Cancel Culture Atau UU ITE, Manakah yang Lebih Pantas?

media sosial
Sumber: istockphoto.

Dalam lingkungan bermasyarakat terutama untuk era sekarang ini, hendaklah kita semua berhati-hati dalam hidup bersosial.

Jika masyarakat membuat onar ataupun perselisihan pada media sosial yang menimbulkan kebencian antara manusia pada era saat ini sudah ditegaskan dengan sanksi hukum lewat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atau Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008.

Itu adalah undang-undang yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum. Dengan hal tersebut masyarakat perlu juga tahu selain sanksi hukum ada juga muncul sanksi sosial baru dari masyarakat yang disebut ‘cancel culture’.

Bacaan Lainnya
DONASI

Media sosial saat ini sedang mengalami perkembangan yang begitu pesat. Sehingga hal tersebut memberikan ruang terbuka secara virtual, seperti contohnya dalam media sosial Twitter yang menawarkan wadah bagi netizen untuk berkumpul, berdiskusi, dan mengutarakan pikiran mengenai suatu topik tertentu.

Permasalahan netizen dalam mengeluarkan opini tersebut seringkali berakhir dengan konsep perlakuan hukum-menghukum seseorang yang dianggap melakukan suatu kesalahan, hal ini lah yang disebut dengan cancel culture.

Menurut perkembangannya sendiri, keberadaan fenomena cancel culture sendiri begitu memicu perdebatan, terutama jika ditelisik dari sisi perspektif/ opini para ahli.

Dalam riset personal, saya memfiltrasi beberapa jurnal yang telah didapatkan tentunya berkaitan dengan topik penelitian terhadap fenomena ini sendiri.

Misalnya saja pada kasus Rachel Vennya setelah membuka hijab setelah bercerai dengan Niko atau Okin yang mana hujatan netizen merajalela menghakimi keimanan Rachel Vennya, Rizky Billar yang mana pernah dikabarkan main tangan pada rumah tangganya bersama Lesti Kejora, dan baru-baru ini yakni Sandra Dewi yang dikabarkan bahwa suaminya sedang memiliki kasus korupsi sebesar 271 Trilliun.

Tak hanya itu di tahun 2023 kasus seorang remaja yakni Mario Dandy sangat disorot publik hingga akhirnya ia masuk ke bui dikarenakan kasus penganiyaaan terhadap David Ozora karena kecemburuannya sepihak.

Hingga menyeret ayahnya sendiri yakni Rafael Alun dengan dugaan korupsi yang menjerat ayahnya, hal tersebut menjadikan Mario Dandy tidak hanya diberi sanksi penjara namun juga sanksi sosial dari netizen Indonesia.

Baca Juga: Belajar dan Mengenal UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 dalam Rangka Penggunaan dan Pemanfaatan Teknologi Gadget dengan Cerdas agar Berdampak Positif bagi Penggunanya

Target atau sasaran yang seringkali menjadi korban cancel culture sendiri memang kebanyakan berasal dari segi figure publik, pejabat/ politisi, dan dunia entertainment juga merupakan bidang yang sangat rentan untuk hal tersebut.

Banyak sekali kasus penjeratan pelanggaran dalam media sosial yang kebetulan juga ditindak secara hukum melalui UU ITE. Namun, meski sudah diberi konsekuensi tersebut, hal itu tidak membuat banyak orang di media sosial atau yang kita sebut juga sebagai netizen, puas.

Pasalnya alih-alih oknum pelanggar hukum sudah diberi sanksi dengan tegas dan pada akhirnya mereka juga menjalani serta menuntaskan sanksi tersebut, di saat mereka selesai dengan urusan tersebut, malah justru netizen membuat mereka gagap mental dengan bentuk penyerangan/ pengucilannya secara masif dan terkesan keroyokan.

Seakan-akan berperan sebagai “Polisi” baru di dunia siber, membuat para netizen sekarang sudah sangat terbiasa dengan kehidupan hujat-menghujat, caci-mencaci, dan hukum-menghukum sampai di puncak acaranya membuat para oknum pelanggar hukum dipaksa harus menjalani hukuman kedua berupa pengucilan sosial dan diboikot aksesnya agar karier yang dijalani sebagai tokoh publik segera runtuh.

Baca Juga: Cancel Culture: Sanksi Sosial yang Rawan Toksisitas

Risiko yang terbesar dari potensi tersandung kasus cancel culture maupun penindakan UU ITE sebenarnya juga bukan cuma dari segi publik figure/ tokoh publik saja, semua pengguna akses internet terutama media sosial pun sama.

Kita memiliki risiko yang sama tertimpa ibaratnya double punishment atau dobel sanksi, selain sanksi hukum juga kita akan diserang secara sosial yang nantinya selain berimbas di karier, finansial, keluarga juga sangat berpotensi dapat menyebabkan psikologi diri kita terganggu.

Inilah dampak berbahaya yang seharusnya dari pemerintah harus memikirkan hal tersebut supaya segera diminimalisir kedepannya.

Mungkin kendala yang dirasakan oleh pemerintah ialah susahnya mengontrol banyak variable di dunia siber, sebab dalam kemajuan dan perkembangan era teknologi sekarang tidak menutup kemungkinan juga masyarakat sudah sangat menguasai hal-hal yang berbau dengan teknologi.

Banyak sebenarnya kasus di media sosial yang belum sempat ditindak secara tegas dan presisi. Penyebabnya selain banyak variabel tadi juga kecerdasan dan kepiawaian netizen dalam mengolah data membuat para penegak hukum di dunia siber kewalahan dari aksinya di samping penggunaan akun fake, pemalsuan identitas, dan lain-lain.

Sanksi Hukum yang diterima dari penyerang dapat berupa Undang-Undang ITE atau Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. Selain sanksi hukum yang didapat sanksi sosial yang menjadi tombak bagi para netizen untung saling menyerang.

Dari hal tersebut kita dapat menengok bahwa menegakkan aturan dengan undang-undang ternyata tidak juga mulus. Banyak poin yang perlu direvisi dan dikaji kembali. Buktinya pemerintah juga kewalahan dalam membendung traffic dari akses media sosial.

Baca Juga: Jerat Maut Pasal Karet UU ITE

Banyak sekali variabel yang tidak bisa dikontrol dalam penyebaran media saat ini. Sampai akhirnya, masyarakat memiliki aturan baru dalam menyelesaikan masalah tersebut. Keberadaan cancel culture dianggap sebagai salah satu solusi yang sekaligus juga melahirkan banyak kontroversi. Tidak sedikit korban dari budaya cancel culture mendapat perubahan dari sisi psikologi maupun sosial mereka.

Satu hal yang pasti terjadi di antara siapa pemihak undang-undang dari mata hukum dan siapa juga yang memilih terus mengembangkan budaya “caci maki virtual”, yang terpenting adalah kita seharusnya selalu bijak dalam memilah dan mengolah data yang ada, terlepas ada atau tidaknya sangkut paut kita terlibat dalam suatu masalah tersebut, paling tidak langkah pertama yang seharusnya kita terapkan ialah lebih berhati-hati dalam menggunakan akses media sosial saat ini, be aware, selalu merefleksi diri sendiri sebelum kita menilai orang lain. Terakhir, jangan lupa tetap semangat. Terimakasih.

Penulis: Mutiara Mahardika
Mahasiswa Hukum Universitas Jember

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Daftar Pustaka

Jurnal:

Yayang Eka Januarda Nisa*, Y. N. (2022). Cancel culture Kasus Kekerasan Seksual di Kalangan Followers Autobase Twitter @Areajulid . Journal Civic and Social Studies , 7.

Kurniawan, T., Ngawan, R., Alno, Y., & Herianto, A. (2022). CANCEL CULTURE AND ACADEMIC FREEDOM: A Perspective from Democratic-Deliberative Education Philosophy. Waskita: Jurnal Pendidikan Nilai dan Pembangunan Karakter, 6(1), 1-13. doi:http://dx.doi.org/10.21776/ub.waskita.2022.006.01.1

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI