Kemerdekaan Perempuan: Sudahkah Terpenuhi?

Perempuan
Ilustrasi: istockphoto.

Indonesia telah merdeka selama lebih dari 78 tahun. Meskipun negara telah merdeka secara politik, kemerdekaan untuk perempuan masih belum terpenuhi. Perempuan masih sering mengalami ketidaksetaraan, diskriminasi, dan kekerasan berbasis gender.

Di tahun 2024 yang baru berjalan 5 bulan ini, sudah terjadi berbagai kasus pembunuhan pada perempuan. Pada bulan Februari 2024 lalu, terjadi pembunuhan terhadap seorang perempuan berinisial FD oleh tersangka berinisial H di sebuah kos daerah Kotabaru, Yogyakarta.

Pembunuhan tersebut terjadi karena korban membatalkan kencan mereka dan membuat H emosi. H melakukan penusukan dengan menggunakan pisau lipat milik pelaku.

Bacaan Lainnya
DONASI

Kemudian, pada Rabu (24/4), juga terjadi pembunuhan terhadap RM oleh rekan kerjanya yang bernama Ahmad Arif Ridwan Nuwloh di kamar hotel daerah Bandung. Kejadian tersebut dilatarbelakangi oleh kekesalan Arif terhadap RM yang mendesak untuk menikah.

Pada bulan selanjutnya, Jumat (3/5), terjadi pembunuhan terhadap seorang pekerja seks komersial berinisial RA di Bali oleh pelaku yang bernama Amrin Al-Rasyid Pane. Pelaku kesal karena korban meminta tambahan tarif. Pembunuhan terhadap para perempuan tersebut terjadi dengan adanya motivasi gender.

Diana E.H. Russell, seorang aktivis dan cendekiawan feminis, memperkenalkan istilah femisida yang merujuk pada tindakan pembunuhan misoginis terhadap perempuan.

Komnas Perempuan mengkategorisasikan femisida menjadi 9 jenis, yaitu femisida intim, femisida konteks konflik bersenjata, femisida konteks industri seks komersial, femisida perempuan dengan disabilitas, femisida orientasi seksual dan identitas gender, femisida di penjara, femisida non intim/ pembunuhan sistematis, femisida pegiat HAM, dan femisida budaya.

Femisida budaya terdiri atas femisida atas nama kehormatan, femisida terkait mahar, femisida terkait ras, suku, dan etnis, femisida terkait tuduhan sihir, femisida terkait pelukaan dan pemotongan genital perempuan, serta femisida bayi.

Laporan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) menunjukkan bahwa rata-rata lebih dari 133 perempuan atau anak perempuan dibunuh setiap hari oleh seseorang dalam keluarga mereka sendiri. Asia menjadi wilayah urutan kedua terbanyak pada terjadinya kasus femisida dengan data sebanyak 18.400 perempuan dibunuh oleh anggota keluarganya sendiri pada tahun 2022.

Baca Juga: Membongkar Perspektif Feminis dalam Cerpen “Karena Aku Perempuan” karya Reksita Galuh Wardani

Dilihat dari kategorisasi kasus femisida yang terjadi di Indonesia, data Komnas Perempuan pada 2021 menunjukkan bahwa lebih dari setengah yang terekam pada media daring, sebanyak 62,47% (263 kasus), merupakan femisida intim.

Anggota Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, mengatakan bahwa femisida di Indonesia pada tahun 2023 mencapai 109 kasus dengan 67% dari kasus tersebut adalah femisida intim. Fakta tersebut mengartikan bahwa relasi perempuan dengan suami/ mantan suami atau pacar/ mantan pacar menjadi penyebab paling tinggi atas kasus-kasus femisida.

Femisida dapat terjadi dengan berbagai macam motif. Namun, penyebab yang mendasari terjadinya femisida adalah kesenjangan gender. Kesenjangan gender terbentuk karena adanya stereotip terhadap perempuan yang sangat berkebalikan dengan laki-laki.

Stereotip tersebut cenderung memandang laki-laki sebagai sosok yang superior daripada perempuan. Sumber utama terciptanya stereotip adalah nilai yang terbentuk atas dasar tradisi dan pandangan gender oleh masyarakat. Pandangan masyarakat yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral masih mengakar kuat hingga saat ini.

Norma budaya yang mengagungkan sifat dominasi laki-laki menyebabkan timbulnya toxic masculinity dan fragile masculinity. Laki-laki menjadi terus terdorong untuk bertindak tegas atas dominasinya. Apalagi ketika perempuan mencoba memperjuangkan kemerdekaannya atau menolak kendali laki-laki.

Hal tersebut dapat memicu pembalasan dengan tindakan penindasan, kekerasan, hingga pembunuhan. Laki-laki dengan mudah merampas otonomi diri perempuan. Bahkan, tanpa melihat perempuan sebagai manusia yang utuh dengan nilai yang dimilikinya.

Baca Juga: Pemberdayaan Perempuan melalui Novel Ancika: Pencerahan Feminis di Dunia Sastra

Di samping itu, laki-laki juga terus memenuhi standar maskulin dalam masyarakat yang tidak realistis karena ketakutan yang muncul ketika seorang laki-laki merasa maskulinitasnya dipertanyakan atau terancam.

Menyadari budaya patriarki yang memberi pengaruh buruk dalam kehidupan masyarakat, kita harus mendorong masyarakat untuk menantang dan mengubah stereotip gender yang merugikan. Kita perlu memahami bahwa perempuan juga memiliki hak otonom atas dirinya.

Hak otonom tersebut berupa kemerdekaan dari berbagai aspek kehidupan. Perempuan berhak memiliki kemerdekaan yang setara dengan laki-laki. Perempuan berhak hidup dengan damai dan bebas dari segala bentuk kekerasan, diskriminasi, dan ancaman dari orang lain.

Dengan mengatasi akar masalah tersebut, kita bisa mencegah femisida dan menciptakan ruang yang aman serta adil bagi perempuan.

Penulis: Inezsya Donamarella Zayyan Rahardiana
Mahasiswa Farmasi Universitas Airlangga

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI