Kenyang oleh Janji, Lapar akan Keadilan

Kenyang oleh Janji, Lapar akan Keadilan
Program Makan Bergizi Gratis (ANTARA/Muhammad Adimaja)

Demokrasi, sebagaimana kita yakini, bukan hanya soal pemilu atau pergantian kekuasaan secara damai. Demokrasi adalah sistem yang semestinya menjamin partisipasi rakyat dalam setiap keputusan yang menyangkut hidup mereka, termasuk dalam kebijakan sosial seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang kini dijalankan di berbagai daerah.

MBG hadir dengan misi yang tampaknya mulia: memberi makanan bergizi kepada anak-anak sekolah demi mendukung tumbuh kembang dan daya pikir mereka.

Dalam narasi resmi pemerintah, program ini adalah bentuk kepedulian terhadap masa depan bangsa.

Namun, di balik maksud baik tersebut, kita patut bertanya: apakah MBG benar-benar dijalankan dengan semangat demokrasi? Ataukah hanya menjadi simbol kepedulian yang semu?

Bacaan Lainnya

Sayangnya, yang terlihat di lapangan pelaksanaan program ini belum sepenuhnya mencerminkan semangat demokrasi.

Banyak sekolah, orang tua, dan bahkan masyarakat sekitar tidak dilibatkan dalam perencanaan maupun pelaksanaan program ini.

Baca Juga: Implikasi Rencana Kenaikan PPN 12% terhadap Realisasi Program Makan Bergizi Gratis

Menu makanan ditentukan dari atas, tanpa bertanya pendapat mereka yang paling tahu kebutuhan anak-anak di daerah masing-masing.

Lebih buruk lagi, transparansi dan akuntabilitas program ini juga dipertanyakan. Tidak sedikit laporan menyebutkan makanan yang diberikan tidak layak konsumsi, porsi yang minim, bahkan ada dugaan harga yang sengaja dimasukkan dan barang yang dilaporkan dibeli ternyata tidak pernah ada.

Jika benar ada uang rakyat yang disalahgunakan atas nama anak-anak yang lapar, maka ini bukan sekadar kegagalan teknis, ini adalah pengkhianatan terhadap semangat demokrasi itu sendiri.

Program ini pun tampaknya lebih fokus pada pencitraan daripada menyelesaikan masalah. Saat momen politik datang, program MBG mudah menjadi alat pencitraan.

Foto pejabat membagikan nasi kotak menjadi viral, sementara sistem pengawasan dan keterlibatan masyarakat masih lemah. Demokrasi semacam ini hanya hidup di kamera, tapi mati di dapur rakyat.

Baca Juga: Program Makan Siang Gratis Guna Mencegah Stunting di Generasi Saat Ini?

Lebih menyedihkan lagi, MBG kerap tidak menyentuh anak-anak yang paling membutuhkan. Di banyak daerah tertinggal, akses ke program ini minim atau bahkan nihil.

Ini menunjukkan ketimpangan distribusi dan buruknya perencanaan yang seharusnya menjadi dasar setiap kebijakan sosial.

Demokrasi sejati bukan hanya tentang “memberi”, tetapi juga “melibatkan”. Memberikan makan tanpa memberi suara kepada penerima manfaat adalah cara yang menganggap rakyat seperti anak kecil yang harus diarahkan, bukan diajak ikut memutuskan, dan itu tidak sesuai dengan semangat demokrasi yang melibatkan semua orang.

Kita membutuhkan program sosial yang tidak hanya “datang dari atas”, tetapi “dibangun dari bawah”.

Program Makan Bergizi bukan program yang salah. Yang salah adalah cara kita memperlakukannya, seolah cukup memberi nasi, lalu selesai urusan.

Padahal, demokrasi tidak bekerja seperti itu. Ia bekerja saat rakyat diajak berdiskusi, diberi ruang untuk mengkritik, dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan.

Jika MBG ingin benar-benar menjadi simbol kepedulian negara terhadap rakyat, maka ia harus dibangun di atas fondasi demokrasi yang sesungguhnya.

Bukan demokrasi yang terlihat di atas kertas, tapi yang benar-benar melibatkan rakyat, terbuka, dan adil bagi semua.

 

Penulis: Amalia Khusnia Aini
Mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses