Gotong Royong di Era Modern: Fenomena Sosial dan Kekuatan Kolaborasi dalam Masyarakat Indonesia

Opini
Ilustrasi: istockphoto

Apakah budaya gotong royong masih relevan di era modern masyarakat Indonesia? Pertanyaan ini sering kali muncul ketika kita melihat perubahan sosial yang terjadi dengan cepat di tengah kemajuan teknologi dan globalisasi.

Namun, jika kita melihat lebih dalam, budaya gotong royong tetap memegang peranan yang penting dalam membangun kebersamaan dan kerjasama di antara berbagai kelompok masyarakat. Budaya gotong royong merupakan fenomena sosial yang telah mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia.

Konsep ini berpusat pada kolaborasi dan kepedulian antar individu dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Dalam budaya ini, orang-orang saling membantu satu sama lain tanpa mengharapkan imbalan apapun. Prinsip solidaritas dan kebersamaan menjadi dasar dari budaya ini, dan nilai-nilai ini masih berlaku di era modern.

Baca Juga: Perbudakan Modern di Tengah Hidup Masyarakat Indonesia

Bacaan Lainnya

Budaya gotong royong telah menjadi warisan berharga dalam peradaban manusia sejak zaman dahulu. Gotong royong diartikan dalam budaya Jawa memiliki arti bekerja dan mengangkat sesuatu secara bersama-sama.

Konsep ini melibatkan partisipasi aktif setiap individu dalam memberikan manfaat kepada orang lain dan masyarakat sekitar. Dalam praktik gotong royong, terbentuk ikatan sosial yang kuat dan kesejahteraan masyarakat meningkat secara keseluruhan.

(Kusumaningrum et al., 2015) Dalam mengkaji budaya gotong royong, teori kognitif sosial yang dikembangkan oleh Albert Bandura dan pendekatan teori prososial dalam psikologi sosial dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang aspek psikologis dan sosial yang terlibat dalam fenomena ini.

Dalam kaitannya dengan teori kognitif sosial yang dikembangkan oleh Albert Bandura, budaya gotong royong dapat dipahami sebagai hasil dari pembelajaran sosial. Teori ini menekankan bahwa sebagian besar pembelajaran manusia terjadi melalui interaksi dengan lingkungan sosial.

Manusia belajar melalui pengamatan terhadap orang lain sebagai sumber pengetahuan, aturan, keterampilan, strategi, keyakinan, dan sikap. Dengan melihat dan mengamati perilaku orang lain, individu memperoleh pemahaman tentang kegunaan dan kesesuaian prilaku tersebut.

Dalam hal ini, budaya gotong royong berperan sebagai model perilaku yang dapat diamati dan diinternalisasikan oleh individu. Melalui pengamatan terhadap praktik gotong royong dalam masyarakat, individu dapat belajar tentang pentingnya kerjasama, saling membantu, dan mengutamakan kepentingan bersama.

Mereka kemudian mengaplikasikan perilaku tersebut berdasarkan keyakinan mereka tentang kemampuan diri dan hasil yang diharapkan. Dalam hal ini, teori kognitif sosial memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana budaya gotong royong dapat dipahami sebagai hasil dari proses pembelajaran sosial.

Baca Juga: Pancasila sebagai Sistem Etika bagi Masyarakat Indonesia

(Yanuardianto, 2019) Melalui pengamatan ini, mereka juga memahami konsekuensi positif yang terkait dengan perilaku prososial, seperti kepuasan emosional dan peningkatan kohesi sosial dalam masyarakat. Proses ini memainkan peran penting dalam membentuk perilaku sosial yang prososial, seperti membantu sesama, berbagi sumber daya, dan saling mendukung.

Perilaku prososial mencakup segala bentuk tindakan yang dilakukan dengan tujuan membantu orang lain, tanpa memedulikan motif yang mendasarinya. Salah satu contoh perilaku tersebut adalah perilaku altruistik (Ni Desak Made Santi Diwyarthi, 2021).

Menurut Taylor, Peplau, dan Sears (2009, seperti yang dikutip oleh Hilmy et al., 2019), altruisme adalah tindakan sukarela yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk membantu orang lain tanpa mengharapkan imbalan, kecuali hanya mendapatkan kepuasan dari melakukan kebaikan.

Ada dua perbedaan penting antara altruisme dan perilaku prososial. Pertama, perilaku prososial merujuk pada tindakan pertolongan yang diambil oleh seseorang, sedangkan altruisme hanya merupakan salah satu kemungkinan motif yang mendasari tindakan tersebut.

Begitu juga yang dikatakan oleh (Baron & Donn Byrne, 2005) Tingkah laku prososial atau perilaku prososial adalah segala tindakan yang memberikan manfaat kepada orang lain. Istilah ini biasanya digunakan untuk menggambarkan tindakan yang tidak memberikan keuntungan langsung bagi pelaku, bahkan mungkin melibatkan risiko tertentu.

Pendekatan teori prososial dalam psikologi sosial lebih lanjut meneliti faktor-faktor sosial dan psikologis yang mempengaruhi perilaku prososial individu. Dalam konteks budaya gotong royong, norma sosial yang menghargai dan mendorong kerjasama, kepedulian sosial, dan partisipasi aktif memainkan peran penting dalam membentuk perilaku prososial masyarakat.

Individu yang merasa terikat dalam komunitas gotong royong cenderung memiliki motivasi intrinsik yang kuat untuk berperilaku prososial dan mendukung kesejahteraan bersama. Secara konkret, perilaku prososial merujuk pada perbuatan yang meliputi berbagi, bekerja sama, menolong, bersikap jujur, dermawan, dan memperhatikan hak serta kesejahteraan orang lain.

Baca Juga: Pancasila Sebagai Landasan dalam Gaya Hidup Masyarakat Indonesia

(Asih & Pratiwi, 2010) Dalam analisis yang lebih mendalam, dapat dilihat bahwa budaya gotong royong dan perilaku prososial saling melengkapi. Budaya gotong royong menciptakan norma sosial yang mendukung perilaku prososial, sementara perilaku prososial yang ditunjukkan oleh individu memperkuat dan mempertahankan budaya gotong royong.

Dalam interaksi yang kompleks antara pembelajaran melalui pengamatan, motivasi prososial, norma sosial, dan identitas komunitas, budaya gotong royong berkembang dan menjadi pondasi kuat bagi kolaborasi, solidaritas, dan kebersamaan dalam masyarakat.

Dalam masyarakat Indonesia, budaya gotong royong telah mengakar dalam kehidupan sehari-hari. Tradisi gotong royong dapat ditemukan dalam berbagai aktivitas, seperti membangun rumah, merayakan acara adat, atau mengatasi bencana alam.

Ketika ada anggota masyarakat yang membutuhkan bantuan, individu lain dengan sukarela memberikan kontribusi berupa tenaga, sumber daya, dan keahlian mereka. Kolaborasi ini tidak hanya memberikan manfaat fisik, tetapi juga membangun ikatan sosial yang kuat antar anggota masyarakat.

Namun dalam konteks globalisasi dan kemajuan teknologi sekarang, budaya gotong royong sedang menghadapi tantangan dan perubahan. Terkadang, masyarakat cenderung terpolarisasi dan terkotak-kotak dalam komunitas yang sesuai dengan minat dan preferensi individu.

Namun, di tengah kompleksitas ini, penting bagi kita untuk menjaga dan memperkuat nilai-nilai budaya gotong royong sebagai dasar yang kuat dalam membangun kebersamaan dan kerjasama di antara berbagai kelompok masyarakat.

Nilai-nilai ini menjadi landasan bagi interaksi sosial yang harmonis dan memperkuat solidaritas antar individu. Beberapa nilai-nilai gotong royong yang penting antara lain:

  1. Kerjasama: Gotong royong mengajarkan pentingnya bekerja bersama dan saling membantu dalam mencapai tujuan bersama. Individu-individu saling berkolaborasi, berbagi pengetahuan dan keterampilan, serta mendukung satu sama lain dalam menghadapi tantangan.
  2. Kepedulian terhadap sesama: Gotong royong mendorong individu untuk peduli dan memperhatikan kebutuhan orang lain. Mereka siap memberikan bantuan, baik dalam bentuk materi, emosional, atau spiritual, untuk meningkatkan kesejahteraan bersama.
  3. Solidaritas: Nilai ini mengacu pada rasa persatuan dan kesatuan antara anggota masyarakat. Melalui gotong royong, individu merasa saling terhubung dan saling mendukung, mengesampingkan perbedaan dan memprioritaskan kepentingan bersama.
  4. Saling menghormati: Gotong royong didasarkan pada rasa saling menghargai dan menghormati perbedaan di antara anggota masyarakat. Individu menghormati hak dan kebutuhan orang lain serta menghargai kontribusi yang diberikan oleh setiap anggota.
  5. Tanggung jawab sosial: Gotong royong mengajarkan tanggung jawab sosial terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar. Individu diharapkan bertanggung jawab dalam menjaga kebersihan, keamanan, dan keharmonisan lingkungan tempat tinggal mereka.
  6. Rela berkorban: Nilai gotong royong juga mencakup rela berkorban demi kepentingan bersama. Individu siap mengorbankan waktu, tenaga, atau sumber daya pribadi mereka untuk kebaikan dan kesejahteraan komunitas.
  7. Kejujuran: Gotong royong mendorong integritas dan kejujuran dalam berinteraksi. Individu diharapkan berkomunikasi secara terbuka, transparan, dan jujur dalam setiap tindakan dan komitmen yang mereka lakukan.
  8. Adil dan egaliter: Gotong royong mengedepankan prinsip kesetaraan dan keadilan sosial. Setiap individu diperlakukan dengan adil dan memiliki kesempatan yang sama dalam berpartisipasi serta mendapatkan manfaat dari kerjasama kolektif.

Baca Juga: Transformasi Sistem Pemasyarakatan di Indonesia Teori Prinsip 7 McKinsey

Nilai-nilai gotong royong ini menjadi pilar dalam membentuk hubungan sosial yang kuat dan membangun masyarakat yang berkelanjutan. Dengan menghargai dan menerapkan nilai-nilai ini, kita dapat memperkuat ikatan sosial, meningkatkan kesejahteraan bersama, dan mencapai kemajuan yang berkelanjutan dalam masyarakat.

Dalam menjaga budaya gotong royong, pendidikan juga memegang peran kunci. Melalui pendidikan, nilai-nilai kerjasama, empati, dan kepedulian terhadap sesama dapat ditanamkan sejak usia dini. Pendidikan juga dapat membantu mengembangkan keterampilan sosial dan pemahaman tentang pentingnya kolaborasi dalam mencapai tujuan bersama.

Dengan memberikan pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai gotong royong, kita dapat melahirkan generasi yang paham akan arti penting kerjasama dan siap untuk berkontribusi dalam membangun masyarakat yang lebih harmonis.

Dengan memadukan pemahaman dari teori kognitif sosial dan teori prososial, kita dapat menyimpulkan bahwa budaya gotong royong merupakan hasil dari proses pembelajaran sosial yang mengedepankan kolaborasi dan perilaku prososial dalam masyarakat Indonesia.

Melalui pembelajaran dan pengamatan terhadap praktik gotong royong, individu belajar untuk bekerja sama, saling membantu, dan mengutamakan kepentingan bersama. Dalam hal ini, teori Bandura dan teori prososial memberikan pemahaman yang dalam tentang bagaimana budaya gotong royong terbentuk dan bagaimana nilai-nilainya dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam kesimpulannya, budaya gotong royong tetap relevan di era modern masyarakat Indonesia. Melalui pendekatan teori kognitif sosial dan teori prososial, kita dapat melihat bagaimana budaya ini membentuk masyarakat yang berdaya, harmonis, dan saling mendukung.

Pentingnya pendidikan dalam menumbuhkan nilai-nilai gotong royong dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kolaborasi dan kepedulian terhadap sesama tidak boleh diabaikan. Dengan demikian, budaya gotong royong akan terus menjadi landasan yang kuat dalam membangun masyarakat Indonesia yang lebih baik di era modern ini.

Penulis: Ulul Udin Albab
Mahasiswa Interdisciplinary Islamic Studies, Konsentrasi Psikologi Pendidikan Islam Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Editor: Ika Ayuni Lestari     

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Referensi

Asih, G. Y., & Pratiwi, M. M. S. (2010). Perilaku Prososial Ditinjau Dari Empati Dan Kematangan Emosi. Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus, I(1), 33–42. http://eprints.umk.ac.id/268/1/33_-_42.PDF

Baron, R. A., & Donn Byrne. (2005). Psikologi Sosial Jilid 2 Edisi Kesepuluh. Penerbit Erlangga,Terjemahan.

Hilmy, H. F., Stanisiaus, S., & Mabruri, M. I. (2019). Perilaku Prososial Masyarakat Arab yang Berelasi dengan Masyarakat Jawa. Intuisi : Jurnal Psikologi Ilmiah, 11(1), 64–68.

Kusumaningrum, A. S. N., Evi, Z., A’yun, M. Q., & Fadhilah, L. N. (2015). Gotong Royong Sebagai Jati Diri Indonesia. Proceeding Seminar Nasional Selamatkan Generasi Bangsa Dengan Membentuk Karakter Berbasis Kearifan Lokal, Surakarta: Rumah Hebat Indonesia.

Ni Desak Made Santi Diwyarthi, D. (2021). Persepsi dan Pengalaman Akademik Dosen Keolahragaan. https://jurnal.unai.edu/index.php/jeko/article/view/516

Yanuardianto, E. (2019). Teori Kognitif Sosial Albert Bandura (Studi Kritis Dalam Menjawab Problem Pembelajaran di Mi). Auladuna : Jurnal Prodi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, 1(2), 94–111. https://doi.org/10.36835/au.v1i2.235

Pos terkait