Fitur Anonimitas Media Sosial Jadi Tameng untuk Penistaan Agama

media massa
Ilustrasi media massa dijadikan tempat untuk melakukan penistaan agama.

Pada era digital ini, media sosial menjadi platform persebaran informasi yang sangat cepat dan luas, di mana masyarakat memiliki kebebasan untuk berekspresi dalam penggunaannya sehingga munculah banyak pro dan kontra terkait hal itu.

Pemanfaatan media sosial terkait isu kontroversial seperti penistaan agama juga menjadi salah satu permasalahan yang sering muncul di Indonesia.

Penistaan agama merupakan kegiatan mencemarkan, menghina, atau merendahkan suatu agama beserta ikon-ikon yang berkaitan, mencakup Tuhan, kitab suci, maupun tokoh agama yang terlibat.

Bacaan Lainnya
DONASI

Umumnya, tindakan penistaan agama ini dapat berupa pelecehan untuk menyinggung pihak agama tertentu, penyebaran informasi yang sesat, pencemaran atau perusakan fasilitas ibadah, maupun penyebaran ujaran kebencian.

Dalam kehidupan bermasyarakat, agama muncul sebagai dampak dari konstruksi sosial yang dibentuk oleh manusia sehingga penistaan agama merupakan tindakan menantang atau mempertanyakan konstruksi sosial tersebut.

Telegram Jadi Media Penyebaran: Berlindung di Balik Anonimitas dan Kebebasan Berekspresi?

Salah satu kasus penistaan agama yang sedang populer di media sosial yaitu pemanfaatan aplikasi Telegram untuk membuat sebuah grup yang di dalamnya berisi penistaan terhadap konsep ketuhanan, kitab suci, dan peribadatan yang dijadikan sebagai bahan candaan.

Pelaku memanfaatkan fitur identitas anonim sebagai tameng untuk melakukan penistaan pada beberapa agama tanpa rasa takut akan represif. Selain itu, persebaran konten yang cepat dan tingginya minat masyarakat terhadap isu-isu sensitif juga dimanfaatkan pelaku untuk menyebarluaskan aksi kejahatan tersebut.

Meski kebebasan berekspresi merupakan hak asasi yang fundamental dalam setiap individu, namun kebebasan berekspresi juga memiliki batasan yaitu moral dan etika.

Bila kebebasan berekspresi tersebut digunakan untuk menjatuhkan individu atau kelompok lainnya, maka hal ini pun melanggar hak asasi manusia lainnya yaitu hak untuk mendapatkan rasa aman.

Baca Juga: Apakah Islam Agama Kasih Sayang?

Apa yang Sebetulnya Dicari Oknum dari Kasus Penistaan Agama Ini?

Sesuai dengan konten yang diunggah oleh salah satu pengguna aplikasi X yang pernah menjadi anggota dalam grup penistaan agama tersebut, oknum melakukan tindakan tersebut atas dasar keinginan untuk mendapatkan perhatian dari khalayak ramai.

Namun, hingga saat ini belum ada itikad baik dari pelaku untuk menulis permintaan maaf ataupun klarifikasi atas tindakannya yang melanggar hak asasi manusia.

Manusia sebagai makhluk sosial sejatinya selalu membutuhkan kognisi dan perhatian dari orang lain. Namun, tendensi psikologis yang berbeda menyebabkan perhatian ini diarahkan pada perilaku yang positif atau negatif.

Jika seseorang mencari perhatian orang lain dengan melakukan perilaku negatif biasanya dipengaruhi oleh trauma masa lalu, gangguan kepribadian, maupun lingkungan sosial yang membentuknya.

Meskipun begitu, bukan berarti tindakan tersebut dapat dibenarkan sebab merugikan banyak pihak sehingga diperlukan mekanisme koping yang sehat untuk penanganannya.

Baca Juga: Mengunjungi Berbagai Tempat Ibadah Bersejarah yang Berdampingan, Mahasiswa/i PMM UKI Merasakan Harmoni Beragama di Jakarta sebagai Wajah Damai Indonesia

Darurat Penanganan Penistaan Agama di Media Sosial

Kesadaran terhadap penistaan agama yang tersebar di media sosial sangatlah penting. Sebagaimana tercantum dalam landasan fundamental negara yaitu Pancasila, untuk mewujudkan suatu bangsa yang bersatu, adil, dan makmur, rakyat Indonesia perlu memupuk rasa toleransi, kohesi sosial, dan saling menghargai.

Penistaan agama jelas menyalahi hak asasi manusia, yaitu setiap orang berhak memeluk agama tanpa adanya rasa takut dan diskriminasi oleh pihak lain. Lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 Pasal 1 Ayat (1) juga menjelaskan mengenai pencegahan, penyalahgunaan, dan/atau penodaan agama yang merupakan persoalan serius.

Dalam perspektif filsafat, oknum yang melakukan penistaan agama mengalami kesalahan berpikir secara logika formal sehingga oknum sengaja untuk memicu terjadinya perpecahan antar umat beragama.

Selain itu, tidak menutup kemungkinan oknum tersebut akan mendapat serangan balik dari pengguna media sosial sehingga mereka lebih fokus untuk menyerang pelaku secara personal dibanding fokus menyerang argumennya. Efek ini juga dikenal sebagai ad hominem fallacy.

Penistaan agama menyalahi nilai-nilai, etika moral dan norma sosial yang ada di masyarakat yaitu sikap saling menghormati keyakinan orang lain. Penggunaan bahasa yang kerap digunakan dalam konten penistaan agama biasanya mengandung kalimat yang provokatif sehingga bertentangan dengan konsep komunikasi yang efektif.

Akibat yang ditimbulkan penistaan agama meskipun sebagian besar terfokus pada golongan yang menjadi korban namun juga berdampak pada oknum yang akan mendapat sanksi sosial dan sanksi hukum dari pihak yang berwenang. Jadi, sebetulnya secara pragmatisme konsekuensi dari tindakan tersebut merugikan kedua belah pihak.

Baca Juga: Pembagian Hak Waris kepada Anak Terkait Perkara Perceraian dengan Adanya Unsur Perpindahan Agama

Menekan Serangan Maya Para Penista Agama

Upaya preventif yang dapat dilakukan untuk mencegah terulangnya kembali kasus penistaan agama di media sosial yaitu meningkatkan literasi agama dan budaya.

Dengan meningkatnya pemahaman kita mengenai agama dan budaya yang berbeda di masyarakat tentunya memupuk rasa toleransi dan saling menghormati antar umat beragama.

Selanjutnya, masyarakat secara aktif dapat berpartisipasi membuat konten edukasi digital tentang bagaimana cara menggunakan media sosial dengan bijak. Konten yang dimuat dapat berisi tips dan strategi untuk menggunakan media sosial secara positif dan konstruktif.

Langkah selanjutnya yaitu membangun komunikasi yang efektif antar umat beragama. Komunikasi yang terbuka dan jujur dapat membantu kita untuk memahami keyakinan, nilai-nilai, dan tradisi satu sama lain.

Lalu tidak kalah penting, platform media sosial perlu melakukan moderasi konten yang lebih ketat untuk menghapus konten penistaan agama dan mencegah penyebarannya.

Selanjutnya upaya represif yang dapat dilakukan untuk kasus seperti ini yaitu melaporkan kepada pihak yang berwenang.

Dengan memahami dampak yang timbul dari penistaan agama, maka selayaknya kita meningkatkan kepedulian terhadap isu-isu tersebut dengan cara melaporkan konten yang bersangkutan agar ditindaklanjuti oleh pihak yang berwajib.

Selain itu, kepedulian yang dibentuk terhadap konten penistaan agama mencegah terjadinya ujaran kebencian dan trauma psikologis yang muncul dari individu atau kelompok tertentu.

Oleh sebab itu, tantangan kompleks yang perlu dihadapi masyarakat adalah bagaimana cara menemukan keseimbangan antara toleransi, hak individu, hak kolektif, serta kebebasan dalam berekspresi.

Mengingat Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman budaya, suku, ras, dan agama maka sepatutnya perasaan toleransi dianut oleh semua orang untuk membangun lingkungan yang inklusif dan menghargai keanekaragaman tersebut.

Penulis: Anisa Rahma Auliya
Mahasiswa Psikologi Universitas Brawijaya

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI