Konon Katanya Startup yang Sustain Harus Bakar Uang?

Siapkah Indonesia Menyambut Revolusi Industri 4.0?

Sudah tidak asing lagi bagi kita semua untuk mendengar frasa baru yaitu Startup. Sekarang ini, istilah startup sudah banyak dipergunakan dimana-mana. Itu pun dirasakan karena tanpa terasa Dunia Sudah Berubah. Semua aspek kehidupan sudah didukung dengan teknologi-teknologi mutakhir.

Pada awal tahun 2010-2014 kita merasa bahwa membeli baju, makanan, dan barang-barang lainnya tidak dapat dibeli secara online dan harus datang ke tempatnya langsung. Namun, kurang dari 10 tahun teknologi mematahkan semua opini kita semua dan hadir dengan berbagai bentuk. Mulai dari e-commerce, e-pay, e-travel dan e-e- lainnya.

Karena terbilang baru, banyak startup yang harus “membakar uang” mereka untuk keperluan pemasaran yang diharapkan dapat meraup lebih banyak pasar serta pencerdasan ke pasar, terlebih yang mempunyai kompetitor langsung. Karena perusahaan yang berbasis teknologi perlu adanya proses pembelajaran dari pasar yang mengharuskan Startup mengeluarkan lebih banyak biaya untuk membantu proses pembelajaran tersebut ke pasar.

Bacaan Lainnya

Proses “Bakar Uang” dari startup itu tentunya sangat dapat dirasakan oleh kita semua. Mulai dari diskon perjalan besar-besaran sampai perjalanan gratis atau bahkan pemotongan harga pada beberapa barang di waktu-waktu tertentu.

Analisa Strategi Bakar Uang Ala Startup

Namun nyatanya kegiatan “Bakar uang” yang dilakukan oleh para Startup tidak sejalan dengan pendapat CEO dari Mandiri Capital, Eddi Danusaputro. Sebagai perusahaan venture capital pastinya akan menganalisis banyak Startup untuk mereka investasikan. Menemukan banyak sekali Startup yang bubble pada valuasinya, namun saat ditelaah lebih lanjut adalah strategi “Bakar uang” telah membuat valuasi membengkak.

Itu yang perlu diperhatikan lebih lanjut. Alih-alih berkata strategi “Bakar Uang” adalah hal yang sustain, nyatanya belum tentu dan justru cenderung tidak efektif apa lagi tanpa hitung-hitungan yang matang dan realistis itu akan berujung kegagalan.

Tak bisa dipungkiri, dalam pendirian Startup pastinya memerlukan banyak sekali biaya yang dikeluarkan dan tentunya butuh banyak suntikan biaya dari investor. Dan saat ini pun sudah banyak investor yang berani menyuntikkan ratusan juta hingga milyaran rupiah kepada beberapa Startup.

Lalu, kita tidak bisa menjadikan dan memaklumi lagi kegiatan “Bakar Uang” pada startup adalah hal yang wajar untuk dilakukan. Karena nyatanya, kita harus menyadari bahwa titik kita tidak dapat bergantung pada “Bakar Uang” untuk menjadi Startup yang sustain.

Karena, Startup yang sustain juga didorong dengan bantuan dana dari investor yang tentunya memikirkan profit. Mereka ingin melihat waktu akan terjadinya profit, antara tahun ke 3 atau mungkin tahun ke 5. Namun jika lebih lama, tentunya mereka akan memilih untuk exit dan menyetop pendanaan. Hal tersebutlah yang membuat startup tidak lagi memiliki modal dan mengharuskan tutup.

Aisyah Moulyni
Mahasiswa Institut Teknologi Bandung

Editor: Muhammad Fauzan Alimuddin

Baca Juga:
Webinar “Start-In” Ajak Anak Muda Belajar Membangun Start-up
Fintech: Bank Jadi Merana?
Siapkah Indonesia Menyambut Revolusi Industri 4.0?

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0811-2564-888
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI