Diskursus soal kesetaraan gender adalah hal yang menarik untuk dikaji dan diteliti. Melihat kondisi di mana perempuan merasa bahwa mereka terdominasi oleh laki-laki, mereka tidak mendapatkan posisi yang sama dengan laki-laki, perempuan selalu ditempatkan di bawah laki-laki, bahkan tidak sedikit perempuan yang hanya dijadikan sebagai alat pemuas birahi laki-laki.
Hal inilah yang dikenal sebagai budaya patriarki di Indonesia hingga hari ini. Hal tersebut kemudian memunculkan berbagai macam perlawanan kaum feminis untuk menyetarakan derajat laki-laki dan perempuan di ranah publik dan memperjuangkan kebebasan perempuan dari kungkungan laki-laki yang selalu mendominasi dan menguasai dalam segala hal.
Fenomena tuntutan terhadap kesetaraan gender semakin menarik ketika dikaitkan dengan politik, karena dalam sejarah perpolitikan Indonesia berbagai dinamika soal gender dalam politik sudah menjadi rahasia publik bahwa perempuan selalu didominasi oleh laki-laki.
Bahkan, pernah dalam satu masa tingkat keterwakilan perempuan sangat menurun di Indonesia, meskipun itu di masa-masa berikutnya mulai meningkat meski belum maksimal, akan tetapi setidaknya ada progres ke arah yang lebih untuk menunjukkan bahwa ada pergerakan dari kaum perempuan untuk meruntuhkan budaya patriarki yang sudah mengakar di negara Indonesia.
Keterlibatan perempuan dalam politik dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan meskipun pernah mengalami penurunan dari 1992 ke 1999, namun setelah itu terus mengalami peningkatan.
Salah satu indikatornya adalah tren peningkatan keterwakilan perempuan di legislatif terutama sejak pemilihan umum (Pemilu) 1999 hingga Pemilu terakhir pada 2009. Pada Pemilu 1999 (9,2%), Pemilu 2004 (11,8%), dan Pemilu 2009 (18%).
Peningkatan keterwakilan perempuan dalam politik, terutama dalam Pemilu tidak terjadi secara serta merta, namun karena perjuangan yang terus-menerus untuk mewujudkan hak setiap orang untuk mencapai persamaan dan keadilan, salah satunya adalah dengan mewujudkan peraturan perundang-undangan yang memiliki keberpihakan dan afirmatif terhadap peningkatan keterwakilan perempuan.
Indonesia telah lama mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 68 Tahun 1958 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Politik Perempuan.
Di dalamnya, mengatur mengenai Perwujudan Kesamaan Kedudukan (non-diskriminasi), jaminan persamaan hak memilih dan dipilih, jaminan partisipasi dalam perumusan kebijakan, kesempatan menempati posisi jabatan birokrasi, dan jaminan partisipasi dalam organisasi sosial politik.
Namun, peningkatan keterwakilan perempuan terjadi setelah berlakunya perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yaitu Pasal 28 H Ayat (2) yang menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”
Penulis: Nasywa Aaliyah Fitri Ningrum
Mahasiswa Hukum Universitas Diponegoro
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News