Kebijakan GGL untuk Indonesia Lebih Sehat

Gula Garam Lemak
Ilustrasi Gula Garam Lemak (Sumber: Media Sosial)

Gula, Garam, dan Lemak (GGL) merupakan asupan yang diperlukan tubuh tetapi dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan jenis bahan pangan lain. Sumber GGL diperoleh dari makanan dan atau minuman setiap hari. Apabila ketiga bahan ini tercukupi maka akan memberi dampak positif bagi proses metabolisme dan kesehatan.

Konsumsi GGL yang berlebihan memiliki kaitan erat dengan peningkatan risiko penyakit tidak menular (PTM). Asupan gula berlebih dapat mengakibatkan peningkatan kadar glukosa darah, yang berisiko menimbulkan resistensi insulin dan akhirnya diabetes tipe 2.

Konsumsi gula yang tinggi juga berkontribusi pada obesitas, yang merupakan faktor risiko utama berbagai PTM.

Jumlah natrium dalam tubuh pun dapat meningkat karena konsumsi garam yang berlebihan, yang dapat mengakibatkan tekanan darah tinggi (hipertensi). Hipertensi merupakan faktor risiko utama untuk penyakit jantung dan stroke.

Bacaan Lainnya

Kadar kolesterol jahat atau low-density lipoprotein (LDL) dalam darah dapat meningkat karena konsumsi lemak jenuh dan lemak trans yang berlebihan, dan berperan penting pada pembentukan plak di arteri (aterosklerosis), serta memperbesar risiko penyakit jantung dan stroke. Peluang terjadinya penyakit tidak menular menjadi lebih besar lagi bila ditunjang dengan praktik sedentary life style atau pola hidup yang kurang melakukan aktivitas fisik.

Gambar 1. Prevalensi Penyakit Tidak Menular

Masalah kesehatan berupa jumlah kasus PTM di Indonesia terus meningkat. Survei kesehatan sejak 2013 sampai dengan 2023 menunjukkan bahwa kasus PTM seperti diabetes mellitus, hipertensi, stroke, dan jantung selalu ada dan berdampak besar terhadap risiko kematian. Angka kasus diabetes mellitus menunjukkan pola peningkatan bila dibandingkan dengan jenis PTM lainnya.

International Diabetes Federation (2021) mencatat Indonesia adalah negara kedua dengan jumlah penderita diabetes terbanyak di dunia pada tahun 2021, dengan 19,47 juta penderita. Pada 2023, penyakit kardiovaskular (jantung dan stroke) mendapatkan jumlah pembiayaan terbesar, sebesar Rp22,8 triliun dari program JKN.

Permasalahan kesehatan ini telah mendapat perhatian serius dari pemerintah. Hal ini ditunjukkan dengan tersedianya regulasi yang mengatur tentang kesehatan.

Pemerintah menerbitkan PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan untuk menangani sejumlah masalah kesehatan, termasuk kandungan gula, garam, dan lemak (GGL).

Pemerintah berupaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, salah satu caranya dengan menerbitkan kebijakan gula, garam, dan lemak (GGL) yang bertujuan untuk mengurangi konsumsi zat-zat tersebut secara berlebihan sehingga mencegah PTM. Anjuran batas konsumsi harian yang direkomendasikan adalah gula maksimal 50 gram (4 sendok makan), garam 5 gram (1 sendok teh), dan lemak 67 gram (5 sendok makan).

Idealnya bahwa pembatasan terhadap kadar gula, garam, dan lemak memberikan manfaat untuk mencegah terjadinya penyakit tidak menular pada individu dan masyarakat. Penerbitan regulasi yang mengatur kandungan GGL dalam makanan di masyarakat diharapkan menjadi dorongan agar masyarakat semakin sehat secara berkelanjutan.

PP Nomor 28 Tahun 2024 yang diterbitkan pemerintah ini memiliki beberapa keunggulan.

Poin pertama, yakni adanya penekanan pada perubahan paradigma upaya kesehatan yang lebih menekankan pada aspek pencegahan (preventif dan promotif).

Upaya preventif tersebut menunjukkan perlindungan kepada masyarakat melalui anjuran batas konsumsi gula, garam, dan lemak per hari untuk individu untuk mencegah terjadinya PTM dan pengenaan cukai terhadap pangan olahan tertentu (pasal 194).

Poin ke dua, regulasi ini juga mengatur kewajiban produsen untuk mencantumkan informasi kandungan GGL pada label pangan olahan dan siap saji (pasal 195). Informasi yang dicantumkan pada label kemasan suatu produk menjadi indikator bahwa telah ada kepedulian produsen untuk menjaga kesehatan masyarakat dari konsumsi berlebih gula, garam, dan lemak.

Kewajiban ini belum sepenuhnya dilaksanakan oleh produsen secara patuh, padahal ini bertujuan membantu konsumen membuat pilihan yang lebih sehat.

Label hanya mencantumkan kandungan bahan utama produk tanpa ada penjelasan jumlah GGL yang dipakai atau dapat dikatakan informasi yang dicantumkan tidak lengkap. Apalagi jika dicantumkan menggunakan bahasa atau istilah asing, misalnya bahasa Inggris atau bahasa lainnya, sehingga tidak mudah dipahami konsumen.

Poin ke tiga, yakni dalam regulasi terbaru ini terdapat sanksi administratif bagi produsen yang melanggar batas kandungan GGL, termasuk peringatan tertulis, denda, penghentian sementara produksi, hingga pencabutan izin usaha (pasal 196). Harapannya bahwa implementasi sanksi tersebut mampu untuk memberikan efek jera pada produsen yang tidak taat.

Poin ke empat, yaitu pendekatan multisektoral dengan melibatkan berbagai pihak dalam penerapan kebijakan GGL dan pencegahan PTM (pasal 193). Berbagai pihak dan multisektoral berarti bukan sekedar antarlembaga dengan potensi tumpang tindih kebijakan. Akan tetapi, harapannya ada saling koordinasi dan saling mendukung di setiap lembaga yang terlibat sehingga tujuan menjaga konsumsi GGL yang sehat di masyarakat dapat terwujud secara nyata.

Kita memiliki peluang untuk menjaga kesehatan masyarakat dengan terbitnya regulasi ini. Dalam kenyataannya, saat ini kita menghadapi tantangan yaitu konsumsi GGL di Indonesia masih tinggi, walaupun sudah ada regulasi yang mengaturnya.

Remaja mengonsumsi minuman manis lebih dari sekali per hari sebanyak 67,4%, penduduk mengonsumsi garam melebihi batas anjuran sebanyak 53,7%, dan 27% penduduk mengonsumsi lemak lebih dari 67 gram per hari.

Hal ini timbul oleh warisan kebiasaan pola konsumsi GGL dari generasi ke generasi. Kita terbiasa untuk memakan makanan dengan rasa yang kuat dengan kandungan gula, garam dan lemak. Selain itu, budaya literasi termasuk literasi kesehatan masih minim untuk kalangan masyarakat.

Pengaruh iklan yang menarik hati dengan menampilkan keunggulan produk, kenikmatan yang diperoleh, dan juga daya Tarik atau pengaruh bintang iklan atau artis yang mempromosikan produk tersebut menjadi kendala pola konsumsi sehat di masyarakat Indonesia.

Oleh karena itu, peran serta dari berbagai pihak sangat diharapkan dalam upaya mengontrol konsumsi GGL sesuai anjuran kesehatan. Advokasi, sosialisasi, kampanye kesehatan, serta komunikasi, informasi, dan edukasi kepada masyarakat.

Perlu dilakukan secara berkelanjutan kepada masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak, misalnya instansi pemerintah, swasta, akademisi dari perguruan tinggi, LSM, tokoh agama, dan tokoh masyarakat.

Pesan kesehatan terkait dengan makanan yang sehat, konsumsi GGL yang dianjurkan, serta pentingnya membaca informasi kandungan gizi pada kemasan produk sebelum membeli dan mengonsumsi perlu dilakukan untuk memastikan makanan dan minuman yang sehat dan bergizi yang akan masuk ke dalam tubuh.

Baca juga: Komunikasi Kesehatan yang Efektif sebagai Kunci Perubahan Pola Makan Masyarakat Indonesia

Informasi kesehatan dapat diberikan melalui publikasi di media sosial, media massa, penyuluhan di sekolah-sekolah di semua tingkatan pendidikan, maupun dalam pertemuan-pertemuan formal dan informal di masyarakat.

Pelaku usaha industri makanan dan minuman perlu secara sadar dan sukarela menyesuaikan kandungan GGL dalam produk sesuai rekomendasi pemerintah dan mencantumkan informasi gizi pada label sesuai keadaan yang sebenarnya.

Koordinasi antarlembaga dan pengawasan bersama juga perlu diperkuat. Sebagai contoh, Dinas Kesehatan dan BPOM melakukan koordinasi dalam mengawasi peredaran produk makanan dan minuman di pasaran untuk memastikan produk dilengkapi dengan label nutrisi pada kemasan.

BPOM dapat melakukan pengawasan dengan melakukan uji petik produk dan kemudian melakukan uji kandungan zat gizi pada produk yang terpilih untuk memastikan kesesuaian informasi yang tertera pada label kemasan dengan kandungan yang sebenarnya hasil uji laboratorium.

Dinas Pendidikan melalui sekolah-sekolah dapat memastikan jajanan yang dijual di kantin dan lingkungan sekolah merupakan produk olahan yang sehat dan bukan makanan atau minuman cepat saji.

Apabila dalam proses pengawasan didapati kondisi yang bertentangan dengan kebijakan GGL yang ditetapkan maka diperlukan penegakan sanksi secara tegas dari pihak yang berwenang, dari sanksi ringan sampai dengan sanksi terberat untuk memberikan efek jera bagi pelaku usaha industri pangan, sekaligus mencegah peredaran produk makanan dan minuman yang tidak aman dan tidak sehat di pasaran.

Masalah kesehatan bukan semata tugas dari pemerintah dalam hal ini Kementerian/Dinas Kesehatan dan tenaga kesehatan, tetapi menjadi tugas kita bersama. Kesadaran dalam menjalankan komitmen dan upaya bersama dari semua pihak sangat penting untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui kendali dan konsumsi yang bijak dari gula, garam dan lemak.

Penulis memiliki persepsi positif bahwa dengan pendekatan yang komprehensif, diharapkan implementasi kebijakan ini dapat menurunkan prevalensi PTM dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia.

 

Penulis: Sarci Magdalena Toy
Mahasiswa S3 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses