Hari ini, kita dengan bangga menyebut Indonesia sedang berada dalam masa emas: bonus demografi. Tapi satu pertanyaan perlu diajukan, apakah kita benar-benar siap mengelola “bonus” ini, atau justru tengah berjalan tanpa arah menuju krisis sosial berikutnya?
Di tengah euforia potensi usia produktif, kita sering lupa bahwa waktu terus berjalan. Generasi muda hari ini akan menjadi lansia esok hari. Dan berdasarkan proyeksi Bappenas, tahun 2045 nanti, Indonesia akan dihuni lebih dari 42 juta jiwa lansia. Ini bukan angka kecil. Ini adalah wajah baru Indonesia: menua.
Namun, apakah negara ini sudah cukup ramah terhadap para lansianya? Realitanya jauh dari ideal. Banyak lansia masih harus bekerja di usia senja bukan karena passion, tapi karena tak punya pilihan untuk bertahan hidup.
Akses ke layanan kesehatan masih minim, jaminan pensiun tidak merata, dan sistem dukungan sosial nyaris tak menyentuh kebutuhan spesifik mereka. Ironisnya, sebagian besar kebijakan sosial kita masih berorientasi pada kelompok usia produktif, seolah-olah menjadi tua adalah hal yang tidak diantisipasi.
Di sinilah titik kritisnya: ketika jumlah lansia terus meningkat, tapi jaminan sosial justru stagnan bahkan melemah, kita perlu bertanya: sedang ke mana arah pembangunan kita?
Sebagai mahasiswa, kita tak boleh tinggal diam. Kita adalah bagian dari generasi yang akan mewarisi kondisi ini. Apa yang hari ini kita perjuangkan, akan menjadi dasar dari seperti apa Indonesia memperlakukan para lansianya nanti termasuk kita sendiri.
Maka advokasi menjadi langkah yang tidak bisa ditawar. Kita harus ikut mendorong lahirnya sistem perlindungan sosial dan kesehatan yang inklusif, adil, dan ramah lansia.
Pensiun universal, layanan geriatri di fasilitas kesehatan primer, lingkungan ramah usia, hingga program pemberdayaan ekonomi lansia semuanya bukan hal mustahil jika diperjuangkan bersama.
Baca Juga: Bagaimana Lansia Dapat Menikmati Usia Senja dengan Bahagia dan Sehat?
Narasi pun perlu kita ubah. Lansia bukan beban pembangunan, mereka adalah bagian dari perjalanan bangsa ini. Mereka adalah saksi sejarah dan penjaga nilai yang tidak boleh disingkirkan dari ruang-ruang kebijakan.
Lebih jauh, isu ini sejalan dengan semangat Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama Tujuan 1 (Tanpa Kemiskinan) dan Tujuan 10 (Mengurangi Ketimpangan). Artinya, memperjuangkan hak lansia adalah bagian dari perjuangan besar melawan ketidakadilan struktural.
Maka pertanyaannya kini bukan lagi “siapkah kita menghadapi populasi menua?”, tapi “beranikah kita mengubah sistem agar tak satu pun dari kita ditinggalkan ketika usia tak lagi muda?”. Indonesia boleh saja menua, tapi keadilan sosial tidak boleh ikut menua dan keropos bersamanya.
Penulis: Windasari Kamelia Mujoko
Mahasiswa Magister Sains Agribisnis IPB University
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News