Efek Media Digital dalam Jurnalistik

Opini
Ilustrasi: Istockphoto

Industri media massa mengalami banyak perubahan dengan hadirnya digitalisasi. Pada saat ini, jumlah media online lebih banyak daripada media konvensional. Yosep Adi Prasetyo selaku Ketua Dewan Pers mencatat adanya 47.000 media di Indonesia pada tahun 2018 (Haryanto dalam Ashari, 2019).

Di antaranya ada 43.803 yang merupakan media online dan sisanya merupakan media cetak (2.000), radio (674), dan televisi (523). Diketahui beberapa tahun terakhir, terdapat beberapa media massa cetak yang sudah lama berdiri namun menutup usahanya akibat tidak mampu berdaptasi dengan digitalisasi.

Di antaranya yaitu pada tahun 2015, surat kabar Sinar Harapan berhenti terbit setelah berdiri selama 54 tahun. Dan pada Oktober 2018, tabloid Bola yang telah hadir selama 34 tahun juga berhenti terbit.

Baca Juga: Dorong Semangat Menulis, KESA Selenggarakan Pelatihan Jurnalistik

Bacaan Lainnya

Selain itu, media cetak yang berhenti terbit di antaranya adalah Majalah Hai, Majalah Kawanku, Majalah Soccer, dan Majalah Girls. Namun tidak sedikit juga media massa konvensional yang mampu beradaptasi dengan digitalisasi.

Hal ini ditunjukkan dengan penerapan serangkaian strategi merger dan akuisisi yang mengarahkan bisnis media ke arah online dan konvergensi (Tapsell dalam Ashari, 2019). 

Akibat digitalisasi perubahan cara kerja media tidak hanya terjadi pada perusahaan saja, namun juga kepada wartawan sebagai produser konten berita.

Pada saat ini, di Indonesia wartawan dituntut untuk bisa menyampaikan pesan secara multiplatform yaitu menggunakan perpaduan antara tulisan, audio, dan video sekaligus (Adzika dalam Ashari, 2019).

Berbeda dengan pada era media massa konvensional yang mana cara kerja wartawan lebih terspesialisasi antara wartawan radio, cetak, dan televisi. Perubahan penting yang paling berpengaruh terhadap cara kerja wartawan adalah adanya digitalisasi terhadap konten.

Digitalisasi konten merupakan suatu proses konversi informasi ke dalam format data yang bisa dibaca oleh komputer (Kawamoto dalam Ashari, 2019).

Digitalisasi konten ini bisa berdampak terhadap pola distribusi konten yang bisa menjangkau berbagai platform digital (Zotto dan Lugmayr dalam Ashari, 2019). Konten radio, televisi, dan cetak didistribusikan secara terpisah pada era media konvensional.

Namun ketika ketiga konten tersebut sudah bisa dikonversi ke dalam format digital, maka pendistribusiannya dimungkinkan untuk dilakukan bersamaan ke dalam platform digital yang sama (McPhillips & Merlo dalam Ashari, 2019). Perubahan cara kerja wartawan dalam iklim digitalisasi inilah yang melahirkan istilah jurnalisme digital.

Berdasarkan makna perkatannya, digitalisasi dan jurnalisme memiliki makna yang berbeda. Jurnalisme dalam artian luas merupakan sebuah upaya mencari, mengumpulkan, dan menyebarkan informasi yang mengandung nilai penting dan berdampak signifikan bagi publik.

Sementara digital menggambarkan urutan kode biner 0 dan 1 dalam suatu bahasa komputer (Feldman dalam Ashari, 2019).

Baca Juga: Souvenir, Kuli Tinta, dan Merosotnya Citra Demokrasi

Kajian Literatur Jurnalisme adalah aktivitas mencari informasi akurat mengenai sebuah peristiwa, di mana informasi yang didapatkan itu dikemas untuk kemudian disebarluaskan kepada publik (Shapiro dalam Ashari, 2019). Terdapat kriteria informasi yang akurat menurut standar jurnalistik. 

Berdasarkan sudut pandang McQuaill (dalam Ashari, 2019) mengenai informasi yang akurat, yaitu sesuai dengan fakta peristiwa, sesuai dengan persepsi atau apa yang dibicarakan narasumber sebuah peristiwa dan adanya konsistensi dalam paparan informasi di sebuah teks berita.

Apabila jurnalisme merupakan gambaran mengenai proses pencarian sebuah informasi akurat, maka jurnalis, atau dikenal juga wartawan, adalah orang yang mencari informasi tersebut.

Menurut Peters dan Tandoe (dalam Ashari, 2019) menyebutkan, jurnalis adalah seseorang yang dipekerjakan untuk mengumpulkan, memproses, dan menyebarluaskan informasi akurat secara reguler untuk melayani kepentingan publik.

Maka dalam hal ini jurnalis memiliki kontrak kerja tertentu dengan pemilik media massa. Oleh karena itu, adanya kewajiban dan hak formal layaknya hubungan industrial yang mengikat jurnalis dengan pemilik media massa. 

Kemudian, jurnalis memiliki fungsi sosial yang berperan menginformasikan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh elit pemerintahandan berpengaruh kepada kehidupan banyak orang.

Perkembangan jurnalisme akan selalu berkaitan dengan perkembangan teknologi media (Steensen & Ahva dalam Ashari, 2019). Jurnalisme awal mampu mapan dan berkembang setelah sebelumnya ditemukan mesin cetak.

Meskipun, pada awal perkembangan mesin cetak, teknologi tersebut tidak langsung diasosiasikan dengan jurnalisme. Pada tahun 1930, jurnalisme pun turut mengambil peranan dalam penyajian informasi melalui radio.

Yaitu mulai muncul perusahaan radio publik pertama, yakni British Broadcasting Communication (BBC) di Inggris yang  juga mengambil peranan dalam menggunakan media televisi pada tahun 1936 (Barnett dalam Ashari, 2019).  

Feldman (dalam Ashari, 2019) mengatakan terdapat lima kunci untuk memahami informasi dalam bentuk digital, yaitu:

  1. Dapat dimanipulasi, informasi yang sudah diubah ke dalam bentuk digital bisa dimodifikasi secara leluasa, cepat, dan sederhana;
  2. Berada dalam jejaring internet, informasi berbentuk digital dapat dibagikan dan dipertukarkan oleh secara berulang kali tanpa harus mengalami kesulitan;
  3. Padat, ini berarti informasi digital bisa disimpan dalam sebuah teknologi penyimpanan data. Besar kecilnya informasi digital yang disimpan itu tergantung kepada teknologi penyimpanan data yang ada seperti hard disk dan compact disk.
  4. Ukuran informasi digital dapat dikompresi supaya dapat disimpan sesuai dengan tempat penyimpanan informasi digital tersebut.
  5. Imparsial berkaitan dengan pembacaan sistem kode biner dalam satu kesatuan utuh. Hal ini mengimplikasikan bahwa data digital bisa merepresentasikan berbagai bentuk informasi.

Baca Juga: Sidang Etik Ferdy Sambo Naungi Hak Tolak Wartawan

Kawamoto (dalam Ashari, 2019) mengatakan bahwa digitalisasi merupakan proses konversi informasi ke format yang bisa terbaca oleh komputer. Digitalisasi memungkinkan konten analog dikonversi ke dalam bentuk digital dan disajikan ke dalam satu wadah yang sama.

Seperti sebelumnya konten koran, majalah, radio, dan televisi berjalan sendiri-sendiri, maka konversi konten ke dalam data bit memungkinkan teks, audio dan visual disajikan dalam satu kesatuan konten (McPhillips & Merlo dalam Ashari, 2019).  

Digitalisasi juga memungkinkan penyebaran konten dalam berbagai macam platform dengan biaya yang minimal (Zotto & Lugmay, 2016 dalam Ashari, 2019). Penyebaran konten ke dalam berbagai macam platform ini berimplikasi kepada pola distribusi dan konsumsi yang lebih divergen. 

Menurut Salaverria (dalam Ashari, 2019) jurnalisme digital merupakan semua bentuk jurnalisme yang menggunakan sumber daya digital. Tidak hanya sumber daya yang ada di internet atau jaringan internet mobile, tapi juga televisi digital dan radio digital.

Menurut Kawamoto (dalam Ashari, 2019) jurnalisme digital merupakan sebuah bentuk praktik lama dalam konteks yang baru atau merupakan sebuah sintesis dari tradisi dan inovasi.

Kawamoto mendefinisikan jurnalisme digital sebagai penggunaan teknologi digital dalam memproduksi konten untuk publik secara umum seperti website, digital audio recorder, dan weblog

Ibarat mengarungi sungai, proses kerja jurnalisme seperti air yang mengalir dari hulu sungai sampai ke muaranya yang mengarah ke lautan lepas.

Dari hulu terdapat proses-proses pencarian informasi yang merupakan “bahan-bahan mentah” dari sebuah informasi, seperti laporan pandangan mata, pengumpulan dokumen-dokumen, sampai wawancara narasumber. 

Kemudian selanjutnya di tengah sungai, terdapat proses pengemasan informasi yang merupakan proses menyusun informasi-informasi tadi menjadi sebuah berita dengan standar-standar tertentu. Setelah informasi dikemas, maka selanjutnya adalah diseminasi informasi kepada publik.

Pada tahap diseminasi informasi ini terdapat beberapa perubahan dikarenakan digitalisasi. Pada media konvensional, diseminasi informasi akan tergantung kepada jenis medianya, namun berbeda pada era digital, diseminasi informasi dari media-media tersebut dimungkinkan untuk digabung, dikemas menjadi satu platform.

Contohnya seperti media radio asal Bandung, PRFM (PRFM, n.d.) yang tidak hanya mengandalkan siaran radio konvensional, namun juga membangun portal berita prfmnews.com, serta memanfaatkan berbagai platform, seperti podcast, Youtube, dan media.

Baca Juga: Esensi Hak Tolak bagi Wartawan

Jurnalisme digital merupakan sebuah pola yang melibatkan unsur diseminasi konten secara multimedia, kemudian dampak konten yang lebih luas serta jangkauan global melalui internet, mencerminkan proses pengemasan serta pengolahan konten yang telah usai dan tinggal menunggu untuk disebarkan kepada publik. 

Penggambaran seperti ini dalam jurnalisme digital mempersempit makna jurnalisme sebagai sebuah proses mencari, mengemas, dan menyebarkan informasi.

Penggunaan media digital dalam konseptualisasi jurnalisme digital hanya menggambarkan proses kerja jurnalistik dalam tahapan diseminasi informasi saja.

Menurtu Manovich (dalam Ashari, 2019) mengatakan, dilema terbesar dalam jurnalisme saat ini bukanlah menghadapi perkembangan teknologi yang semakin melebur ke dalam praktik-praktik jurnalisme.

Akan tetapi, bagaimana menyiapkan jurnalis supaya bisa lebih melek teknologi, berkompeten, dan berkeahlian supaya bisa mengambil peluang dalam model-model komputasional di mana perangkat lunak di dalamnya telah mengambil peranan yang dominan. 

Perubahan kultur organisasi akibat pengaruh teknologi media juga perlu mendapatkan perhatian selain kompetensi wartawan dalam beradaptasi dengan digitalisasi. Diseminasi informasi sebanyak mungkin dengan multiplatform membuat konten perlu terus menerus diperbaharui.

Dengan ritme kerja yang menuntut pembaharuan konten terus menerus, jurnalis memiliki waktu yang lebih sedikit untuk melakukan upaya-upaya verifikasi terhadap narasumber atau fakta-fakta yang didapatkan.

Keadaan seperti ini memunculkan kerjasama antar jurnalis dari perusahaan yang berbeda untuk mendapatkan berita dan pada saat bersamaan meredakan ketidakpastian. Persoalan ini berdampak kepada keseragaman konten yang terdapat antara satu perusahaan media dan lainnya. 

Penulis: Helena Aurelia Maharani Guswendi
Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Andalas

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Referensi:
Ashari, Muhammad. 2019. Jurnalisme Digital: Dari Pengumpulan Informasi Sampai Penyebaran Pesan. Inter Komunika: Jurnal Komunikasi Vol 4, No 1, Th 2019, 1-16.

Pos terkait