Setiap tahun, kenaikan cukai rokok menjadi topik yang hangat diperbincangkan. Pemerintah Indonesia, pada tahun 2023 dan 2024, telah memutuskan untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 10% sebagai bagian dari strategi untuk mengendalikan konsumsi rokok, khususnya di kalangan anak-anak dan remaja.
Namun, pertanyaannya adalah: apakah kebijakan ini benar-benar efektif, ataukah hanya menjadi langkah formalitas tanpa dampak signifikan? Mengingat prevalensi perokok di Indonesia yang masih tinggi, kebijakan ini membutuhkan tinjauan lebih mendalam agar tidak hanya menjadi langkah administratif tanpa hasil nyata.
Kenaikan Cukai dan Konsumsi Rokok
Menurut data Kementerian Keuangan, kenaikan cukai rokok bertujuan untuk menurunkan prevalensi perokok anak dari 9,1% pada tahun 2018 menjadi 8,7% pada tahun 2024.
Meski begitu, survei dari Global Youth Tobacco Survey (GYTS) menunjukkan bahwa prevalensi perokok anak di Indonesia masih berada pada angka yang mengkhawatirkan, dengan 7,4% anak usia 10-18 tahun menjadi perokok aktif pada tahun 2023.
Angka ini menunjukkan bahwa, meskipun terdapat upaya untuk menekan konsumsi melalui kenaikan cukai, hasilnya belum sesuai dengan ekspektasi.
Ironisnya, meskipun harga rokok terus naik, konsumsi rokok di kalangan masyarakat tetap tinggi. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa rokok kretek masih menjadi salah satu komoditas utama yang dikonsumsi rumah tangga, bahkan di kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah kenaikan cukai mampu secara efektif mengubah perilaku merokok? Ataukah masyarakat hanya mengurangi konsumsi kebutuhan lainnya untuk tetap membeli rokok?
Kenaikan Pajak di Tahun 2025
Sebagai tambahan dari kebijakan sebelumnya, pemerintah telah merencanakan kenaikan pajak rokok sebesar 12% yang akan berlaku pada tahun 2025. Kebijakan ini diharapkan dapat semakin menekan angka prevalensi perokok, terutama di kalangan anak muda.
Namun, tantangan besar tetap ada, yakni bagaimana kebijakan ini akan mempengaruhi masyarakat secara ekonomi dan sosial.
Dampak dari kenaikan pajak ini diprediksi akan beragam. Dari sisi penerimaan negara, pajak tambahan ini berpotensi meningkatkan pendapatan signifikan, mendukung anggaran untuk sektor kesehatan dan pendidikan.
Namun, dari sisi konsumen, kenaikan ini bisa semakin membebani masyarakat berpenghasilan rendah, yang seperti pada kebijakan sebelumnya, mungkin akan mengorbankan kebutuhan dasar lain demi mempertahankan konsumsi rokok.
Selain itu, industri rokok kecil dan menengah diprediksi akan semakin tertekan dengan kenaikan pajak ini. Banyak pengusaha kecil di sektor ini khawatir akan terjadi penurunan daya beli konsumen, yang berujung pada pengurangan tenaga kerja di sektor terkait.
Untuk itu, pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan ini diiringi dengan langkah pendukung, seperti program alih profesi bagi pekerja di sektor tembakau.
Baca Juga:Â Maraknya Rokok Ilegal Serta Membantu Ekonomi Petani Tembakau yang Umumnya di Daerah Madura
Dampak Ekonomi dan Sosial
Kenaikan cukai rokok tidak hanya berdampak pada konsumsi, tetapi juga pada aspek ekonomi. Industri rokok merupakan salah satu penyumbang terbesar penerimaan negara. Pada tahun 2023, pendapatan negara dari cukai hasil tembakau mencapai Rp232 triliun, meningkat dari Rp218 triliun pada tahun 2022.
Angka ini menunjukkan bahwa, meskipun terdapat kenaikan cukai, konsumsi rokok tidak menurun secara signifikan. Bagi pemerintah, ini menjadi sumber pendapatan yang signifikan, tetapi bagi masyarakat, hal ini memperburuk beban ekonomi, terutama bagi kelompok kurang mampu.
Namun, dampak sosial dari kebijakan ini justru lebih kompleks. Kenaikan harga rokok sering kali memaksa masyarakat berpenghasilan rendah untuk mengurangi pengeluaran pada kebutuhan lain, seperti pendidikan dan kesehatan.
Sebuah studi oleh Lembaga Demografi Universitas Indonesia pada 2023 menemukan bahwa rumah tangga miskin rata-rata menghabiskan 12% dari total pengeluarannya untuk rokok, sementara hanya 4% untuk pendidikan.
Pola pengeluaran seperti ini menunjukkan ironi besar dalam pengelolaan anggaran rumah tangga, yang pada akhirnya berdampak buruk pada kualitas hidup generasi penerus.
Regulasi Tambahan yang Diperlukan
Kenaikan cukai saja tidak cukup untuk menekan angka perokok, terutama di kalangan anak muda. Iklan rokok, promosi, dan sponsor masih menjadi tantangan besar.
Meskipun ada regulasi yang melarang iklan di media elektronik, industri rokok semakin gencar menggunakan platform digital untuk menjangkau target pasar yang lebih muda. Iklan di media sosial, misalnya, kerap terselubung dalam bentuk konten kreatif yang menarik perhatian remaja, sehingga sulit diawasi secara langsung.
Selain itu, penjualan rokok secara eceran tetap menjadi masalah. Data dari Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) menunjukkan bahwa 60% anak-anak membeli rokok secara eceran pada tahun 2023.
Penjualan eceran mempermudah akses anak-anak untuk mendapatkan rokok, sehingga diperlukan pengawasan lebih ketat terhadap ritel dan pelarangan total penjualan eceran untuk memutus akses ini. Tanpa regulasi yang lebih tegas, target pengurangan prevalensi perokok anak sulit tercapai.
Solusi Holistik untuk Mengatasi Masalah Rokok
Kenaikan cukai hanyalah salah satu bagian dari solusi. Untuk benar-benar mengurangi angka perokok, diperlukan pendekatan yang lebih holistik. Pendidikan tentang bahaya merokok, pengawasan ketat terhadap iklan dan penjualan, serta peningkatan akses layanan berhenti merokok harus menjadi prioritas.
Edukasi di sekolah dan kampanye di tingkat komunitas sangat penting untuk membangun kesadaran akan bahaya merokok sejak usia dini.
Negara-negara seperti Australia dan Selandia Baru telah membuktikan bahwa kombinasi cukai tinggi, larangan total iklan, dan program berhenti merokok dapat secara signifikan menekan prevalensi perokok. Di Australia, prevalensi perokok dewasa turun dari 24% pada tahun 1991 menjadi 11% pada tahun 2023.
Indonesia perlu belajar dari keberhasilan ini dan mengadaptasi strategi yang sesuai dengan kondisi lokal, seperti melibatkan tokoh masyarakat dan organisasi keagamaan dalam kampanye pengendalian tembakau.
Selain itu, penguatan layanan berhenti merokok melalui puskesmas dan fasilitas kesehatan lainnya juga sangat penting. Banyak perokok yang ingin berhenti tetapi tidak memiliki akses atau dukungan yang memadai.
Menyediakan layanan konseling dan subsidi untuk terapi berhenti merokok dapat menjadi langkah nyata dalam membantu mereka yang ingin berhenti.
Baca Juga:Â Peredaran Rokok Ilegal Bikin Negara Bangkrut
Kesimpulan
Kenaikan cukai rokok memang menjadi langkah penting dalam pengendalian tembakau, tetapi efektivitasnya masih jauh dari harapan. Tanpa regulasi tambahan yang mendukung dan pengawasan yang ketat, kebijakan ini berisiko menjadi sekadar formalitas yang tidak memberikan dampak signifikan terhadap penurunan angka perokok.
Hal ini menuntut komitmen yang lebih besar dari pemerintah untuk memastikan bahwa kebijakan ini diiringi dengan langkah-langkah konkret lainnya.
Kini saatnya pemerintah dan masyarakat bersinergi untuk menciptakan generasi bebas rokok. Bagaimanapun, masa depan Indonesia yang sehat dan produktif tidak bisa ditukar dengan keuntungan jangka pendek dari industri tembakau.
Dengan langkah-langkah yang tepat, Indonesia dapat mewujudkan visi masyarakat yang lebih sehat dan generasi muda yang terbebas dari jerat tembakau.
Penulis: Nurul Chabibah
Mahasiswa Ilmu Kesehatan Daerah Universitas Indonesia Maju
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Referensi
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2023). Strategi Pengendalian Konsumsi Rokok melalui Cukai Hasil Tembakau.
Global Youth Tobacco Survey (GYTS). (2023). Prevalensi Perokok Anak di Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS). (2023). Laporan Pengeluaran Rumah Tangga Terkait Rokok.
Lembaga Demografi Universitas Indonesia. (2023). Dampak Konsumsi Rokok terhadap Kesejahteraan Rumah Tangga.
Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT). (2023). Tantangan Pengendalian Rokok di Indonesia.
Australian Institute of Health and Welfare. (2023). Smoking and Tobacco Control in Australia.
Ikuti berita terbaru di Google News