Kasus Kartu Indonesia Pintar Kuliah atau yang disebut dengan ‘KIP-K’ yang salah sasaran sudah tidak asing lagi. Banyak siswa dan mahasiswa yang memiliki kestabilan ekonomi justru mendapat ‘KIP-K’ dibandingkan dengan mahasiswa yang ekonomi keluarganya kurang stabil.
Hal ini yang perlu diperhatikan oleh pemerintah agar pada proses seleksi dan pembagian ‘KIP-K’ tidak terjadi lagi kesenjangan (salah sasaran). Kasus ini mulai menjadi perbincangan lagi ketika suatu akun di media sosial membagikan kekecewaannya terhadap seorang mahasiswi penerima KIP-K dari salah satu universitas di Semarang.
KIP-K yang seharusnya diterima oleh mahasiswa dengan keterbatasan finansial justru diberikan kepada mahasiswi yang kerap membagikan gaya hidup yang mewah di akun media sosialnya. Gaya hidup yang dibagikan termasuk dengan foto-foto gadget kepunyaannya yang bernilai puluhan juta rupiah. Melihat kejadian tersebut, banyak warganet yang berpendapat bahwa KIP-K yang dimiliki mahasiswi tersebut merupakan hak orang lain yang lebih membutuhkan. Dan akhirnya mahasiswi tersebut mengundurkan diri dari program ‘KIP-K’.
Ketentuan dan Syarat KIP-K
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 10 Tahun 2020 tentang Program Indonesia Pintar (Permendikbud 10/2020), KIP-K merupakan salah satu bentuk dari Program Indonesia Pintar (PIP). Program ini dijalankan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Pendidikan Tinggi) yang menjelaskan bahwa pemerintah wajib memastikan kesempatan yang sama dalam pendidikan bagi seluruh warga negaranya.
Tujuan dari KIP-K ini adalah untuk memberikan bantuan biaya perkuliahan kepada anak-anak dengan kompetensi akademik dari keluarga yang memiliki kendala ekonomi. Selain bantuan biaya kuliah, penerima KIP-K juga akan mendapatkan bantuan biaya hidup per bulannya.
Syarat untuk menerima ‘KIP-K’ ini juga ketat. Para siswa maupun mahasiswa harus dapat membuktikan diri mereka sebagai keluarga miskin. Pembuktian ini dilakukan dengan mengumpulkan berkas kepemilikan Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan bukti terdaftar ke dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) atau termasuk kelompok masyarakat miskin maksimal desil 3 pada Data Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrim (PPKE) dan mahasiswa dari panti sosial atau panti asuhan.
Jika tidak memenuhi salah satu dari empat syarat di atas, mahasiswa dapat membuat bukti keluarga miskin dalam bentuk Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) atau bukti pendapatan kotor gabungan orang tua/wali. Namun, terlepas dari ketatnya persyaratan yang sudah ditetapkan, KIP-K ini masih sering kali tersalurkan kepada orang yang tergolong mampu.
Baca Juga: Kartu Indonesia Sehat: Adil atau Sebagian
Ini menandakan pemangku kebijakan dan pelaksana regulasi masih alfa dalam mengawal jalannya program bantuan bermanfaat tersebut. Alih-alih cuma merujak penerima KIP yang diduga salah sasaran, pemerintah dan pihak kampus perlu ditunjuk batang hidungnya untuk bisa memastikan program bantuan ini benar-benar diterima oleh yang hak.
“Pihak kampus dan Kemendikbud Ristek harus bertanggung jawab dan harus memastikan bahwa KIP Kuliah ini harus tepat sasaran,” kata Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, kepada reporter Tirto, Rabu (8/5/2024).
Ubaid berujar, Kemendikbudristek harus segera menerima audit penerima KIP Kuliah di kampus-kampus. Hal ini perlu dilakukan karena diduga kuat masih banyak kasus penyaluran yang salah sasaran. “Ini penting supaya tidak pemborosan anggaran. Selanjutnya, juga perlu segera perubahan tata kelola KIP Kuliah, jangan hanya internal pemerintah dan kampus, tapi harus melibatkan mahasiswa dan kalangan luar kampus untuk memperkuat transparansi dan akuntabilitas,” ujar Ubaid.
Anggota Komisi X DPR RI Andreas Hugo Pareira juga mengatakan perlu adanya pembenahan proses seleksi penerima KIP Kuliah. Menurutnya, distribusi KIP Kuliah jangan sampai salah sasaran kembali. Saya kira perlu menjadi perhatian ke depan, sehingga jangan sampai biaya pendidikan yang sudah mahal dengan bantuan KIP Kuliah ini justru tidak mencapai tujuan,” tegas Andreas.
Andreas mengatakan pembenahan perlu dilakukan baik di perguruan tinggi swasta, perguruan tinggi di luar jawa, serta yang berakreditasi B dan C. “Saya kira KIP Kuliah perlu diperbanyak dan penyebarannya harus lebih merata, terutama untuk perguruan tinggi swasta dan juga perguruan tinggi yang berakreditasi B dan C. Karena rata-rata mereka ini kesulitan dalam pembiayaan pendidikan,” ungkapnya.
Dari kasus ini, kita menerima banyak dampak positif yakni meningkatkan kesadaran pemerintah agar dapat meningkatkan sistem seleksi ‘KIPK-K’ agar tidak terjadi kasus seperti ini lagi.
Selain itu, kasus ini juga dapat meningkatkan kesadaran RT/RW agar dapat lebih bertanggung jawab dan jujur sebagai pengambil data awal proses ‘KIP-K’ dan juga dapat memberikan kesadaran kepada masyarakat untuk lebih proaktif dan berani dalam melaporkan penyalahgunaan bantuan yang terjadi.
Penulis oleh Gabriel Gustein Lumingas
Prodi Hubungan Internasional
Universitas Satya Wacana
Daftar Pustaka;
Editor: I. Khairunnisa
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News