Budayakan Ngopi Bukan Ngopy

Kegiatan Ngopi di kalangan kaum intelektual bukanlah sebuah hal yang baru, namun telah menjadi sebuah kebutuhan dalam menyusun wacana hingga ke penyelesaian masalah. Ngopi di sini bukan berarti kegiatan duduk manis kemudian menyeruput secangkir kopi sembari menghisap sebatang rokok, melainkan ngopi yang dimaksudkan ialah kegiatan diskusi (Ngopi= Ngobrol Pintar). Kegiatan ngopi dapat dijumpai di ruang kelas, perpustakaan, kantin, masjid, ruang keseketariatan ormawa, hingga ruang terbuka seperti taman. Betapa besarnya peran dari ngopi sendiri sebab berbagai pemikiran dan gagasan banyak dilahirkan dari sini.

Bagi mereka yang menasbihkan dirinya sebagai seorang aktivis, organisatoris, kura-kura (kuliah-rapat, kuliah-rapat), kegiatan ngopi merupakan hal yang lazim ditunaikan dimanapun berada selama ada lawan bicara. Sajian ngopi cenderung lebih nikmat jika ditemani cemilan, misalnya ditemani secangkir kopi (tanpa rokok; bagi mereka yang taat kepada kesehatan) agar dapat membangun suasana yang rileks dan terbuka. Mahasiswa dalam hal ini adalah aktivis, hanya memerlukan segelas kopi saja untuk mengibarkan panji-panji semangat dalam diskusi mereka yang sangat menarik. Berbagai topik disuguhkan di kegiatan ngopi, entah itu persoalan akademik, organisasi, hingga gagasan ilmiah serta kebangsaan dan keresahan para aktivis mahasiswa dalam menyikapi isu sosial-politik dinegerinya.

Terkadang kegiatan ngopi melenceng dari substansinya, terutama di kalangan kaum hawa cenderung menjadikan kegiatan ngopi ini sebagai ajang penghibahan, pergosipan, hingga dunia remang. Kegiatan ngopi bagi kaum hawa bisa jadi disalah-gunakan dengan konten yang keluar dari fungsi yang semestinya, misalnya ghibah. Kiai Candrika pernah berkata, “Ghibah adalah seni analitik untuk mengurai segala informasi tentang objek yang sebagian besar merupakan hipotesis-dramatis guna memberi dukungan pada visi dan misi yang hendak dicapai”. Ghibah lebih berbahaya dan adiktif ketimbang rokok. Jika para pelakunya pernah atau sering berkutik dengan ghibah, dipastikan telah kecanduan dan liku laku hidupnya digandrungi berbagai macam dugaan syak wasangka atau bahasa religiusnya ialah su’udzan (≠husnudzan). Bagi yang pernah menunaikannya, ghibah dinilai sulit dilepaskan di tatanan sosial terutama di kalangan kaum hawa, kecuali dengan jalan taubat dan tidak kembali menunaikan hal yang melenceng dari perintah agama.

Bacaan Lainnya
DONASI

Kegiatan ngopi pun berlaku bagi mahasiswa bermahzab kupu-kupu (kuliah-pulang, kuliah-pulang) yang kontennya cenderung ke arah gagasan ilmiah. Mereka yang menganut mahzab tersebut tidak perlu dipusingkan dengan hal-hal yang berbau organisasi maupun isu sosial di sekitarnya, mereka begitu disibukkan dengan kegiatan akademik atau bisa dibilang berburu nilai terbaik yang nantinya tersemat di transkip ijazah dengan alasan agar mudah mendapatkan pekerjaan. Paradigma ini perlu diubah bahwasanya dalam mencari lapangan pekerjaan setelah lulus kelak, tidaklah cukup dengan bermodalkan transkip nilai, tetapi juga skill yang didapat dari pengalaman berorganisasi. Salah satu Dosen saya pernah berkata, ilmu yang didapat di dalam kelas hanya sedikit dan tidaklah cukup, sisanya yang banyak itu ialah keterampilan yang didapat di luar kelas seperti berorganisasi. Hal ini yang perlu digalakkan ditengah dekadensi budaya literasi di kalangan akademisi dewasa ini.

Dalam buku Demokrasi Untuk Siapa? karya Muliansyah Abdurrahman Ways, istilah ngopi-isme sudah tidak asing lagi di dunia mahasiswa. Menurut Muliansyah, kebiasaan ngopi sangat penting sebab dapat memberikan impact yang luar biasa, karena berbagai macam persoalan pada umumnya dapat diselesaikan dengan jalan ngopi. Menurut Bang Eko dalam karangan Muliansyah mengatakan kegiatan ngopi merupakan bagian dari pendidikan alternatif.

Bagi para penganut paham instanisme, penyebutan kata ngopi dan ngopy cenderung identik. Berdasarkan bahasa Indonesia yang baik dan benar “ngopi” dan “ngopy” adalah dua hal yang berbeda, namun dalam konteks ini ngopi dan ngopy menjadi sebuah istilah yang sama dalam pengucapan tetapi berbeda makna.

Ngopi merupakan instrumen sederhana yang mampu memberikan kontribusi terhadap internal diri, orang lain bahkan bangsa. Sebaliknya bagi mereka yang berpaham hedonisme, ngopy adalah kegiatan instan yang menyenangkan tanpa perlu berusaha keras menemukan solusi dari permasalahan dengan meng-copy ide dari orang lain. Jika budaya ngopy subur dilapisan akademisi, dipastikan mahasiswa akan senantiasa terperangkap dalam lingkaran plagiarisme. Jadi jelas perbedaan ngopi dan ngopy bila ditinjau dari tata laksananya.

Perbedaan tersebut melahirkan dua golongan, golongan pertama adalah golongan Idealis yang suka melakukan ngopi, dan golongan yang kedua adalah golongan hedonis yang doyan menunaikan ibadah ngopy. Golongan idealis, yaitu para aktivis mahasiswa yang menganggap kegiatan ngopi merupakan sebuah kebutuhan dalam mengasah kepekaan sosial dan meningkatkan kemampuan akademik maupun organisasi. Sedangkan golongan hedonis, yaitu mahasiswa yang menganut paham instanisme dan pragmatisme, seiring perkembangan kecanggihan zaman, mereka pun melakukan hal yang instan dengan hasil yang pasti tanpa harus bersusah payah mencari hal yang dianggapnya rumit.

Kegiatan ngopy akan mewabah ke setiap lapisan mahasiswa ketika musim tugas dan menjelang ujian semester. Mahasiswa di golongan hedonis ini tak ragu mengatasnamakan solidaritas demi mencapai keberhasilan bersama. Budaya literasi yang surut dan rendahnya kegiatan ngopi di kalangan intelektual menyebabkan suburnya hedonisme di kalangan mahasiswa. Mereka yang terjebak di pusaran arus hedonisme beranggapan kegiatan ngopi kini hanya membuang-buang waktu, tenaga, dan pikiran di tengah kemajuan teknologi. Mereka yang terlanjur kecanduan dengan ngopy telah terlena oleh pemikiran yang pragmatis.

Sudah selayaknya mahasiswa bangkit dan terbebas dari kesempitan berpikir dan cengkraman zona nyaman ngopy, karena tidak ada manfaat yang bisa dipetik selain menjadi seorang plagiarisme, selalu tergantung kepada orang lain. Bila budaya ngopy subur di kalangan intelektual, maka perilaku konsumtif akan mewabahi generasi penerus bangsa, sehingga masa depan bangsa akan konsumtif, semua serba impor dan kurangnya pengoptimalan, pemanfaatan, dan pengelolaan sumber daya karena telah banyak dikuasai oleh perusahaan asing.

Masihkah akan terus berdiam diri wahai kaum intelektual melihat keadaan bangsa saat ini? Jika menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik, mulailah dari diri sendiri. Tinggalkan budaya ngopy dan galakkan budaya ngopi sebagai wadah pengembangan diri dan banyak melahirkan gagasan-gagasan untuk bangsa dan negara.

Mahasiswa harus selalu ingat terhadap identitas mereka sebagai agent of control, agent of change, dan agent of social forces. Untuk itu, penulis sepakat dengan pendapat Muhammad Amien Rais mengenai mahasiswa, “Janganlah menjadi mahasiswa yang hanya bisa meng- copy paste ide orang lain. Tetapi, jadilah mahasiswa yang tukang ngopi, yang berkualitas dan bermanfaat bagi diri, umat, dan bangsa”.

 

Ahmad Yudi S
Mahasiswa Prodi S-1 Kesehatan Masyarakat
STIKes Respati Tasikmalaya

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI

1 Komentar

  1. Kami alami sendiri hal seperti, munkij karena faktor mudahnya informasi yang di dapat melalui mesin pencari seperti google, rutinitas ngopy tak bisa di hindarkan oleh kaum mahasiswa

Komentar ditutup.