Hiburan harusnya menjadi sebuah zona yang aman. Ruang di mana kita dapat bersantai, tertawa, dan melepaskan stres dari kehidupan yang semakin rumit.
Namun, bagaimana jika di balik tawa penonton terpendam kesedihan dan penderitaan orang-orang? Ini adalah pertanyaan yang kembali muncul setelah terungkapnya isu dugaan eksploitasi di Oriental Circus Indonesia (OCI).
Beberapa mantan karyawan Sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) mengungkapkan dugaan praktik kekerasan dan perbudakan yang mereka alami selama bertahun-tahun bekerja di sana.
Mereka mengaku direkrut sejak kecil, dilatih dengan keras, dan dipisahkan dari dunia luar.
Banyak di antara mereka yang tidak mendapatkan hak dasar seperti pendidikan, perlindungan hukum, bahkan kebebasan dalam mengambil keputusan. Mereka terjebak dalam industri hiburan, namun tidak pernah benar-benar dianggap sebagai manusia.
Baca juga: Praktik Diskriminasi Usia dalam Dunia Kerja di Indonesia yang Kian Marak
Hal yang membuat masyarakat semakin resah adalah dugaan hubungan Oriental Circus Indonesia (OCI) dengan lembaga konservasi terkenal seperti Taman Safari Indonesia (TSI).
Meskipun Taman Safari Indonesia telah memberikan penjelasan bahwa mereka tidak terhubung dengan Oriental Circus Indonesia, kenyataan bahwa sirkus OCI pernah tampil di lokasi mereka menyisakan pertanyaan besar sejauh mana lembaga hiburan bertanggung jawab terhadap pertunjukan yang mereka izinkan?
Apakah hanya dengan mengklaim, “Kami tidak terlibat” sudah cukup? Di zaman transparansi dan akuntabilitas ini, kita tidak bisa lagi menerima jawaban yang sepele sebagai bentuk tanggung jawab.
Terlebih lagi, ketika yang dipertaruhkan adalah hak dan masa depan anak-anak.
Isu ini lebih dari sekadar kisah mengenai satu grup sirkus yang diduga mengeksploitasi. Ini adalah cermin mendalam mengenai seluruh industri hiburan, baik yang skala besar maupun yang kecil, mulai dari pertunjukan tradisional hingga produksi digital kontemporer.
Kita berada dalam periode dimana kemasan hiburan dapat dengan mudah menyembunyikan kesakitan yang berlangsung di belakang layar.
Tidak peduli bentuknya baik penampilan hewan yang dipaksa tampil di luar habitat aslinya, akrobat manusia yang dilatih di bawah tekanan ekstrim, maupun konten digital yang melibatkan eksploitasi pekerja kreatif semuanya harus ditinjau dengan perspektif etis.
Baca juga: Mengupas Ketidakadilan Gender dalam Industri
Bukan hanya manusia yang terjebak dalam roda ini. Hewan sering kali hanya diperlakukan sebagai objek, dilatih melalui kekerasan, di penjara seumur hidup, hanya untuk menyenangkan penonton selama beberapa menit.
Bagaimana kita bisa menikmati suatu pertunjukan ketika kita mengetahui ada makhluk hidup yang menderita di baliknya? Eksploitasi tidak terbatas pada satu bentuk tertentu.
Ia muncul di mana saja ada ketidakadilan kekuasaan yang menindas yang tak berdaya untuk meraih keuntungan.
Di sinilah peran masyarakat menjadi sangat krusial. Kita tidak bisa lagi bertindak sebagai penonton yang tidak peduli. Kita perlu mulai memandang hiburan dengan sikap kritis.
Selalu tanyakan: siapa yang tampil? Bagaimana perlakuan mereka? Apakah mereka memiliki pilihan? Apakah prosesnya menjaga martabat dan kesejahteraan mereka? Jika tidak, maka pertunjukan itu layak untuk diragukan, bukan disambut dengan antusias.
Tanggung jawab tidak bisa terus-menerus diteruskan kepada orang lain. Semua pihak harus turut serta—mulai dari penyelenggara, tempat yang mendukung acara, pemerintah, hingga kita sebagai konsumen hiburan. Transparansi dalam sektor ini seharusnya menjadi keharusan, bukan sekadar tambahan.
Baca juga: Pengaruh Rekan Kerja dengan Narcissistic Personality Disorder (NPD) terhadap Kinerja Orang Lain
Karena jika kita terus menikmati dengan diam, tertawa di atas penderitaan yang tidak terlihat, maka kita tidak hanya secara implisit menyetujui eksploitasi tersebut kita juga menjadi bagian dari siklus itu.
Saatnya kita merubah cara pandang kita terhadap hiburan bukan hanya dari apa yang tampil di depan publik, tetapi juga dari apa yang terjadi sebelum dan setelah itu. Kemanusiaan tidak boleh dikorbankan demi sebuah pertunjukan.
Penulis: Jeny Sartika Putri
Mahasiswa Filsafat, Universitas Gadjah Mada
Â
Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News