Hubungan antara Indonesia dengan negara-negara di kawasan pasifik bisa dianggap sebagai hubungan yang belum berjalan harmonis dan seia sekata dalam persepsinya mengenai suatu permasalahan.
Berbatasan langsung di wilayah timur dengan Papua Nugini dan Samudera Pasifik nyatanya tidak memberi kemudahan bagi Indonesia untuk berinteraksi dengan negara-negara tersebut.
Salah satu permasalahan yang membuat hubungan antara Indonesia dan Pasifik belakangan ini memiliki tensi tinggi, yang merupakan akibat dari meningkatnya kekhawatiran negara-negara kawasan tersebut tentang kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan oleh Indonesia di Papua Barat.
Vanuatu dan Kepulauan Solomon telah mengambil langkah yang signifikan dengan mengangkat isu ini pada pertemuan Dewan HAM Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) di Jenewa, Swiss.
Selain kedua negara tersebut di kesempaatan berbeda negara Selandia Baru juga menyuarakan kekhawatiran mereka melalui Menteri Luar Negeri (Menlu) Winston Peters, yang menyebut bahwa negara mereka akan meningkatkan perhatiannya terhadap isu kemanusiaan di Papua, langkah perwakilan negara pasifik tersebut tentu menjadi sinyal jelas yang mengharuskan Indonesia untuk membuat kebijakan luar negeri yang komprehensif atau dapat diterima oleh kawasan Pasifik.
Menanggapi hal tersebut, Indonesia bereaksi dengan merumuskan kebijakan luar negeri untuk mendorong diadakannya pameran bisnis dan perdagangan pada pertengahan Juli 2019 yang bertempat di Auckland, Selandia Baru.
Pameran yang diberi nama The Pacific Exposition 2019 dianggap bukan hanya memiliki agenda ekonomi di dalamnya, namun juga bermuatan politik karena menjadi forum pertemuan antara Menlu Indonesia, Selandia Baru, Australia, serta pejabat pemerintah senior dari seluruh negara Polinesia dan Melanesia.
Tujuan utamanya jelas untuk mendorong hubungan diplomatik yang lebih baik antara Indonesia dan negara-negara dari kawasan Pasifik tersebut.
Pacific Exposition adalah panggung yang mempertemukan negara-negara di kawasan Pasifik untuk berkolaborasi, berdagang, dan memperkuat hubungan. Pada tahun 2021, Indonesia berpartisipasi aktif dalam acara ini dengan tema “It’s Time for the Pacific.”
Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi kontribusi Indonesia dalam Pacific Exposition dan menggali harmoni Nusantara yang unik di tengah keragaman budaya Pasifik. Pacific Exposition merupakan sebuah pameran dunia yang diadakan di San Francisco, California, Amerika Serikat, dari tanggal 20 Februari hingga 4 Desember 1915.
Tujuan utamanya adalah untuk merayakan selesainya pembangunan Terusan Panama, tetapi di Kota San Francisco, pameran ini juga dianggap sebagai kesempatan untuk memperlihatkan pemulihan kota tersebut setelah gempa bumi tahun 1906.
Baca Juga: Kemiskinan di Papua Barat
Pameran ini dibangun di lahan seluas 636 acre (257 hektar) di sepanjang pantai utara, antara Presidio dan Fort Mason, yang sekarang dikenal sebagai Marina District. Beberapa aspek menarik dari Pacific Exposition meliputi:
1. Pameran dan Tema
Pameran ini menampilkan berbagai atraksi, termasuk kehidupan suku asli Amerika. Salah satu atraksi yang paling populer adalah patung “The End of the Trail” karya James Earle Fraser, yang menggambarkan seorang pria suku asli Amerika yang lemah di atas kuda.
Patung ini mencerminkan pandangan Amerika saat itu bahwa suku asli Amerika terancam punah. Selain merayakan selesainya Terusan Panama, pameran ini juga memperlihatkan kemajuan yang dicapai oleh masyarakat Amerika, termasuk penaklukan terhadap suku-suku asli oleh orang Amerika dan Eropa.
2. Perwakilan Suku Asli
Kebudayaan suku asli Amerika menjadi topik menarik selama pameran ini. Selain patung “The End of the Trail,” ada banyak atraksi lain yang menggambarkan kehidupan suku asli. Pameran ini juga menyoroti penaklukan suku-suku asli oleh orang Amerika dan Eropa, yang tercermin dalam karya seni seperti “The Pioneer” dan penghormatan kepada Francisco Pizarro dan Hernán Cortés.
3. Acara Tambahan
Selama pameran, ada balapan mobil Grand Prize dan Vanderbilt Cup pada bulan Februari dan Maret 1915 di sirkuit sepanjang 3,84 mil (6,18 km) di sekitar area pameran, Smithsonian Institution juga memiliki pameran di pameran ini.
Indonesia yang kala itu baru saja Joko Widodo yang menggantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merupakan Presiden Republik Indonesia ketujuh yang memiliki latar belakang berbeda dari para pendahulunya.
Tidak memiliki latar belakang militer dan bukan berasal dari keluarga yang memiliki keterkaitan dengan sejarah perpolitikan di Indonesia menjadikan Jokowi populer khususnya di kalangan masyarakat wong cilik. Jokowi dipandang sebagai harapan baru di era demokrasi politik Indonesia.
Program blusukan-nya menggambarkan dirinya sebagai orang yang rendah hati dan pro-rakyat yang pada akhirnya menuntunnya dalam memformulasikan orientasi kebijakan luar negeri Indonesia. Ketika masuk dalam bursa pemilihan presiden, keterampilan dan pengetahuan Joko Widodo dalam hubungan internasional dan isu keamanan-pertahanan acapkali diragukan.
Baca Juga: Ketidakseimbangan Perhatian Pemerintah: Rohingya vs Kelaparan di Papua
Dalam kaitannya dengan Kepulauan Pasifik, Jokowi tetap melanjutkan kebijakan ‘Look East Policy’ yang memprioritaskan kawasan ini dalam politik luar negeri Indonesia, misalnya dengan memberikan bantuan bencana kepada Fiji dan Vanuatu dengan jumlah yang besar.
Tetapi yang membedakan adalah keterlibatan Indonesia untuk menggandeng negara-negara Kepulauan Pasifik menjadi lebih intens. Terlihat pada penyelenggaraan Pacific Exposition pada 2019 lalu di Auckland, Selandia Baru di mana pada saat itu, Retno Marsudi memperkenalkan istilah Pacific Elevation yang merujuk pada era kemitraan baru bagi Indonesia dan Pasifik.
Keterlibatan Indonesia di Kepulauan Pasifik pun ditunjukkan dengan memberikan berbagai bantuan baik dalam bentuk pembangunan kapasitas maupun kemanusiaan. Dalam pernyataan pers tahunan, Retno Marsudi mengatakan bahwa bantuan yang diberikan oleh Indonesia untuk memperkuat kehadirannya di Pasifik sebagai bentuk solidaritas ikatan Melanesia (Kementerian Luar Negeri RI, 2018b).
Negara-negara di kawasan Kepulauan Pasifik khususnya anggota MSG juga menjadi penerima manfaat utama dari Kerja Sama Selatan-Selatan dan Triangular. Sejak 1999, pemerintah Indonesia mengklaim bahwa 1.645 peserta dari wilayah Kepulauan Pasifik telah berpartisipasi dalam 194 program peningkatan kapasitas yang diberikan oleh pemerintah (Kementerian Luar Negeri RI, 2018a).
Pada Maret 2019 lalu misalnya, pemerintah Indonesia juga menyelenggarakan Indonesia South Pacific Forum (ISPF) yang dilanjutkan dengan Pacific Exposition untuk membuka potensi kerja sama perdagangan, investasi, dan turisme dengan negara-negara di Kepulauan Pasifik.
Dalam hal kerja sama keamanan, Indonesia menjadi tuan rumah Pertemuan Kelompok Kerja Strategi Keamanan Regional MSG Pertama pada tahun 2017 untuk mencegah dan memberantas kejahatan lintas negara, membantu negara-negara anggota MSG dalam membuat kurikulum untuk pengembangan akademi polisi regional, dan mendukung negara-negara MSG dalam meningkatkan kontribusinya pada Operasi Pemeliharaan Perdamaian PBB dengan membentuk unit yang mirip dengan satuan polisi Indonesia.
Tahun 2018 lalu, Indonesia-Fiji yang sudah memiliki hubungan diplomatik yang panjang dibandingkan negara-negara lainnya di Kepulauan Pasifik, mencoba memperluas kerja sama pada area strategis di bidang pertahanan dengan mengadakan pertemuan Menteri Pertahanan sebagai kelanjutan dari Nota Kesepahaman tentang Kerjasama Pertahanan yang ditandatangani pada September 2017.
Langkah yang diambil oleh pemerintah Indonesia dalam mendekati negara-negara di Kepulauan Pasifik, baik itu melalui mekanisme bilateral maupun multilateral dengan mencoba merambah area kerja sama dalam berbagai sektor yang dianalisis, tidak akan terlepas dari nuansa politis Indonesia yang memiliki kepentingan kuat dalam menjaga integrasi wilayah Papua dan untuk menangkal potensi ancaman yang bersumber dari negara-negara di Kepulauan Pasifik dalam forum-forum PBB.
Walaupun bernuansa politis, Indonesia tetap mempertimbangkan aspek lain agar implementasi kebijakan ‘Look East’ ini juga memberikan manfaat secara ekonomi.
Sebagai contoh, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh World Integrated Trade Solution (WITS), dalam rentang tahun 2015-2017, Papua Nugini dan Fiji merupakan mitra dagang terbesar di kawasan Kepulauan Pasifik di samping Australia dan Selandia Baru.
Barang konsumen, produk makanan, dan bahan kimia merupakan contoh produk ekspor unggulan Indonesia. Nilai ekspor untuk barang konsumen dari Indonesia ke Fiji rata-rata mencapai 12-16 juta dollar AS dalam rentang tahun 2015-2017 menurut data yang diperoleh dari WITS.
Penyelenggaraan ISPF dan Pacific Exposition juga merupakan salah satu contoh lain keterlibatan Indonesia dari aspek ekonomi.
Dengan penguatan kerja sama ekonomi antara Indonesia dengan negara-negara di Kepulauan Pasifik sebenarnya dapat memberikan peluang bagi Indonesia untuk menambah pasar non-tradisionalnya sekaligus dianalisis sebagai strategi yang dimainkan oleh Indonesia untuk merangkul negara-negara di Kepulauan Pasifik.
Di bawah kepemimpinan Joko Widodo selama satu periode dari tahun 2014-2019 pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia atau yang lebih sering disebut sebagai “Look East Policy” mengalami kontinuitas dari para pendahulunya.
Namun secara khusus, realisasi kebijakan ini memberikan perhatian lebih terhadap keterlibatan Indonesia yang mendalam di Kepulauan Pasifik baik itu melalui penguatan hubungan bilateral maupun di level multilateral.
Perkembangan yang terjadi pada lingkup eksternal di Kepulauan Pasifik seperti pergantian kepemimpinan, isu Papua yang disuarakan oleh beberapa negara seperti Vanuatu, Kepulauan Solomon, dan Tuvalu di forum PBB, manuver politik yang dilakukan oleh ULMWP di organisasi seperti MSG atau pun pergerakan yang dilakukan oleh Vanuatu dalam Forum Kepulauan Pasifik terkait masalah HAM di Papua akhirnya mendorong tindakan yang adaptif dari Indonesia sebagai respons atas perubahan yang terjadi.
Sikap yang diambil oleh pemerintah Indonesia seperti menjadi associate member dalam MSG, mitra pembangunan dalam Forum Kepulauan Pasifik dan Forum Pengembangan Kepulauan Pasifik misalnya, penguatan kerja sama bilateral, atau penyelenggaraan forum untuk membahas dan memperluas kerja sama ekonomi dianalisis sebagai tindakan adaptif sebagai upaya untuk merangkul negara-negara di Kepulauan Pasifik ini.
Penulis: Rabiatul Awaliyah
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News