Krisis Lahan

Menurut Purwowidodo (1983), lahan mempunyai pengertian, “suatu lingkungan fisik yang mencakup iklim, relif tanah, hidrologi, dan tumbuhan yang sampai pada batas tertentu akan mempengaruhi kemampuan penggunaan lahan”.

Berdasarkan pengertian di atas dapat dimaknai bahwa lahan adalah lingkungan fisik dan relif tanahnya terbentuk dengan kontur bidang yang ada, dan dapat digunakan untuk menanam tumbuhan serta untuk keperluan lainya.

Menurut Mosher (1966), pertanian adalah “campur tangan manusia dalam perkembangan tanaman dan atau hewan, agar dapat lebih baik memenuhi kebutuhan dan memperbaiki kehidupan keluarga dan atau masyarakatnya”.

Bacaan Lainnya
DONASI

Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa pertanian adalah proses pengolahan tumbuhan yang di lakukan manusia untuk membantu pertumbuhan tanaman tersebut agar mendapatkan hasil yang maksimal yang nantinya akan di pergunakan untuk memenuhi kebutuhan kelurganya maupun lingkungan masyarakatnya.

Secara geografis Indonesia terletak di antara dua samudra dan dua benua sehingga Indonesia mendapatkan angin laut yang membawa hujan. Hal ini menjadi berkah yang menjadika tanah Indonesia subur dan cocok bila digunakan untuk pertanian. Selain itu Indonesia juga beriklim tropis yang mana iklim ini hanya membuat Indonesia memiliki dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau, tidak seperti di Eropa yang memiliki lebih dari dua musim terutama musim salju yang sangat ekstrim.

Hal ini ternyata berdampak pada kurangnya kesuburan tanah di sana. Sedangkan tanah di Indonesia sendiri tidak pernah mengalami kondisi ekstrim yang disebabkan oleh musim.

Penelitian membuktikan bahwa tanah Indonesia sangat kaya akan zat-zat hara yang baik untuk tumbuhan, hal ini lah yang membuat Indonesia mendapat julukan sebagai tanah surga.

Karena mendapat karunia yang sangat berharga ini, maka tanah Indonesia dapat ditumbuhi hampir seluruh tumbuhan yang ada di dunia, bahkan ada yang mengatakan bahwa tongkat kayu dan batu bisa jadi tanaman.

Kesuburan tanah Indonesia telah dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sejak dari dahulu kala, maka tidak asing bila dikatakan bahwa seluruh penduduk Indonesia dahulu  adalah seorang petani dan nelayan. Saat ini, pertanian yang ada di Indonesia masih bersifat tradisional dan jauh dari sentuhan modernitas.

Lalu bagaimana kondisi lahan pertanian Indonesia di abad ke 21 ini, berikut diungkapkan oleh Siswono Yudo Husodo saat pembukaan Rembug Jagung Nasional 2017 pada hari rabu (20/9. Ia mengatakan bahwa luas lahan di Indonesia saat ini hanya sebesar 7,78 juta hektar.

Bila dihitung lahan per kapita, luas lahan di Indonesia hanya sebesar 358,5 meter persegi per kapita. Data lain menunjukkan bahwa lahan sawah yang telah beralih fungsi mencapai 200.000 hektar tiap tahunnya.

Ini merupakan kondisi yang memprihatinkan mengingat Indonesia adalah negara agraris yang mestinya memiliki luas lahan yang cukup banyak untuk sektor pertanian.

Perpres kini telah mengeluarkan kebijakan bahwasanya alih fungsi lahan sawah yang ada di Indonesia harus melalui izin dari Menteri Agraria, namun tidak cukup hanya dengan itu, pemerintah hendaknya sudah mulai memangkas habis lahan pertanian yang telah beralih fungsi untuk kembali menjadi lahan pertanian karena ini menyangkut masa depan bangsa.

Alih fungsi lahan ini antara lain diperuntukan untuk: pembangunan hotel, restoran, perumahan, industri pabrik, jalan raya, dan sebagainya yang dibangun diatas tanah produktif.

Indonesia adalah surga dunia yang nyata, dengan bentang alam yang indah dan kondisi geografis yang baik, menjadikan Indonesia sebagai negara agraris yang tersohor di mata dunia. Namun citra itu telah menghilang dari negara ini, mengingat bahwa saat ini sebagian besar perekonomian Indonesia disokong oleh industri yang melenceng dari kodratnya Indonesia sebagai negara agraris.

Saran yang bisa diberikan dalam tulisan ini ialah berhentilah menciptakan negara industri di tanah yang subur ini.

Mengapa pemerintah tidak menciptakan perekonomian Indonesia yang berbasis agraris yang memang cocok untuk diterapkan di Indonesia karena memang hakikatnya kita menjadi negara yang perekonomiannya disokong oleh pertanian, mengingat bahwasanya pada saat ini Indonesia tidak mendapatkan hasil yang menjanjikan lewat perekonomian yang berbasis industri seperti sekarang ini.

Negara yang hebat adalah negara yang tahu betul hakikat dirinya, seorang filsuf pernah mengatakan bahwa, “ikutilah takdirmu dan bukan takdir orang lain, tapi kamu justru mati-matian mengikuti takdir orang lain dan melupakan takdirmu sendiri”.

Penulis: Tri Maharani 
Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Jendral Achmad Yani

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI

Komentar ditutup.