Kemunduran Demokrasi di Era Kepemimpinan Presiden Joko Widodo: Studi Masuknya Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden 2024-2029

Ilustrasi: istockphoto.

Sebagai sebuah konsep, demokrasi memiliki makna luas dan mengandung banyak elemen kompleks yang penting untuk pembangunan politik negara, salah satunya dalam menjalankan pemilihan umum (pemilu).

Demokrasi merupakan suatu metode politik dan sebuah mekanisme untuk memilih pemimpin politik sehingga warga negara diberi kesempatan untuk memilih salah satu di antara pemimpin-pemimpin politik yang bersaing dalam meraih suara (Lechmann, 1989).

Dalam negara demokrasi, negara memiliki kewajiban dalam memberikan peluang dan kesempatan bagi warganya untuk merumuskan preferensinya, menunjukkan preferensinya pada warga negara dan pemerintah melalui tindakan pribadi dan kolektif, dan memberikan bobot yang sama pada preferensinya, yang dilakukan oleh warga negara (Macpherson, 1997).

Bacaan Lainnya
DONASI

Ketiga kesempatan yang harus dimiliki oleh semua warga negara di atas, akan dapat berjalan secara optimal apabila ada sejumlah jaminan kelembagaan, yaitu kebebasan untuk membentuk dan menjadi anggota organisasi, kebebasan mengeluarkan pendapat, hak memilih, kesempatan menjadi pejabat pemerintah, hak bagi pemimpin politik untuk bersaing dalam mencari dukungan, hak bagi pemimpin politik untuk bersaing dalam meraih suara, sumber-sumber informasi alternatif, lembaga yang membuat kebijakan pemerintah tergantung kepada perolehan suara, dan pengungkapan preferensi lainnya (Sorensen, 2003).

Melihat dari kondisi politik yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir dan kontestasi dalam gelaran tahun politik 2024, demokrasi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo mengalami kemunduran serius terutama sejak masuknya Gibran sebagai calon wakil presiden (cawapres) setelah merubahan konstitusi dengan melibatkan Ketua Mahkamah Konstitusi yang merupakan paman dari Gibran.

Menurut Przeworski (2019) yang berbahaya dalam kondisi tersebut adalah ketika petahana mengintervensi pemilu agar tidak memberi peluang oposisi menang.

Apabila kondisi tersebut dibiarkan akan berdampak pada kemunduran demokrasi karena demokrasi terkonsolidasi baik jika norma-norma, prinsip, dan praktik demokrasi diterima oleh semua elit politik, lembaga, organisasi, dan masyarakat sipil (Diamond, 1999).

Demokrasi di Era Kepemimpinan Presiden Joko Widodo

Sejarah demokrasi Indonesia mengalami perjalanan panjang mulai dari era pasca kemerdekaan, 32 tahun pemerintahan otoriter, sampai dengan lebih dari 9 (sembilan) tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

Sebagai seorang presiden yang menjabat dua periode, Jokowi dihadapkan pada kenyataan untuk melakukan transisi ke pemerintahan selanjutnya, dengan mengedepankan nilai-nilai demokrasi.

Jokowi selaku kepala negara mengemukakan bahwa demokrasi merupakan cara yang paling tepat untuk melayani kepentingan masyarakat Indonesia dan demokrasi dapat memberikan ruang bagi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.[1]

Sementara, Seymour M. Lipset menyatakan bahwa semakin kaya suatu bangsa maka akan semakin besar peluang negara tersebut untuk melangsungkan demokrasi (Lipset dalam Sorensen, 1993).

Bagi sebuah negara demokrasi, keberadaan partai politik (parpol) dan pelaksanaan pemilu merupakan instrumen penting dalam mempertegas arah konsolidasi demokrasi dan penguatan kelembagaan politik.

Parpol penting karena merupakan institusi yang membawa rakyat secara bersama-sama dalam mencapai kekuasaan di dalam negara (Ware, 1996).

Namun di bawah kepemimpinan Jokowi, khususnya pada tahun 2023-2024 kita dihadapkan pada pelemahan demokrasi yang disebabkan oleh sikap Jokowi yang kurang memperhatikan instrumen-instrumen penting dalam demokrasi tersebut.

Selama dua periode memimpin, para ekonom sepakat Presiden Jokowi berhasil memperbanyak infrastruktur di hampir seluruh wilayah Indonesia dengan konsep pembangunan Indonesia Sentris, namun warisan Jokowi di bidang pembangunan tersebut harus dibayar mahal dengan kemunduran demokrasi karena sikap politiknya (Cori, 2022).

Jokowi mendapatkan peringatan keras dari para akademisi, mahasiswa, masyarakat sipil, partai politik, media, dan lain-lain karena dianggap mengintervensi konstitusi dan menyalahgunakan wewenangnya sebagai presiden demi memuluskan langkah Gibran sebagai cawapres.

Langkah tersebut merupakan pengkhianatan besar dalam proses pembangunan demokrasi Indonesia. Jokowi sendiri selaku Presiden Indonesia pada tanggal 5 Mei 2023 menyatakan tidak masuk akal apabila Gibran maju sebagai cawapres karena baru berumur 35 tahun dan baru dua tahun menjadi kepala daerah.[2]

Pernyataan ini secara logis dapat dicerna bahwa pengalaman yang dimiliki oleh Gibran belum layak untuk menjadi seorang pemimpin negara.

Atas nama menjaga kesinambungan pembangunan yang telah digagas oleh pemerintahannya pada periode sebelumnya, Jokowi justru memperlihatkan ketidaknetralannya sebagai presiden dan menyatakan secara terbuka untuk ikut cawe-cawe dalam pemilu.

Dalam demokrasi, apa yang diperlihatkan oleh seorang presiden justru memperlihatkan presiden sedang mencoba melanggengkan kekuasaannya.

Jokowi sebagai kepala negara mengabaikan aspek rakyat dengan tidak mendengarkan suara-suara dari bawah seperti suara dari partai politik, masyarakat sipil, media, dan lembaga-lembaga demokratis lainnya.

Keberadaan partai politik dalam dinamika politik di negara modern adalah keniscayaan dan merupakan elemen penting karena merupakan institusi yang membawa rakyat mencapai tujuan bersama dengan cara menjalankan kekuasaan di dalam negara (Ware, 1996).

Lebih lanjut, Jokowi mengatakan bahwa presiden boleh berkampanye, presiden boleh memihak.[3] Pernyataan tersebut disampaikan di hadapan media dengan salah satu calon presiden yang mendampinginya, yaitu Prabowo Subianto.

Secara ketentuan peraturan perundang-undangan, presiden tidak menabrak ketentuan undang-undang pemilu, dengan syarat jika kampanye dilaksanakan saat cuti dan tidak menggunakan fasilitas negara. Namun permasalahannyan di sini bukan terkait dengan regulasinya, tetapi terkait dengan etika dan moral.

Presiden jauh sebelumnya telah menyatakan dirinya menuju ruang netral demi kemajuan demokrasi, namun tindakan yang dilakukan justru menjauh dari konsep netralitas.

Apa yang dilakukan oleh Jokowi semakin memperjelas demokrasi semakin mengalami kemunduran dengan segala tingkah laku Jokowi dan Gibran yang membawa proses pembangunan demokrasi menuju politik dinasti.

Selain itu, etika politik dan demokrasi yang diperlihatkan oleh Jokowi selaku presiden memperlihatkan bahwa kondisi demokrasi kita saat ini sedang tidak baik-baik saja.

Langkah-langkah politik Jokowi saat ini mengejutkan banyak pihak dari berbagai kalangan termasuk Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang merupakan partai pengusung Jokowi.

Sebagai partai yang telah mengantarkan Jokowi dari walikota, gubernur, hingga presiden justru dikhianati begitu saja untuk kepentingan Gibran yang merupakan anak Jokowi dan juga merupakan kader PDI-P. Para pengamat politik pun tidak memprediksi bahwa Jokowi akan mengambil langkah-langkah seperti ini sebelumnya.[4]

Kebrutalan Jokowi dalam menabrak segala etika dan kewajaran menunjukan bahwa demokrasi kita saat ini sedang dijalankan oleh orang yang salah dengan melakukan berbagai cara untuk melanggengkan kekuasaan seperti layaknya Machiavelli.

Penguasa Machiavellian telah mempraktikkan kekuasaan dan politik secara brutal melalui instrumen konstitusi, melalui instrumen hukum, melalui pelemahan instrumen demokrasi, melalui pelemahan masyarakat kampus dan membawa negara hukum menuju negara kekuasaan (Machiavelli dalam Trijaji, 2008).

Dalam konteks Indonesia dapat dilihat institusi seperti Mahkamah Konstitusi (MK) dikendalikan orang-orang yang bermasalah secara etika dan moral sehingga menjadi apa yang disebut sebagai kakistocracy regim (rezim yang buruk dan dikelola oleh orang-orang yang secara moral buruk).

Dengan menggunakan cara berpikiran Machiavelli, Jokowi adalah gambaran figur yang pas dari penguasa seperti apa yang dibayangkan Machiavelli.

Gambaran politik dinasti Jokowi memperpanjang catatan buruk tentang demokrasi di Indonesia sejak zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Pada zaman pemerintahan Jokowi, Indonesia mengalami kemunduran demokrasi yang dicirikan dengan pemanfaatan sistem untuk kepentingan pribadi atau kelompok atau bisa disebut sebagai penggelembungan kekuasaan eksekutif (Power, dan Eve Warburton, 2021).

Apa yang terjadi pada Jokowi hari ini berbanding terbalik dengan Jokowi yang muncul di tahun 2014 yang penuh harapan dalam mewujudkan demokratisasi.

Pada tahun 2014, narasi yang muncul dan melekat pada Jokowi adalah pemimpin yang merakyat, representasi civil society yang bukan dari golongan elit dan bukan dari keluarga politik, dan harapan baru bagi kemajuan demokrasi Indonesia.

Namun di periode 2023-2024 paradigma tersebut berubah karena Jokowi menjadi penguasa tanpa prinsip dan etika serta menghalalkan segala cara untuk melanggengkan kekuasaan yang bisa dilihat dari putusan yang dikeluarkan oleh MK.

Putusan MK tentang batas minimal usia cawapres telah memuluskan jalan bagi Gibran yang merupakan putra sulung dari Presiden Jokowi sebagai cawapres.

Kemunculan Gibran dalam kontestasi capres-cawapres menimbulkan polemik bagi demokrasi karena cara-cara dilakukan sangat menghianati etika politik, merusak nilai demokrasi, dan terkesan dipaksakan untuk melanggengkan kekuasaan.

Masuknya Gibran memperjelas posisi bahwa tidak terjadi partisipasi demokrasi yang penuh pada sebagian besar anggota masyarakat dan hanya memberi kesempatan itu pada sekelompok kecil masyarakat atau hanya pada warga negara tertentu saja (Przeworski, 2019).

Fenomena Gibran dan Jokowi yang menabrak demokrasi sangat memperihatinkan dan akan mengancam kualitas demokrasi ke depan. Menurut Aspinall (2010) fenomena politik dinasti dimulai dengan munculnya “keluarga politik” yaitu ketika lebih dari satu anggota keluarga terpilih dalam jabatan politik.

Suatu politik keluarga hanya dapat dianggap sebagai dinasti politik jika ia berhasil memperluas pengaruhnya di berbagai level pemerintahan, dan jika setelah masa jabatannya berakhir, ada anggota keluarga yang menggantikannya.

Maraknya fenomena politik dinasti menurut Michael Buehler mencerminkan adanya masalah dalam sistem politik Indonesia dan merupakan refleksi dari rusaknya integritas demokrasi, dominasi jaringan klientelistik dan jaringan informal atas partai politik, serta kegagalan dalam reformasi akibat kuatnya perilaku koruptif dan predatoris.[5]

Gibran hari ini merupakan cermin nyata bagaimana penggambaran dinasti politik yang disampaikan oleh Aspinall. Padahal bagi negara demokrasi seperti Indonesia ini, dinasti politik bisa merusak prinsip meritokrasi (berlandaskan pada prestasi dan kompetensi) dan persaingan yang adil dalam politik, serta kualitas kaderisasi partai politik.

Gibran yang merupakan kader PDIP merusak kaderisasi partai anggota Koalisi Indonesia Maju yang dipimpin Prabowo, seperti kaderisasi Partai Golkar yang memiliki suara besar, kaderisasi PAN, dan kaderisasi Partai Demokrat.

Gibran yang merupakan Walikota Surakarta maju dalam perhelatan Pilpres di usia 36 tahun dan tercatat sebagai cawapres termuda dalam sejarah pemilu Indonesia.

Namun usia muda yang dimiliki oleh Gibran tidak serta merta merepresentasikan suara anak muda karena penghormatan terhadap demokrasi dan konstitusi lebih penting dari sekadar usia.

Usia bukan jaminan bahwa seseorang layak untuk memimpin, terlebih jika kandidat terpilih melalui jalur yang merusak demokrasi, seperti privilege dan politik dinasti. Akan jauh lebih penting apabila proses menuju kontestasi dilakukan sesuai dengan konstitusi dan tidak secara serampangan menabrak aturan.

Apabila Gibran dianggap sebagai representasi pemuda yang bisa membawa perubahan maka nampaknya hal tersebut kurang tepat karena Indonesia memiliki banyak pemimpin muda potensial untuk menduduki jabatan tersebut, terutama dari partai koalisi yang tergabung di kubu Prabowo, seperti sosok Erick Tohir dan Ridwan Kamil yang secara pengalaman jauh lebih berpengalaman dibanding Gibran.

Apa yang dilakukan Jokowi hari ini dengan mendorong Gibran sebenarnya tidak sesuai dengan siapa Jokowi pada masa lalu. Jokowi pada masa lalu adalah contoh politikus dan pemimpin yang memulai karier dari bawah, bukan dari jaringan politik dinasti.

Padahal Indonesia sudah memiliki sistem partai politik, yang punya skema kaderisasi untuk mencetak kaum muda berprestasi untuk siap menjadi pemimpin.

 Penulis:

Agus Maarif (2306194326)
Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Daftar Pustaka

Aspinall, Edward. 2010. The Irony of Success. Journal of Democracy, Volume 21, Number 2, April 2010, pp. 20-34 (Article). The Johns Hopkins University PressDOI: 10.1353/jod.0.0157.

Diamond, Larry. 1999.  Developing Democracy: Toward Consolidation. London: The Johns Hopkins University Press.

Lechman, David. 1989. Democracy and Development in Latin America. Cambridge: Polity Press.

Machiavelli, Niccolo. 2008. The Prince: Sang Penguasa (Terjemahan oleh Natalia Trijaji). Surabaya: Selasar Surabaya Publishing.

Macpherson, C. B. 1997. The Life and Times of Liberal Democracy. Oxford: Oxford University Press.

Nugroho, Heru. 2012. Demokrasi dan Demokratisasi: Sebuah Kerangka Konseptual Untuk Memahami Dinamika Sosial-Politik di Indonesia. Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1, Mei 2012.

Power, Thomas dan Eve Warburton (ed.). 2021. Demokrasi di Indonesia: Dari Stagnasi ke Regresi?. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Przeworski, Adam. 2019. Crises of Democracy. Cambridge: Cambridge University Press.

Sorensen, George. 1993. Democracy and Democratization: Process and Prospect in a Changing World. Oxford: Westview Press Inc.

Ware, Alan. 1996. Political Parties and Party Systems. New York: Oxford University Press.

Internet:

  1. https://setkab.go.id/presiden-jokowi-dengan-demokrasi-pertumbuhan-ekonomi-indonesia-cukup-kuat/ diakses pada tanggal 21 Maret 2024 pukul 21.35 WIB.
  2. https://tirto.id/jokowi-soal-isu-gibran-jadi-cawapres-prabowo-yang-logis-aja-lah-gFsn diakses pada tanggal 21 Maret 2024 pukul 21.42 WIB.
  3. https://www.liputan6.com/news/read/5512467/jokowi-presiden-boleh-memihak-dan-berkampanye, diakses pada tanggal 22 Maret 2024 pukul 09.47 WIB.
  4. https://nasional.tempo.co/read/1845894/politik-dinasti-jokowi-ramai-ramai-disorot-pengamat-politik-pakar-hukum-tata-negara-sampai-media-internasional, diakses pada tanggal 22 Maret 2024 pukul 10.15 WIB.
  5. https://theconversation.com/4-alasan-mengapa-pilpres-2024-bisa-jadi-ancaman-bagi-demokrasi-indonesia-216437 diakses pada tanggal 24 Maret 2024 pukul 06.50 WIB.

[1] Pernyataan Presiden Joko Widodo dikutip dari https://setkab.go.id/presiden-jokowi-dengan-demokrasi-pertumbuhan-ekonomi-indonesia-cukup-kuat/ pada tanggal 21 Maret 2024 pukul 21.35 WIB.

[2] Pernyataan Presiden Joko Widodo dikutip dari Taher, Andrian Pratama. 2023. Jokowi Soal Isu Gibran Jadi Cawapres Prabowo: Yang Logis Aja Lah. https://tirto.id/jokowi-soal-isu-gibran-jadi-cawapres-prabowo-yang-logis-aja-lah-gFsn pada tanggal 21 Maret 2024 pukul 21.42 WIB.

[3] Yulika, Nila Chrisna. 2024. Jokowi: Presiden Boleh Memihak dan Kampanye.  https://www.liputan6.com/news/read/5512467/jokowi-presiden-boleh-memihak-dan-berkampanye, diakses pada tanggal 22 Maret 2024 pukul 09.47 WIB.

[4] Muhid, Hendrik Hoirul. Politik Dinasti Jokowi Ramai-Ramai Disorot Pengamat Politik, Pakar Hukum Tata Negara sampai Media Internasional. https://nasional.tempo.co/read/1845894/politik-dinasti-jokowi-ramai-ramai-disorot-pengamat-politik-pakar-hukum-tata-negara-sampai-media-internasional, diakses pada tanggal 22 Maret 2024 pukul 10.15 WIB.

[5] Pendapat Profesor Politik Komparatif dari Universitas London (SOAS) Inggris, Michael Buehler dikutip dari https://theconversation.com/4-alasan-mengapa-pilpres-2024-bisa-jadi-ancaman-bagi-demokrasi-indonesia-216437 pada tanggal 24 Maret 2024 pukul 06.50 WIB.

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI