Bahasa Ibu Sebagai Bagian dari Karakter Bangsa

Close up of mixed race mother kissing baby on forehead

Bahasa ibu adalah bahasa pertama yang diperoleh dan dikuasai seseorang. Menurut para ahli, bahasa ibu merupakan dasar cara berpikir seseorang.

Oleh karena itu, pada tahap-tahap awal perkembangan diri seseorang, peran bahasa ibu sangat menentukan. Biasanya, seseorang yang penguasaan bahasa ibunya rendah akan mengalami kesulitan dalam pemerolehan pengetahuan, lebih-lebih jika pengetahuan itu disampaikan dengan bahasa lain. Sebaliknya, siswa yang belajar di sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar, cenderung tidak mengalami kesulitan dalam mengikuti kegiatan belajar-mengajar (Cummins, 1989).

Setiap tahun rata-rata hasil ujian siswa-siswa di kota itu secara signifikan lebih buruk daripada rata-rata hasil ujian siswa di lain tempat di Belanda (bukan perbatasan). Hal itu terjadi karena bahasa pengantar pada sekolah-sekolah di pinggiran tersebut adalah bahasa Belanda baku. Padahal, dalam kehidupan sehari-hari siswa pada sekolah-sekolah di perbatasan itu menggunakan bahasa campuran: Belanda-Jerman yang secara signifikan berbeda dengan bahasa Belanda baku. Baru setelah bahasa daerah setempat digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah, prestasi belajar siswa membaik.

Bacaan Lainnya

Amatan para ahli bahasa itu tentu sangat menggelisahkan karena sekolah-sekolah di Indonesia (tidak terkecuali sekolah dasar) justru sedang ngetren berlomba untuk menjadi sekolah (berstandar) internasional yang menggunakan bahasa asing sebagai bahasa pengantarnya. Kondisi seperti itu tidak hanya mengancam keberadaan bahasa daerah, tetapi juga bahasa Indonesia. Padahal, kedua bahasa itu (daerah dan Indonesia) masih menjadi bahasa ibu sebagian besar bangsa Indonesia.

Dalam konteks Indonesia, bahasa ibu identik dengan bahasa daerah. Masyarakat Indonesia (khususnya yang tinggal di daerah-daerah pedesaan, kampung-kampung, kota-kota kecil, bahkan kota-kota besar yang terletak di daerah etnisitas tertentu) adalah bilingual. Umumnya mereka menguasai dua bahasa, yaitu bahasa yang mereka gunakan dalam kehidupan sosial antarpenutur bahasa daerahnya dan bahasa Indonesia sebagai bahasa kegiatan sosial maupun resmi antarwarga negara tanpa melihat asal usul etnisitasnya. Meskipun demikian, kenyataan yang kita pahami di Indonesia, bahasa ibu selalu dikaitkan dengan bahasa daerah yang dituturkan oleh suatu kelompok (etnis) tertentu yang memilikinya.

Fungsi Bahasa Daerah (Ibu)
Salah satu keputusan yang bersifat politis yang dihasilkan Seminar Politik Bahasa tahun 2000 adalah ditentukannya fungsi bahasa daerah sebagai: (a) lambang kebanggaan daerah, (b) lambang identitas daerah, (c) alat perhubungan dalam komunikasi di keluarga dan masyarakat, (d) sarana pendukung budaya daerah dan bahasa Indonesia, (e) pendukung sastra daerah dan sastra Indonesia.

Selain itu, dalam hubungannya dengan bahasa nasional, bahasa daerah berfungsi sebagai: (a) pendukung bahasa nasional, (b) bahasa pengantar di sekolah dasar di daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran lain, dan (c) sumber kebahasaan untuk memperkaya bahasa Indonesia, serta (d) dalam keadaan tertentu dapat berfungsi sebagai pelengkap bahasa Indonesia di dalam penyelenggaraan pemerintahan pada tingkat daerah (Alwi dan Dendy Soegono, 2000).

Rumusan fungsi bahasa daerah dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia, dengan demikian, mengandung pengertian bahwa dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) tidak diperkenankan menggunakan bahasa daerah, kecuali pada daerah-daerah tertentu karena faktor-faktor tertentu, misalnya daerah itu belum terjangkau sarana komunikasi, seperti radio dan televisi, sehingga sebagian besar penuturnya hanya mengenal bahasa daerah setempat.

Kebijakan seperti itu setidaknya akan memunculkan dua kemungkinan: Pertama, secara psikologis akan membentuk persepsi peserta didik bahwa bahasa dan kultur yang mereka miliki yang terekam dalam bahasa ibu mereka dianggap kurang/tidak penting, dan kedua, secara tidak langsung akan membentuk pola berpikir negatif penutur bahasa daerah terhadap bahasa ibunya dan sekaligus akan mengurangi kebanggaan mereka terhadap bahasa dan kulturnya.

Artinya, jika benar-benar dilaksanakan, kebijakan itu justru tidak mendukung berbagai upaya yang telah dicanangkan dalam rangka pencapaian tujuan pengajaran bahasa daerah seperti yang dirumuskan dalam kebijakan Politik Bahasa Nasional. Atas dasar itu, pemakaian bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pada taman kanak-kanak dan pada tingkat permulaan di sekolah dasar (kelas 1-3) serta pemberian mata pelajaran bahasa daerah sebagai salah satu materi pelajaran di semua jenjang pendidikan patut dipertimbangkan.

Konon, di samping diperkuat oleh konsentrasi pembinaan bahasa yang dilakukan oleh Badan Bahasa yang cenderung lebih berat pada pembinaan bahasa Indonesia kemerosotan penggunaan bahasa daerah juga disebabkan oleh sikap penutur bahasa daerah yang kurang positif terhadap bahasa daerahnya.

Sikap itu, di samping disebabkan oleh sebagian besar penutur bahasa daerah yang relatif kecil jumlahnya (dan karena itu memandang dirinya sebagai kelompok minoritas yang kurang berprestasi), juga semakin dominannya pemakaian bahasa nasional (BI) dalam berbagai aspek kehidupan. Padahal, jika bahasa daerah menghilang dari rentangan perbendaharaan bahasa rakyat Indonesia, akan turut menghilang pula berbagai nilai-nilai/kearifan lokal yang terekam dalam bahasa-bahasa daerah itu (Soedarmo, 2003).

Firdaus Anwar
Mahasiswa Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan
Universitas Negeri Semarang.

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI

Komentar ditutup.