Benarkah Guru Muslim di Indonesia, Intoleran?

Baru-baru ini, survey Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta UIN melalui proyek Convey Indonesia mengumumkan survei teranyarnya mengenai guru. Berjudul “Pelita yang Meredup: Potret Keberagaman Guru di Indonesia”, survei tersebut menegaskan bahwa sebagian besar guru di Indonesia memang memiliki kecenderungan intoleran dan radikal sehingga dapat memengaruhi tren intoleransi pada generasi muda. Hasilnya sekitar 63,07% atau 2.237 guru Muslim di 34 provinsi se-Indonesia.ternyata memiliki opini intoleran (Media Indonesia, 17 Oktober 2018).

Tentu, hasil survey ini mengejutkan dan  menjadi kontroversi di kalangan akademisi dan masyarakat terhadap sebagian besar guru muslim yang teridentifikasi intorelan dan terpapar radikalisme. Ini akan menjadi ancaman bangsa akan sikap intoleransi di tengah-tengah masyarakat heterogen dan multikultural. Jika guru terindikasi memiliki opini bahkan bersikap intoleran akan berdampak pada pendidikan karakter siswa.

Di sisi lain, beberapa netizen merespon hasil survey ini dengan pertanyaan-pertanyaan kritis. Beberapa mempertanyakan bagaimana pendekatan dan metode yang digunakan? Bagaimana pertanyaan yang diajukan pada instrumen yang digunakan? Bahkan sampai pada pertanyaan  mendasar akan pengertian, konsep dan indikator dari toleransi?

Bacaan Lainnya
DONASI

Direktur Eksekutif PPIM UIN Jakarta, Saiful Umam mengatakan, hasil tersebut diperoleh berdasarkan alat ukur Implisit Association Test (IAT). Sedangkan hasil yang diperoleh dengan alat ukur kuesioner (eksplisit) pun tidak jauh berbeda hasilnya di mana sebanyak 56,09 persen guru memiliki opini intoleran pada pemeluk agama lain. (VoA,18 Oktober 2018).

Pandangan Islamis guru di Indonesia berdasarkan survei PPIM: 1) 40.36% guru setuju bahwa seluruh ilmu pengetahuan sudah ada dalam Al-Quran sehingga Muslim tidak perlu mempelajari ilmu pengetahuan yang bersumber dari Barat. 2) 82.77% guru setuju bahwa Islam adalah satu-satunya solusi untuk mengatasi segala persoalan masyarakat. 3) 62.22% guru setuju bahwa hanya sistem pemerintahan yang berdasarkan syariat Islam yang terbaik untuk negeri ini. 4) 75.98% guru setuju bahwa pemerintah harus memberlakuan syariat Islam bagi para pemeluknya. 5) 79.72% guru setuju bahwa dalam memilih pemimpin (presiden, gubernur, bupati/walikota), umat Islam wajib memilih calon pemimpin yang memperjuangkan penerapan syariat Islam. 6) 23.42% Guru setuju bahwa pemerintahan Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 adalah thaghut karena telah mengambil hak Allah sebagai pembuat hukum. 7) 64.23% Guru setuju bahwa non-Muslim tidak diperbolehkan menjadi Presiden di Indonesia.

Bagaimana menjawab terkait pertanyaan mendasar akan definisi dan indikator toleransi dan toleran? Kata “toleransi” dalam KBBI adalah sifat atau sikap toleran: dua kelompok yang berbeda kebudayaan itu saling berhubungan dengan penuh –; 2 batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan; 3 penyimpangan yang masih dapat diterima dalam pengukuran kerja. Sedangkan kata ”toleran” yang berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.

Sedangkan butir-butir refleksi dari karakter toleransi oleh Tillman (2004) adalah (a) kedamaian adalah tujuan; (b) toleransi adalah terbuka dan reseptif pada indahnya perbedaan; (c) toleransi menghargai individu dan perbedaan; (d) toleransi adalah saling menghargai satu sama lain; (e) benih dari intoleransi adalah ketakutan dan ketidakpedulian; (f) benih dari toleransi adalah cinta; (g) jika tidak cinta tidak ada toleransi; (h) yang tahu menghargai kebaikan dalam diri orang lain dan situasi memiliki toleransi; (i) toleransi berarti menghadapi situasi sulit; dan (j) toleransi terhadap ketidaknyamanan hidup dengan membiarkan berlalu, ringan, dan membiarkan orang lain. Butir-butir refleksi karakter toleransi tersebut akan mengantarkan kedamaian antar individu di masyarakat.

Di atas, toleransi adalah sikap toleran (menghargai, membiarkan, membolehkan) terhadap pendirian dan  kepercayaan yang bertentangan dengan pendirian sendiri. Tentu, pengertian masih bersifat dangkal, dimana konteks toleransi hanya sebatas dalam hal agama, tapi belum meranah pada politik dan budaya. Perlunya kata “toleransi” harus selalu dikonstruksikan maknanya, konsep dan indikatornya disesuaikan dengan kondisi dalam negeri dan perkembangan zaman. Karena masyarakat Indonesia sedang mengalami sensi Intoleransi dan degradasi karakter toleransi baik ranah agama, politik dan budaya.

Sedangkan jika dilihat berdasarkan pertanyaan tentang pandangan Islamis guru di Indonesia berdasarkan survei PPIM, belum bisa mengidentifikasi jika hal tersebut intoleran. karena pertanyan tersebut dipengaruhi oleh cara pandang atau pemikiran dan keyakinan seseorang yang belajar akan agama Islam, wajar saja jika seorang memiliki pemikiran dan keyakinan semacam itu muncul yang membentuk pluralitas bukan pluralisme.

Islam sendiri memiliki prinsip akan toleransi dalam beragama menekakan pada pluralitas, tapi pluralitas tidak hanya pada agama Islam saja, agama lain pun juga berdasarkan sumber dalil-dalil kitab suci masing-masing. Pluralitas sendiri merupakan pengakuan atas keberagaman dan keberadaan agama-agama dengan  tetap memegang prinsip dan cara pandang satu agama dengan agama lain dalam arti positif. Sebaliknya, pluralisme yang memiliki anggapan semua agama itu benar, tapi Anis Malik Thoha beranggapan hal ini adalah sebuah kondisi hidup bersama antar agama yang berbeda-beda dalam suatu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama.

Jadi, kembali pada kata “plural” yang berarti beragam, kata “ isme” adalah paham dan kata”itas” adalah sifat. Pluralisme adalah paham akan menerima keberagaman dengan hidup toleran sedangkan pluralitas adalah sifat yang menunjukan toleransi. Sehingga, kembali pada hasil survei yang PPIM yang menyatakan guru muslim intoleran tidak bisa digeneralisasikan karena pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan berasal dari pluralisme yang ditujukan dengan pluralitas diri masing-masing.

Zunari Hamro
Mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes)

Baca juga:
Krisis Pendidikan Karakter, Hanya Sebatas Nilai Sikap
Pendidikan yang Memanusiakan Manusia
Restorasi Pemikiran Buya Hamka

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI

Komentar ditutup.