Perjalanan perempuan dalam menuntut haknya agar dapat disetarakan dengan laki-laki agaknya mengalami banyak lika-liku. Dari ungkapan bahwa perempuan itu kerjanya hanya sebatas macak, manak, masak (M3) sampai anggapan bahwa perempuan itu adalah gender sekunder alias jenis manusia yang hanya menjadi cadangan atau menjadi nomer dua.
Tidak hanya dalam taraf keluarga atau anggapan orang-orang saja, bahkan dalam ruang lingkup grup Whatsapp atau chat-chat online pun ya mereka sering mendapat gangguan macam-macam. Entah, apa memang para perempuan itu suka ambil hati atau memang laki-lakinya saja yang kelewatan, aku dak tahu.
Seperti di siang itu, ada yang aneh dari salah satu grup yang ada di Whatsapp saya. Tidak biasanya rame sampai memunculkan chat hingga bilangan seratus-san, apalagi tidak ada saya ketika itu yang biasanya ngerameni grup. Dan ternyata, ketika discrol lagi ke atas, ada sebuah tragedi emosional yang mengakibatkan hengkangnya salah satu anggota dari grup itu, ya dia leave grup alias go out atau keluar grup.
Orang yang mengeluarkan dirinya sendiri dari grup itu perempuan. Ya yang saya simpulkan sih gara-gara faktor emosional. Dia tersinggung dan ya mengalami “kemaluan” dan mungkin rasa bersalah kemudian hufff dia keluar. Gara-garanya ada salah seorang teman laki-laki saya yang mengomentari pesan perempuan tadi di grup yang agak menyinggung masa lalunya gitu. Mungkin niatnya sih guyon tapi yang namanya masa lalu ya, bukan guyonan yang lucu guys, apalagi bagi orang-orang tertetu. Kemudian si cewek tadi ngambek dan teman cowok saya mencoba meminta maaf dengan segenap kerendahan hatinya. Tapi usahanya kandas sampai si perempuan tadi keluar grup. Bahkan teman laki-laki saya tadi nomornya diblokir oleh si cewek.
Lalu banyak mucul chat dari orang-orang dan penghuni grup yang lain merespon tragedi tersebut. Intinya ada yang menyayangkan bahwa sikap teman laki-laki saya itu kurang tepat. Menariknya, ada orang yang berkomentar: “Kamu sih lupa kalo kodrat lelaki itu adalah pihak yang seyogyanya selalu disalahkan.” Saya pun teringat bahwa akhir-akhir ini muncul sebuah rumor yang paling tidak redaksinya begini: “Perempuan itu selalu benar.”
Bahkan, banyak meme tentang stigma dan anggapan tentang perempuan selalu benar tadi. “Kalau cowok main sama cewek lain ceweknya ngambek. Kalau cewek dilarang main dengan temannya, cowoknya dituduh posesif keterlaluan. Kalau cowok ungkit-ungkit masa lalu ceweknya akan mutusin. Kalau cewek ungkit-ungkit masa lalu cowoknya diminta harus pengertian. Kalau cowok lupa itu salah cowok kenapa teledor. Kkalau cewek lupa itu juga salah cowoknya kenapa gak ngingetin. Kalau cowok diselingkuhi wajar, siapa yang suruh jelek kata ceweknya. Tapi kalau cewek yang diselingkuhi, cewek akan bilang semua cowok sama aja.” Demikianlah sebuah kutipan dari acara yang kerap dulu disukai banyak orang, ILK (Indonesia Lawak Klub).
Sampai muncul pasal: bahwa pasal pertama, perempuan selalu benar. Bila perempuan salah maka kembali ke pasal pertama. Kalaupun laki-laki itu benar masih lebih benar perempuan.
Sekilas, mungkin bisa kita anggap ini adalah salah satu pencapaian emansipasi atau bahkan lebih. Ketika lelaki selalu salah dan perempuan selalu benar, di sanalah saat kemenangan kaum perempuan. Tapi perlu kita lihat lagi, agaknya anggapan bahwa perempuan selalu benar ini tidak mesti melambangkan bahwa wanita sudah saatnya mendominasi laki-laki. Pertanyaan yang harus dipikirkan adalah apakah ketika mengatakan bahwa perempuan selalu benar itu karena memang mereka (perempuan) yang selalu benar sementara laki-laki yang salah atau malah para lelaki saja yang sudah kesal dan malas meladeni si perempuan sehingga mereka (laki-laki) lebih memilih mengalah dengan mengatakan bahwa perempuan selalu benar agar persoalan tidak semakin melebar!?
Bila dilihat lagi, narasi “perempuan selalu benar” agaknya lebih condong pada ungkapan kekesalan daripada pujian. Seperti halnya kata-kata “kenapa harus aku sih!?”, “Kenapa mesti aku sih!?” dan sebagainya. Siapa yang kesal? Sudah pasti ya laki-laki. Kenapa kesal? Bisa jadi karena dengan pesonanya perempuan bisa membuat laki-laki ciyut, takut gak disapa, takut dicuwekin, dan sebagainya sehingga mengharuskan laki-laki mengatakan bahwa perempuan selalu benar. Kan kesel tuh namanya. Jadi, karena takut tidak mendapat kasih sayang itu yang memaksa laki-laki membenarkan setiap apa yang dilakukan cewek yang menurut rumor cewek itu lebih emosional agar mereka (cewek) semakin bahagia dan si cowok terus mendapat kasih sayangnya. Meski bukan kasih sayang ya paling tidak lah takut tidak mendapat perhatian gitu.
Hampir mirip pujian-pujian yang biasa kita berikan pada tuhan. Kita memuji tuhan karena takut tidak diberi nikmat dan takut dimasukkan ke neraka. Oleh karena itu, kita memuji tuhan agar kita diberi nikmat dan dimasukkan ke surge meski tidak semua orang mempunyai motif seperti itu. Sama seperti ketika laki-laki mengatakan bahwa cewek selalu benar tadi, bisa jadi mirip pujian-pujian yang diberikan pada tuhan untuk mendapat sesuatu. Tapi ingat, cewek bukn tuhan lho ya.
Ungkapan “selalu benar” bisa jadi adalah cara menyelesaikan masalah dengan cara merelakan kemenangan pada pihak lain alias ngapuisi, agar permasalahan tidak semakin melebar dan berkelanjutan. Jadi perempuan jangan bangga dulu dikatakan selalu benar, toh itu bisa saja buat ngapusi biar dak ngambek.
Ada rumor yang beredar bahwa laki-laki dominan lebih rasional sementara perempuan dominan lebih emosional. Terlepas dari benarnya rumor tersebut, tapi nyatanya hal itu sudah menyebar di kalangan masyarakat dan bahkan para perempuan sendiri banyak yang mengakuinya. Jika memang demikian maka, benar dan tidaknya label yang diberikan pada laki-laki maka akan tergantung dominasi yang masyarakat tadi rumorkan. Bahwa ungkapan perempuan selalu benar mungkin saja adalah narasi kemenangan mereka dalam hal emosional sehingga mereka (perempuan) akan dimenangkan dalam hal emosional.
Label “kebenaran” itu juga diberikan atas dasar dan faktor emosional di mana lelaki akan selalu mengalah bila beradu emosi dengan perempuan. Meski secara rasional sebenarnya salah tapi ya kita tau sendiri bahwa kebiasaan kita terutama masyarakat Indonesia adalah mengedepankan emosi daripada rasio dalam menilai dan menjustice orang. Bisa saja seseorang itu salah namun karena kasihan maka kita anggap benar saja dia.
Atas dasar ini juga bisa jadi, bahwa sebenarnya perempuan itu selalu salah, bukan selalu benar. Hanya saja karena atas dasar simpati dan kasihan ya dibilang saja dia (perempuan) selalu benar biar gak melakukan kesalahan lagi dan tidak terus-terusan. Ya bisa dibilang ungkapan ngapusi lah atau ungkapan majas di mana kita mengungkapkan hal yang berlawanan dan cenderung memuji tapi maksud sebenarnya adalah sebaliknya.
So, masih yakin bahwa perempuan selalu benar?
M. Fakhruddin Al-Razi
Mahasiswa rantau asal Madura yang berdomisili di kota Malang