Kearifan Tradisional Warisan Nenek Moyang Menuntun Pembangunan Berkelanjutan di Kampung Naga

Kampung Naga
Kampung Naga.

Peradaban masyarakat yang maju tidak selalu bergantung pada kemajuan arus globalisasi teknologi modern. Segelintir pandangan masyarakat modern menganggap teknologi tradisional sederhana merupakan cara yang ‘tertinggal’.

Namun sejatinya, nenek moyang leluhur kita terdahulu telah mewariskan ilmu dan teknologi dalam menjalankan kehidupan yang sejahtera dan sahaja.

Sebagaimana masyarakat Kampung Naga yang memegang teguh ajaran warisan leluhur dalam kehidupannya. Kampung Naga merupakan kampung adat Sunda yang berlokasi di Desa Neglasari, Kecamatan Salewu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.

Bacaan Lainnya
DONASI

Baca Juga: Budaya yang Selalu Tertanam di Dalam Hati: Budaya Kalimantan Barat

Bumi Pasundan terhampar alam yang asri dengan bukit-bukit, pegunungan, dan dataran pantai yang sempit di bagian selatan, mendidik masyarakatnya untuk selalu menjaga hubungan harmonis dengan alam melalui pemanfaatan seksama.

Keselarasan kehidupan dengan alam senantiasa dijaga oleh masyarakat Kampung Naga karena adat istiadat peninggalan leluhur yang masih berperan sentral dalam mengatur keberlangsungan kehidupan masyarakat, termasuk dalam pola penataan ruang hingga arsitektur setiap bangunan di Kampung Naga.

Penataan ruang Kampung Naga berpedoman pada konsep kosmologi Tri Tangtu ti Bumi, yang merupakan filosofi dasar masyarakat Sunda dalam membagi dunia menjadi tiga bagian, yakni Dunia Atas (kawasan sakral), Dunia Tengah (kawasan netral), dan Dunia Bawah (kawasan buruk).

Dunia atas direpresentasikan oleh Hutan Keramat yang terletak di bagian barat atas wilayah Kampung Naga. Hutan keramat merupakan tempat sakral karena dalam hutan ini terdapat makam para leluhur masyarakat Kampung Naga.

Dunia tengah merupakan simbol dari wilayah pemukiman warga, karena di sini merupakan tempat beraktivitasnya manusia. Sungai Ciwulan beserta hutan larangan yang terletak di sebelah timur disimbolkan sebagai Dunia Bawah.

Hunian masyarakat naga merupakan bangunan panggung dengan atap julang ngapak. Bagian atap atau lalangit sebagai lambang Dunia atas, bagian dalam rumah mulai dari lantai tempat manusia beraktivitas disimbolkan sebagai Dunia tengah, dan kolong atau bagian bawah rumah sampai tanah merupakan penggambaran Dunia bawah, karena sejatinya tanah merupakan tempat kembalinya manusia setelah mati.

Bangunan di Kampung Naga berjumlah 113 dengan 110 di antaranya merupakan rumah warga dan tiga bangunan lainnya berupa Bumi Ageung, Balai Pakuwon, dan masjid. Bumi Ageung merupakan bangunan sakral dan konon tempat penyimpanan benda-benda pusaka peninggalan leluhur Kampung Naga.

Balai Pakuwon berfungsi sebagai tempat berkumpulnya masyarakat Kampung Naga untuk bermusyawarah dan menerima tamu yang jumlahnya banyak. Seluruh bangunan di Kampung Naga harus mengikuti aturan yang telah digariskan leluhur.

Baca Juga: Berkembangnya Kearifan Lokal Kesenian Bantengan Mojokerto

Kolong setinggi 40-60 cm pada setiap bangunan selain berfungsi untuk mengatur kelembaban dan suhu, juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan alat pertanian, kayu bakar, hingga kandang ternak. Penopang bangunan berupa tiang kayu tidak boleh menyentuh tanah sehingga diletakan di atas umpak batu.

Umpak batu mencegah tiang kayu lapuk terkena rayap dan kelembaban tanah, selain itu struktur ini juga akan membuat bangunan lebih adaptif terhadap gempa dan kontur tanah. Dinding berupa anyaman bambu merupakan bentuk penyesuaian dengan kondisi iklim setempat agar udara dan kesejukan di dalam rumah tetap terjaga.

Atap pelana atau suhunan julang ngapak yang terbuat dari ijuk, selain kedap air bagian atap juga berfungsi untuk mengunci suhu hangat dalam rumah saat malam hari, karena teritis antar rumah yang hampir saling bersentuhan membentuk lorong penghambat masuknya angin.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Tasikmalaya menyebutkan bahwasanya Kampung Naga berada dalam zona gerakan tanah tinggi karena terletak di kawasan yang dilewati oleh sesar memanjang dari Barat ke Timur Kabupaten Tasikmalaya.

Kampung Naga juga terletak di lembah Sungai Ciwulan dengan kondisi lahan kontur yang miring ke arah timur menyebabkan bagian timur Kampung Rawan terkena banjir dari luapan Sungai Ciwulan. Sehingga berdasarkan kondisi geomorfologi, bencana longsor dan banjir menjadi ancaman serius utama yang berpotensi terjadi di Kampung Naga.

Pembangunan yang dilakukan masyarakat Kampung Naga berdasarkan aturan yang telah digariskan oleh leluhur nyatanya sejalan dengan rencana pembangunan berkelanjutan. Berada di kontur yang miring, susunan tata pola bangunan menyesuaikan kontur dengan pola grid memanjang membentuk jalur yang digunakan sebagai jalan dan jalur drainase.

Sehingga apabila turun hujan, air akan terlebih dahulu terserap oleh hutan keramat kemudian air akan mengalir ke pemukiman hingga bermuara ke Sungai Ciwulan. Zona pemukiman warga terbagi menjadi dua, yakni zona bersih dan zona kotor.

Zona bersih merupakan tempat warga beraktivitas sehari-hari dan terdiri dari rumah hunian, Bale Pakuwon, dan Bale Ageung. Zona kotor berisi kolam-kolam pembatas pemukiman warga dengan Sungai Ciwulan.

Baca Juga: Peta Kapanca sebagai Salah Satu Upacara Menjelang Pernikahan di Bima

Kolam-kolam di zona kotor berisi ikan dan di atas kolam digunakan untuk MCK, menumbuk padi, dan kandang ternak. Antara zona bersih dan zona kotor diberi pagar bambu sebagai pembatas dan ketinggian zona kotor diletakan lebih rendah, hal ini bertujuan agar air dari pemukiman mengalir ke kolam sebelum mengalir ke sungai.

Sebaliknya, apabila sungai meluap airnya akan mengisi kolam-kolam terlebih dahulu sebelum memasuki area rumah warga. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk kearifan tradisional dalam mencegah banjir pada saat musim hujan.

Sawah dan kebun buatan tersusun secara terasering atau berundak-undak menyesuaikan kontur dengan sisi yang terjal atau gawir ditanami pohon bambu dan aren sebagai upaya meminimalkan terjadinya longsor.

Dengan menjalankan ajaran dan aturan warisan leluhur, masyarakat Kampung Naga telah terlebih dahulu aware terhadap penerapan pembangunan berkelanjutan.

Masuknya pariwisata dalam kehidupan masyarakat membuka peluang yang sangat besar dalam pertumbuhan ekonomi setempat, seperti membuka lapangan kerja, homestay, hingga usaha ekonomi kreatif seperti kerajinan tangan berupa anyaman, kipas, tas, hingga olahan dan hasil panen khas Kampung Naga seperti gula aren dan daun teh.

Ajaran peninggalan leluhur yang dijadikan pedoman membuat masyarakat Kampung Naga tidak lantas terbuai dalam menerima pariwisata. Kehidupan masyarakat sudah terlebih dahulu sejahtera dengan sektor pertanian mereka.

Pariwisata hanya sekadar bonus dan hal ini merupakan indikator yang bagus dalam perspektif berkelanjutan, karena masyarakat yang memegang teguh tradisi akan menjaga keaslian budaya mereka.

Dalam perspektif pariwisata hal ini juga berdampak positif karena di samping wisatawan yang berkunjung akan mendapat pengalaman yang autentik, kebudayaan asli yang merupakan aset dari pariwisata juga akan tetap terjaga.

Baca Juga: Mengenal Kesenian Gejog Lesung di Festival Krajan Keker Sangiran

Dimanjakan dengan kehidupan modern yang terlihat serba instan mungkin akan membuat segelintir orang berpikir jika kehidupan tradisional sederhana merupakan satu langkah yang mundur. Namun hal ini dipatahkan, salah satunya dengan menjadikan Kampung Naga sebagai contoh karena ada begitu banyak sekali nilai yang bisa kita petik.

Penulis: Syeda Zainab N.
Mahasiswa Pariwisata Universitas Pancasila

Editor: Ika Ayuni Lestari     

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Referensi

Dewi, I. K., & Istiadi, Y. (2016). Mitigasi bencana pada masyarakat tradisional dalam menghadapi perubahan iklim di kampung naga kecamatan salawu kabupaten tasikmalaya (disaster mitigation on traditional community against climate change in kampong naga subdistrict salawu tasikmalaya). Jurnal Manusia dan Lingkungan, 23(1), 129-135.

Damayanti, F., & Ningrum, D. (2019, October). Kearifan Lokal dalam Bangunan Tradisional di Jawa Barat sebagai Penerapan Konsep Arsitektur Berkelanjutan. In Prosiding SENTIKUIN (Seminar Nasional Teknologi Industri, Lingkungan dan Infrastruktur) (Vol. 2, pp. B7-1).

Ilham, A. N., & SB, A. S. (2012). Tlpologi Bangunan Rumah Tinggal Adat Sunda di Kampung Naga Jawa Barat (Building Typology of Sundanese Traditional Houses at Kampung Naga, West Java). Tesa Arsitektur, 10(1), 1-8.

Hermawan, I. (2014). Bangunan Tradisional Kampung Naga: Bentuk Kearifan Warisan Leluhur Masyarakat Sunda. Sosio Didaktika, 1(2), 141-150.

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI