan mereka terkait sejumlah isu di Indonesia.
Harapan tinggi dilambungkan namun sayang terkadang di dengar terkadang tidak. Hal ini membuat generasi muda takut untuk percaya pada janji-janji palsu sehingga banyak yang tidak tertarik lagi dengan dunia politik.
Ketakutan ini adalah tantangan para bakal capres dan cawapres. Kini kebanyakan generasi muda hanya menanggapi politik dengan komentar dan cuitan di media sosial nya.
Generasi muda diketahui suka komunikasi yang humanis. Komunikasi yang tidak egois dan individualis. Mendengarkan mereka membuat generasi muda merasa mendapat ruang untuk menunjukkan eksistensinya (SPADA Indonesia, 2021).
Ganjar Pranowo, bakal capres yang menduduki posisi teratas dalam survey Litbang Kompas periode agustus 2023 lalu, hadir pada acara HUT ke-10 Tribun Jateng pada bulan Mei di Semarang.
Politisi yang pernah menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah tersebut mengungkapkan fakta bahwa pemilih dari Generasi Z sulit diprediksi sehingga menjadi tantangan bagi marketing politisi.
Para Capres dan Cawapres tidak punya pilihan selain mengikuti cara bermain Gen Z dan Milenial. Meningkatkan partisipasi politik dua generasi melalui komunikasi inovatif dan kreatif serta memanfaatkan kelajuan teknologi saat ini adalah jawaban untuk bisa memikat hati generasi ini.
Media sosial adalah sarana yang tidak asing lagi di era penuh teknologi. Perannya dianggap memengaruhi perilaku dan pola pikir penggunanya karena hal-hal berbau positif dan negatif tercampur baur.
Kebebasan berpendapat tanpa resah bagi siapapun serta hoaxs dan penipuan adalah hal yang sudah biasa dan menjadi bagian dari media sosial.
Prabowo Subianto, salah satu bacapres yang berpartisipasi dalam pemilu 2024 mengalahkan para calon lainnya dalam menggapai suara Gen Z.
Survei yang dilaksanakan oleh Litbang Kompas pada Mei lalu menunjukkan bahwa kebanyakan pemilihnya adalah Gen Z.
Laman komentar pada feed Instagram yang mengangkat berita ini dibanjiri komentar. Begitupula cuitan di Twitter. Mereka mengatakan bahwa ada beberapa alasan mengapa mereka memilih Prabowo.
(Sumber: https://www.instagram.com/prabowo/)
“Soalnya feed instagram pak Prabowo aesthetic” ujar salah satu pengguna twitter yang berasal dari Gen Z. Alasan yang simple namun berhasil membuat Prabowo menduduki posisi teratas dalam survey.
Penting untuk para bakal capres dan cawapres mengetahui apa ketertarikan muda-mudi generasi saat ini. Jika pendekatan dengan mendatangi pemuda tidak mempan lagi, pendekatan kreatif melalui konten yang menarik dapat menjadi pilihan untuk menggaet Gen Z dan Milenial.
Selain itu, mengubah gaya baik gaya bicara ataupun penampilan yang mengikuti perkembangan zaman dapat menjadi nilai plus bagi bacapres dan wacapres di mata generasi muda.
Tetapi semua usaha yang telah diupayakan bisa menjadi tidak berguna jika dari Generasi Z menolak mengenal seluk beluk pemilu 2024.
Kegelisahan akan janji-janji palsu yang manis masih terbayang jelas. Tetapi, masa depan Indonesia berada di genggaman para muda mudi. Indonesia emas yang diimpi-impikan oleh Masyarakat dan pemimpin Indonesia sejak dulu dapat menjadi sebatas harapan kosong.
Seluruh elemen Masyarakat khususnya bakal calon harus bertindak lebih jelas agar ketakutan generasi muda dapat teratasi.
Generasi muda mudi juga tidak boleh tutup mata karena hal ini. Generasi muda harus melek politik dan meningkatkan literasi.
Seluruh elemen Masyarakat harus bersatu dengan niat baik merealisasikan mimpi panjang negara ini. Memilih dengan bijak pemimpin yang siap merealisasikan nya adalah tugas utama seluruh elemen Masyarakat khususnya generasi muda.
Penulis: Naura Zakia
Mahasiswi Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Andalas
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi