Tahun 1998 adalah tahun di mana aksi dari Aliansi seluruh mahasiswa dalam rangka menggulingkan dan memaksa Presiden Soeharto untuk turun dan menyerahkan kursi jabatannya. Presiden Soeharto dinilai sudah mencederai nilai-nilai demokrasi dengan politik oligarki yang mengedepankan kepemimpinan yang bersifat terpusat dan tertutup. Rakyat tidak diperbolehkan ikut campur dalam mengatur pemerintahan, tidak adanya kebebasan pers dan tidak adanya kebebasan berpendapat. Hal ini seiring adanya praduga rakyat kepada Soeharto yang menjadi dalang dibalik adanya G-30S/PKI yang kemudian menyebabkan adanya penyerahan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto yang kita kenal dengan “SUPERSEMAR” (Surat Perintah Sebelas Maret).
Pengunduran diri Soeharto yang menandakan telah berakhirnya Orde Baru menjadi awal lahirnya Reformasi yang lebih merakyat. Tetapi dibalik itu semua pasti ada hal yang dirasa dapat memengaruhi politik yang telah disiapkan oleh pemerintah. Aksi ini dilakukan berdasarkan isu-isu perpolitikan pada zaman itu yang mengakibatkan mahasiswa dan rakyat menjadi kecewa dan ingin melengserkan Soeharto beserta antek-anteknya meskipun mereka harus berhadapan dengan aparatur negara yang memang harus pro-goverment.
Pada tahun 2019 ini, Aliansi Mahasiswa kembali mengadakan aksi di berbagai daerah yang dimulai dari aksi penindasan sejumlah aparat kepada warga Papua yang mengakibatkan adanya kontak fisik yang meluas di daerah Papua. Menurut Ariel Heryanto seorang guru besar di Monash University, Dia mengatakan bahwa aksi demonstrasi yang terjadi hari ini merupakan bukti kegagalan penguasa ekonomi dan politik. Ini bukan kegagalan semata-mata seorang Presiden, yakni Presiden Jokowi. Mereka berhasil menguasai istana, parlemen, dan berbagai sumber daya alam dan manusia di negeri yang besar ini. Namun mereka gagal mempertahankan rasa keadilan atau membungkam masyarakat, entah dengan cara-cara kekerasan maupun bujukan moralis atau religius. Mereka gagal memelihara status quo yang penuh kepincangan, baik ekonomi, sosial, maupun moral.
Aksi Mahasiswa yang terjadi secara serentak yakni pada tanggal 23 September 2019, di antaranya daerah Yogyakarta, Bandung, Padang, Tasikmalaya, Makassar, Malang, Surabaya, Solo dan lain-lain yang bersifat regional atau wilayah dengan tujuan (goals) di Kantor DPRD setempat yang menuntut penandatanganan pemerintah daerah atas 7 tuntutan mahasiswa yang mencakup RUU. Kemudian dilanjutkan dengan aksi Mahasiswa Se-Indonesia yang bertempat di depan gedung DPR RI pada hari berikutnya dengan tuntutan yang sama. Dalam aksi yang dilaksanakan di Jakarta, banyak pihak yang memanfaatkan situasi dan kondisi untuk meraih eksistensi yang dapat memengaruhi perpolitikan. Banyak pamflet-pamflet tersebar yang berisi ajakan untuk mengikuti “Parade Tauhid 2019” yang bertempat di Monumen Nasional. Hal ini menyebabkan banyaknya Buzzer yang menganggap bahwa aksi mahasiswa kemarin adalah salah satu agenda dalam rangka menggulingkan pemerintahan Jokowi, ditunggangi elit-elit politik dan tokoh-tokoh agamis.
Ini membuktikan bahwa aksi politik keagamaan yang kebanyakan digagas oleh alumni 212 yang ingin mengganti Ideologi Pancasila dengan Khilafah yang selanjutnya sudah kita kenal dengan nama HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Mereka kembali mencari eksistensi di tengah masyarakat setelah sebelumnya dibubarkan oleh pemerintah. Banyak ajakan-ajakan yang bernada provokatif dan mengarah kepada hal-hal yang tidak ada dalam tujuan demo yang disangkut pautkan dengan aksi mahasiswa yang jelas-jelas berisi ketidaksetujuan terhadap Rancangan Undang-Undang dan Revisi UU KPK yang diajukan serta dirapatkan secara tertutup. Menurut hemat penulis, ex HTI yang bertindak demikian bertujuan supaya keberadaan mereka kembali dianggap oleh masyarakat dan paham mereka dapat diterima dengan sukarela tanpa paksaan. Di antara propaganda yang dilakukannya antara lain:
1. Mengadakan tuntutan harus lengsernya Jokowi dengan meramaikan tagar #turunkanjokowi
2. Mengadakan Parade Tauhid 2019 di sekitar Monumen Nasional
Jika kita perhatikan dalam poin pertama, maka ini akan mencederai dan menodai hasil dari demokrasi yang merupakan puncak hajat seluruh rakyat Indonesia yang seharusnya kita terima dan jaga. Jangan sampai karena ulah pihak yang tidak bertanggungjawab, hasil demokrasi yang merupakan keputusan bersama bisa dihancurkan.
Jangan sampai aksi yang digunakan untuk menyuarakan hak-hak rakyat ini berhasil disusupi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan hanya mengedepankan kepentingan pribadi bahkan sampai mengganti ideologi Pancasila. Kita harus lebih jeli dan menyaring informasi-informasi yang masuk baik itu dari keluarga, teman ataupun media sosial yang saat ini banyak sekali berita hoax provokatif yang bertujuan memecah belah bangsa Indonesia.
Moh. Fazrul Azrif Alwy
Mahasiswa Program Studi Ilmu Hadits
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Editor : Fathin Robbani Sukmana