Saat ini, muncul gejala ketidakpercayaan di masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan yang disebabkan korupsi. Salah satu yang menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat adalah penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang menjadi wajah buruk rupa dalam pengelolaan lembaga pendidikan di Indonesia.
Dilema Pendidikan
Fakta yang ada menunjukkan realitas dunia pendidikan (sekolah) yang ambigu dan kontradiktif. Di satu sisi, tujuan pendidikan adalah membangun dan mencetak manusia-manusia yang baik dan terdidik “sekolah mencerdaskan anak bangsa” dimana berbagai bentuk bantuan telah dilakukan. Baik bantuan dalam bentuk fisik maupun dalam dana BOS.
Kasus ini banyak ditemukan di sekolah-sekolah baik ditingkat SD, SLTP, SMA/MA dan SMK. BOS ini kerap kali memancing para kepala sekolah untuk melakukan tindakan penyelewengan dana tersebut yang angkanya cukup besar mencapai: Rp. 1.400.000,- per siswa. Tentu ini sangat menghambat dalam menjalankan program kerja sekolah.
UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, mengamatkan bahwa pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan dan peningkatan mutu serta relevansi pendidikan untuk menghadapi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Seperti kasus yang baru-baru ini terjadi pada hari Kamis, (16/10/2018), Kepala SMK Kerabat Kita Bumiayu Brebes dan masih banyak lagi sepanjang tahun 2018.
Kementerian Pendidikan Nasional mulai menggunakan mekanisme baru penyaluran dana BOS. Dana BOS tidak lagi langsung ditransfer dari Bendahara Negara ke rekening sekolah, tetapi ditransfer ke kas APBD selanjutnya ke rekening sekolah. Dalam hal ini Kemendiknas beralasan bertujuan untuk memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah dalam penyaluran dana BOS. Dengan cara ini, diharapkan pengelolaan menjadi lebih tepat waktu, tepat jumlah dan tidak ada penyelewengan.
Skandal Dana Bantuan Dana Operasional
Mungkinkah seperti itu? Atau justru malah sebaliknya, dana BOS lambat ditransfer, dipotong atau malah memunculkan penyelewengan dengan modus baru? Harus diakui, masalah utama dana BOS terletak pada lambatnya penyaluran dan pengelolaan di tingkat sekolah yang tidak transparan. Selama ini keterlambatan transfer terjadi karena berbagai faktor, seperti keterlambatan transfer oleh pemerintah pusat dan lamanya keluar surat pengantar pencarian dana oleh tim BOS di daerah.
Akibatnya, Kepala Sekolah harus mencari berbagai sumber pinjaman untuk mengatasi keterlambatan biaya sekolah. Kepala Sekolah memanipulasi surat pertanggungjawaban yang wajib disampaikan setiap triwulan kepada tim manajemen BOS daerah. Ini mudah karena kwitansi kosong dan stempel toko mudah didapat. Kepsek memiliki berbagai kwitansi kosong dan stempel dari beberapa toko. Kepsek dan bendahara sekolah dapat menyesuaikan bukti pembayaran dengan panduan atau juknis dana BOS, seakan-akan tidak melanggar prosedur. Tidaklah mengherankan apabila praktek curang dengan mudah terungkap oleh lembaga pemeriksa, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Pendidikan merupakan pilar utama untuk bisa mencetak generasi Indonesia yang gemilang. Melalui pendidikan yang bermutu, otomatis akan mempercepat terwujudnya cita-cita bangsa, yakni masyarakat sejahtera dan makmur. Oleh karena itu, pemerintah mengalokasikan minimal 20% dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) untuk membiayai Pendidikan.
Berdasarkan Undang–Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan UU Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan(BPK), BPK telah melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu atas pengelolaan dan pertanggungjawaban BOS SMA dan SMK pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Dimana hasil pemeriksaan tersebut harus dimasukkan kedalam IHPS.
Pergantian mekanisme pada penyaluran dana BOS sesuai dengan mekanisme APBD secara tidak langsung mengundang keterlibatan birokrasi dan politisi lokal dalam penyaluran dana BOS. Konsekuensinya, sekolah menanggung biaya politik dan birokrasi. Sekolah harus rela membayar sejumlah uang muka ataupun potongan dana sebagai syarat pencairan dana BOS. Kepala Sekolah serta guru juga harus loyal pada kepentingan politisi daerah ketika musim Pilkada. Dengan demikian semakin rumit mekanisme penyaluran dana BOS tidak dapat dihindari, karena aktor yang terlibat dalam penyaluran semakin banyak.
Salah satu faktor utama penyebab maraknya penyalahgunaan dana BOS adalah minimnya partisipasi dan transparansi publik dalam pengelolaannya. Pengelolaan dana BOS selama ini mutlak dalam kendali Kepala Sekolah tanpa keterlibatan warga sekolah, seperti para guru dan orang tua siswa, warga sekolah dibatasi hanya dalam urusan pembayaran sekolah saja, seperti SPP dan lainnya. Pemahaman pihak sekolah dan Dinas Pendidikan atas partisipasi publik ini perlu diluruskan. Partisipasi publik merupakan syarat wajib untuk menekan penyelewengan dana pendidikan.
Partisipasi publik harus sering diikutsertakan bahkan dilembagakan, sampai pada tingkat pengambilan keputusan kebijakan strategis sekolah. Warga sekolah idealnya berperan menentukan kondisi masa depan sekolah. Oleh karena itu mereka juga didorong untuk keterlibatan dalam merumuskan kebijakan sekolah mulai dari perencanaan, pengalokasian, sampai pengelolaan anggaran sekolah. Lebih dari itu, warga sekolah dapat mencermati pengelolaan anggaran sekolah lebih dalam, mereka dapat melihat seluruh dokumen pencatatan dan pelaporan keuangan sekolah.
Hal ini dimungkinkan karena komisi informasi pusat telah memutuskan dokumen SPJ dana BOS sebagai dokumen terbuka sepanjang telah diperiksa oleh lembaga pemeriksa dan disampaikan kepada lembaga perwakilan. Publik, terutama warga sekolah dapat memanfaatkan putusan ini guna mendapatkan informasi publik seakan mereka juga dapat menekan kebocoran anggaran sekolah. Selain dapat menekan kebocoran dana sekolah, pihak sekolah juga dapat mengajak orang tua murid untuk menghimpun dan mengerahkan sumber daya untuk menutupi kekurangan sekolah dan meningkatkan mutu pendidikan.
Sekolah yang jujur adalah sekolah yang dapat memberikan konstribusi kepada bangsanya sebagai generasi penerus untuk meraih prestasi. Pendidikan berkualitas mendatangkan kualitas, tidak sebaliknya!
Nanang Oktavianto
Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang
Baca juga:
Sekolah (tidak) Semaumu
Hilangkan Istilah Sekolah Favorit
Internasionalisasi Sekolah, Apakah Sudah Saatnya?