Kembali Meruaknya Politik Uang di Indonesia

Sumber gambar: heylawedu.id
Sumber gambar: heylawedu.id

14 Februari menjadi tanggal yang penting bagi masyarakat Indonesia dimana masyarakat Indonesia menggelar pesta demokrasi untuk melakukan pemilu serentak untuk memilih pejabat publik yang akan mengisi jabatan di pemerintahan selama lima tahun kedepan. Pada 14 Februari 2024 warga negara Indonesia akan memilih calon presiden dan wakil presiden,  anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD Provinsi, dan anggota DPRD Kabupaten/Kota.

Lantas apakah terdapat hambatan dalam pelaksanaan pesta demokrasi tersebut ?

Salah satu hambatan serius yang mengancam pesta demokrasi yang telah berlangsung adalah politik uang. Politik uang merupakan usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk menyuap masyarakat supaya mengikuti kehendak orang yang memberikan uang tersebut. Namun, politik uang tidak hanya tertuju kepada pemilih saja melainkan sampai ke penyelenggara pemilu dengan keuntungan lainnya.

Baca juga : Rekonsiliasi dan Oposisi Setelah Pemilu 2024: Pragmatisme atau Idealisme Demokrasi

Hal tersebut disampaikan oleh Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Ratna Dewi Pettalolo pada Kamis (9/2/2023) saat menjadi narasumber untuk webinar Politik Uang.

Bacaan Lainnya

“Politik uang kini merambah sampai pad a penyelenggara Pemilu. Ini menjadi hal yang penting bagaimana melakukan pencegahan, penindakan, dan pemberian sanksi,” Ujar Ratna.

Praktik tersebut akan membuat munculnya para pemimpin yang memperdulikan kepentingan pribadi, bukan masyarakat yang memilihnya. Praktik politik uang juga dapat menimbulkan pemikiran bahwa politikus merasa harus mencari keuntungan dari jabatan yang telah ia dapatkan untuk mengembalikan modal yang ia keluarkan sepanjang masa kampanye.

Selain itu, politik uang juga dapat membutakan masyarakat terhadap program calon lain yang lebih unggul. Salah satunya kejadian yang dialami oleh Sumedi Madasik yang merupakan salah satu caleg  PKS untuk DRPD Cilegon yang kalah pada Pemilu 2024. Selama 4 tahun Sumedi telah mengalirkan air bersih ke pemukiman warga Cisiru, Kelurahan Suralaya, Cilegon dengan dana pribadinya.

Sumedi mengatakan sejak 2019 warga diminta untuk membayar iuran Rp10.000,00/kubik untuk biaya listrik dan sisanya dimasukkan ke kas warga untuk perawatan pompa air. Selama lima tahun, beliau memberikan subsidi kepada warga untuk kebutuhan listrik pompa tersebut. Uang yang dikumpulkan dari warga mencapai sekitar Rp 1,5-2 juta per bulan. Sedangkan, biaya yang dibutuhkan mencapai Rp 4-4,5 juta.

Saat dirinya maju pada Pemilu 2024 dari PKS, ia berharap warga akan mendukungnya untuk maju dan memilih dirinya dalam tahap pencoblosan. Namun, hasil yang ia dapatkan ternyata kebalikannya. Sumedi menyampaikan setelah pemilihan, ia tidak mampu lagi untuk menyubsidi biaya listrik pompa tersebut.

Baca juga : Dinamika Ilmu Komunikasi di Indonesia: Tantangan dan Peluang di Era Digital

Hal tersebut disampaikan olehnya melalui wawancara dari pihak televisi. Ia juga menyampaikan rasa kecewanya karena kontribusinya selama ini kalah dengan serangan fajar yang dilakukan pada saat malam sebelum hari H yang dilakukan oleh pihak rivalnya.

Politik uang merupakan tantangan yang besar dalam Pemilu 2024 ini. Namun, tantangan yang lebih besar merupakan masyarakat yang menganggap jika politik uang merupakan hal yang lumrah. Hal tersebut dapat terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat mengenai batasan dari politik uang tersebut dan bahaya yang dapat ditimbulkan dari praktik tersebut.

Tidak hanya sampai situ, kondisi tersebut semakin parah dengan sistem hukum di Indonesia yang sering kebobolan dalam menjerat praktik politik uang. Kemunculan politik uang atau serangan fajar yang telah muncul sedari dulu padahal sudah ada tatanan hukum yang mengatur tentang pelarangan praktik tersebut.

Pelarangan praktik politik uang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur pemberian sanksi berat terhadap pelaku politik uang di masa kampanye dan pemungutan suara, Pasal 515 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menegaskan orang yang sengaja menjanjikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau mengarahkan untuk menggunakan hak pilihnya kepada calon tertentu dipidana penjara paling lama selama tiga tahun dan denda paling banyak 36 juta, dan beberapa pasal lainnya.

Diketahui terdapat tiga faktor penyebab dalam terjadinya politik uang, selain dari faktor ekonomi, yaitu praktik money politic terjadi karena calon pemimpin hanya ingin mendapatkan kekuasaan tanpa memiliki program yang unggul dibandingkan calon lainnya, faktor hukum yang lemah di Indonesia juga menjadi salah satu penyebabnya karena regulasi tentang politik uang yang yang lemah sehingga hanya pelaku money politic saja yang diberi sanksi, sedangkan penerima tidak mendapat sanksi apapun. Selain itu, kebiasaan praktik money politic di Indonesia juga didorong dengan budaya Indonesia yang tidak pantas jika menolak pemberian dan harus membalas pemberian tersebut juga dengan sesuatu. Hal tersebut dimanfaatkan untuk dilakukannya money politic.

Baca juga : Bagaimana Suara Politik Muda di Era Digital?

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam Konferensi Pers Kinerja KPK 2023 berargumen bahwa penyebab dari money politic terus terjadi di Indonesia karena 50% masyarakat di Indonesia belum cukup sejahtera dan tingkat pendidikannya belum cukup baik. Dengan kondisi kesejahteraan masyarakat yang rendah menyebabkan banyak masyarakat yang mengira money politic sebagai rezeki.

Menghilangkan praktik licik ini memang bukan hal yang mudah karena money politic bagaikan sebuah salah satu budaya di Indonesia karena saking seringnya kasus ini kembali tinggi saat menjelang musim peserta demokrasi. Namun, tanpa bantuan masyarakat maka kasus money politic akan selalu meruak kembali di pemilu-pemilu yang akan datang. Salah satu upaya dalam menangani kasus ini adalah dengan memberikan edukasi materi politik uang ke dalam salah kurikulum sekolah atau menjadikan materi tersebut sebagai edukasi wajib yang harus dilaksanakan pihak sekolah.

Bawaslu juga harus turut aktif dalam mengawasi pemilu tanpa menutup kuping dengan realita kejadian yang terjadi di masyarakat. Pemilih juga harus bersikap partisipasitf selama proses pemilu berlangsung untuk mengawasi adanya praktik yang dilarang di masyarakat dan ikut melaporkannya ke Baswaslu.

Dengan paparan yang telah dijelaskan, politik uang yang beredar di Indonesia merupakan sebuah tantangan serius bagi bangsa karena akan mempengaruhi integritas demokrasi dan kesejahteraan masyarakat jika terus dibiarkan. Untuk membangun dan menciptakan masyarakat yang adil dan demokratis dibutuhkan komitmen yang kuat dalam melawan terjadinya praktik politik uang ini.

Langkah-langkah tegas perlu diambil oleh pemerintah, partai politik, dan masyarakat untuk memastikan bahwa proses demokrasi berjalan lancar dan berintegritas. Dengan upaya kita bersama, kita dapat menciptakan sebuah sistem politik yang dapat mewakili suara rakyat dan menghapuskan adanya praktik licik yang menyelewengi pesta demokrasi kita.

 

Puti Sari Mayang
Mahasiswa Sarjana Ilmu Pemerintahan, Universitas Brawijaya

Editor: Anita Said

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses