Apa jadinya jika hak hidup dan tubuh seorang perempuan diputuskan oleh adat, bukan oleh dirinya sendiri? Inilah kisah tragis yang dialami oleh perempuan dari Tanah Sumba bernama Magi Diela Talo, tokoh utama dalam novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam karya Dian Purnomo.
Magi Diela perempuan berpendidikan yang telah menyelesaikan sarjana pertanian nya di Yogyakarta, setelah pulang ke tanah kelahiranya Ia mempunyai banyak mimpi untuk membangun daerahnya terkhusus bidang pertanian dari ilmu yang ia dapatkan selama masa berkuliah.
Namun peristiwa tragis dialami oleh Magi sewaktu dalam perjalanan ia diculik oleh anak buah suruhan Leba Ali, lelaki yang akan menjadikan Magi istri melalui yappa mawine atau kawin tangkap. Novel karya Dian Purnomo ini tidak hanya menyajikan kisah pilu seorang Magi Diela tetapi juga perlawananya terhadap budaya yang merendahkan martabat perempuan yang mengalami kawin tangkap di Tanah Sumba.
Perempuan Seperti Barang Tukar
Dalam budaya kawin tangkap terdapat mahar atau menurut orang sumba disebut belis atau alat tukar, dalam kasus Magi Diela pihak keluarga telah menyepakati adanya belis yakni 50-70 ekor hewan. Dalam novel ini Magi menulis surat yang terdapat kalimat bahwa berhenti membuat perempuan seperti barang, yang bisa ditukar dengan hewan, yang dihargai hanya karena kami punya rahim.
Baca Juga:Â Review Novel Aku, Kamu, Samudera, dan Bintang-Bintang
Perempuan Tak Punya Kuasa Memilih
Kawin tangkap yang dialami oleh Magi Diela ternyata sudah diketahui oleh ama bobo yaitu bapak dari Magi sendiri yang artinya menyetujui anak perempuannya sendiri menjadi korban dari kawin tangkap yang dilakukan oleh Leba Ali tanpa sepengetahuan dari Magi sendiri.
Kuasa Maskulinitas dan Kekebalan Hukum
Saat Leba Ali dilaporkan ke kantor polisi oleh sahabat Magi karena telah melakukan penculikan dan kekerasan seksual terhadap Magi, tapi karena Ia mempunyai koneksi dengan orang dalam tidak jadi ditahan dengan alasan urusan adat yang membuat aparat hukum tidak dapat berkutik. Maka dalam kasus ini hukum tidak berpihak kepada korban.
Baca Juga:Â Resume Buku Filsafat Hukum Islam
Antara Budaya dan Kekerasan
Tradisi yang turun-temurun ini menjadikan perempuan korban pertama, hak-hak perempuan direnggut paksa oleh belenggu adat , ketika perempuan menolak adat dianggap sebagai aib keluarga, seperti yang dikatakan ama bobo untuk Magi bahwa Ia telah lupa kain lupa kebaya yang artinya orang yang sudah melupakan adat dan budayanya.
Novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam karya Dian Purnomo ini tidak hanya menyajikan kisah tragis dan perjuangan yang hebat seorang Magi Diela Talo yang terjebak dalam belenggu adat, perlawananya dalam budaya kawin tangkap menunjukkan bentuk keberanian yang menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan.
Apakah suatu tradisi layak untuk dipertahankan, jika budaya yang melanggengkan kekerasan dan martabat seorang perempuan semestinya dikaji ulang, bukan dijaga dan dilestarikan atas nama warisan nenek moyang.
Penulis :
1. Putrialin Nirmalaningsih (2023011022)
2. Viona Salsabilla (2023011044)
3. Gabriel Lungan (2023011035)
4. Aulia Salma Fitria (2023011155)
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
Dosen Pengampu: Hartosujono, A.Md, S.E., S.Psi., M.Si.
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News
Daftar Pustaka
Purnomo, D. (2020). Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Fauziyyah, H. G., & Sukardi, S. (2023). DISKRIMINASI GENDER DALAM BELENGGU BUDAYA PATRIARKI PADA NOVEL PEREMPUAN YANG MENANGIS KEPADA BULAN HITAM KARYA DIAN PURNOMO. Didaktis: Jurnal Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan, 23(2), 175-195.