Fenomena hate komen di lingkungan kampus sering kali terjadi di platform digital, seperti media sosial atau grup daring yang digunakan oleh mahasiswa.
Komentar kebencian ini biasanya ditujukan kepada mahasiswa atau dosen yang memiliki pandangan berbeda, baik dalam hal politik, keagamaan, atau isu sosial lainnya.
Selain itu, individu dengan identitas tertentu, seperti kelompok minoritas etnis, gender, atau orientasi seksual, juga sering menjadi sasaran ujaran kebencian.
Pelaku hate komen biasanya berasal dari sesama mahasiswa yang merasa tidak setuju dengan pandangan atau tindakan seseorang, atau mereka yang terprovokasi oleh perbedaan pendapat dalam diskusi daring.
Hal ini menciptakan suasana yang tidak sehat dan memicu polarisasi di antara civitas akademika.
Baca Juga: Etika Bersosial Media dalam Menghindari Adanya Cyberbullying
Seiring dengan perkembangan teknologi dan semakin maraknya penggunaan media sosial, fenomena hate komen atau komentar kebencian menjadi salah satu masalah yang kerap ditemukan, termasuk di lingkungan kampus.
Media sosial dan forum daring kampus sering kali dijadikan wadah untuk bertukar informasi dan berdiskusi.
Namun, di balik manfaatnya, platform ini juga rentan digunakan untuk menyebarkan ujaran kebencian, terutama ketika terjadi perbedaan pendapat atau pandangan.
Hate komen di kampus bisa berdampak negatif pada suasana akademik dan sosial, menciptakan ketegangan antara individu atau kelompok, serta merusak reputasi dan hubungan antar civitas akademika.
Hate komen merujuk pada komentar atau pesan yang mengandung kebencian, penghinaan, atau diskriminasi terhadap individu atau kelompok tertentu.
Komentar ini sering kali muncul di platform media sosial, forum daring, atau bahkan di ruang diskusi kampus, dan bisa berupa ujaran kebencian yang menyerang berdasarkan ras, agama, gender, orientasi seksual, atau pandangan politik.
Hate komen bertujuan untuk merendahkan, menghina, atau menimbulkan permusuhan, sehingga dapat memperburuk hubungan antar sesama pengguna media sosial dan menciptakan atmosfer yang tidak sehat.
Fakta menunjukkan bahwa hate komen semakin menjadi fenomena yang meluas, terutama dengan pesatnya perkembangan penggunaan media sosial.
Berdasarkan data dari laporan Amnesty International pada tahun 2020, lebih dari 40% pengguna internet melaporkan pernah mengalami atau melihat konten kebencian di platform digital.
Di Indonesia, survei yang dilakukan oleh Asosiasi Pengguna Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2023 menunjukkan bahwa sekitar 28% pengguna internet di Indonesia melaporkan mengalami pelecehan atau ujaran kebencian dalam berbagai bentuk, termasuk di platform media sosial, yang menjadi salah satu tempat utama terjadinya hate komen.
Hal ini menunjukkan bahwa hate komen menjadi masalah global yang semakin kompleks, tidak terkecuali di lingkungan kampus, di mana mahasiswa menjadi salah satu kelompok yang rentan terkena dampaknya.
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Kominfo pada tahun 2022 mengungkapkan bahwa mayoritas hate komen di media sosial ditujukan kepada individu atau kelompok dengan identitas yang berbeda, seperti ras, agama, atau pandangan politik yang tidak sejalan.
Kampus sebagai lingkungan yang penuh dengan dinamika pemikiran dan diskusi sering kali menjadi medan terjadinya konflik, baik antar mahasiswa maupun antara mahasiswa dan dosen.
Sebagian besar hate komen ini bersifat anonim, yang memungkinkan pelaku untuk menyerang tanpa rasa takut akan konsekuensi.
Data ini mencerminkan betapa besar dampak dari hate komen dalam menciptakan polarisasi dan ketegangan di lingkungan akademik, yang dapat merusak keharmonisan dan produktivitas dalam dunia pendidikan.
Baca Juga: Di Kala Hukum Jadi Alat untuk Kriminalisasi “Ujaran Kebencian”
Hate komen sering kali muncul akibat ketidakmampuan individu untuk menerima perbedaan pendapat, baik itu dalam konteks ideologi, agama, politik, atau sosial.
Salah satu penyebab utamanya adalah polarisasi yang terjadi di masyarakat, yang semakin diperburuk oleh platform media sosial yang memungkinkan penyebaran informasi secara cepat dan luas.
Ketika seseorang merasa pandangan atau identitasnya terancam, mereka cenderung untuk melampiaskan kebencian terhadap pihak yang berbeda pandangan, terutama di ruang digital yang memberikan rasa anonim dan kebebasan berekspresi.
Di kampus, perbedaan pendapat antara mahasiswa atau antara mahasiswa dan dosen terkait isu-isu tertentu dapat memicu komentar kebencian yang melibatkan elemen personal, seperti ras, agama, atau gender.
Penyebab lainnya adalah fenomena dehumanisasi yang terjadi di dunia maya. Banyak pelaku hate komen yang merasa lebih mudah untuk menyerang orang lain karena mereka tidak berhadapan langsung dengan korban.
Ketidakhadiran interaksi tatap muka membuat individu merasa tidak bertanggung jawab atas dampak dari kata-kata mereka.
Selain itu, kemudahan untuk bersembunyi di balik akun anonim memperburuk masalah ini, memungkinkan orang untuk menyebarkan ujaran kebencian tanpa takut dikenali.
Di lingkungan kampus, komentar kebencian ini bisa terjadi pada mahasiswa yang dianggap ‘berbeda’ atau tidak sesuai dengan nilai-nilai kelompok dominan, menyebabkan ketegangan antar individu atau kelompok tertentu.
Baca Juga: TikTok dan Fenomena Penggunanya di Indonesia: Sebuah Catatan Kritis
Hate komen memiliki ciri-ciri yang mudah dikenali, di antaranya adalah penggunaan bahasa yang penuh dengan penghinaan, cercaan, atau kata-kata yang merendahkan seseorang atau kelompok.
Komentar tersebut sering kali mengandung stereotip negatif atau prasangka terhadap kelompok tertentu, seperti merendahkan etnis, agama, jenis kelamin, atau orientasi seksual.
Selain itu, hate komen biasanya ditujukan untuk menyakiti perasaan orang lain dengan cara menyerang aspek pribadi atau identitas individu, seperti penampilan fisik, latar belakang keluarga, atau keyakinan pribadi.
Ciri lainnya adalah keberadaan ancaman atau provokasi yang bertujuan untuk memicu konflik atau ketegangan lebih lanjut.
Selain bahasa yang kasar dan menghina, hate komen juga sering kali bersifat generalisasi, di mana pelaku mengaitkan satu individu atau kelompok dengan perilaku buruk yang tidak relevan.
Misalnya, mengaitkan kelompok mahasiswa tertentu dengan aksi kekerasan atau diskriminasi hanya berdasarkan identitas mereka.
Ciri khas lainnya adalah komentar yang ditujukan untuk memperburuk suasana, menghasut kebencian, dan menebarkan ketidakpercayaan antara kelompok yang berbeda.
Biasanya, hate komen juga disertai dengan pengulangan klaim atau informasi yang tidak berdasar, yang bertujuan untuk memperkuat narasi kebencian atau ketakutan terhadap kelompok tertentu.
Secara keseluruhan, ciri-ciri hate komen dapat dilihat dari bahasa yang digunakan, tujuannya untuk menyerang atau merendahkan, serta efek yang ditimbulkan pada korban dan audiens.
Di kampus, fenomena ini dapat merusak reputasi seseorang, menimbulkan perpecahan antar mahasiswa, dan menciptakan atmosfer yang tidak mendukung proses belajar-mengajar.
Identifikasi dan penanggulangan hate komen sangat penting agar lingkungan kampus tetap inklusif dan penuh rasa hormat terhadap perbedaan.
Baca Juga: Etika Komunikasi Generasi Z di Zaman Sekarang Beserta Contoh Kasus
Untuk menanggulangi hate komen di kalangan mahasiswa, kampus perlu mengedukasi mahasiswa tentang etika digital dan pentingnya berkomunikasi dengan sopan di dunia maya melalui seminar atau workshop.
Selain itu, kampus harus memiliki kebijakan yang jelas dan tegas mengenai penggunaan media sosial, serta menyediakan mekanisme pelaporan yang memudahkan korban hate komen untuk melaporkan pelaku.
Kebijakan ini harus diikuti dengan sanksi yang sesuai, seperti peringatan atau skorsing, bagi pelaku yang melanggar.
Terakhir, kampus juga perlu membangun budaya dialog yang inklusif, melalui program-program yang mendorong mahasiswa untuk berdiskusi dengan rasa hormat dan menghargai perbedaan, sehingga tercipta lingkungan akademik yang lebih toleran dan bebas dari kebencian.
Hate komen merupakan fenomena negatif yang dapat merusak suasana akademik dan sosial, baik di dunia maya maupun di lingkungan kampus.
Komentar kebencian ini sering kali muncul akibat ketidakmampuan individu untuk menerima perbedaan, baik dalam hal pandangan, identitas, maupun latar belakang.
Baca Juga: Implementasi Pancasila dalam Membentuk Karakter Mahasiswa di Era Digital
Dampaknya dapat menimbulkan perpecahan, diskriminasi, dan ketegangan antar mahasiswa, serta merusak keharmonisan dalam berinteraksi.
Oleh karena itu, penting bagi kampus untuk melakukan edukasi tentang etika digital, menerapkan kebijakan tegas terhadap hate komen, serta menciptakan budaya dialog dan toleransi untuk menciptakan lingkungan yang inklusif dan mendukung.
Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan kampus dapat mengurangi fenomena hate komen dan menciptakan ruang yang lebih aman dan sehat bagi seluruh civitas akademika.
Penulis: Muhammad Reyhan Satriayudha
Mahasiswa Prodi Psikologi, Universitas Muhamadiyah Malang
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News