Liga Korupsi Indonesia: Nilai Pancasila Memudar?

Korupsi Indonesia
Ilustrasi Korupsi (Sumber: Media Sosial)

Layaknya klub sepak bola di Liga 1 yang bersaing untuk meraih kejuaraan, perusahaan-perusahaan negara juga sepertinya bersaing untuk memperebutkan nominal korupsi terbanyak, seakan itu adalah hal yang sangat wajar. Lantas, apakah ini pertanda bahwa nilai-nilai Pancasila sudah memudar? Bukankah nilai-nilai Pancasila sudah seharusnya menjadi pedoman bagi kita semua, khususnya dalam bernegara?

Belakangan ini, berita tentang kasus korupsi sudah tidak asing lagi di telinga kita, berbagai macam berita tentang korupsi—dengan angka nol yang begitu banyak—diberitakan oleh media massa di Indonesia yang membuat gatal telinga. Sepertinya korupsi menjadi masalah yang sudah mengakar di Indonesia.

Miris jika melihat Indonesia menjadi satu-satunya negara “ber-Pancasila” justru malah menyepelekannya dan bahkan tidak mengimplementasikannya; seakan harapan bangsa Indonesia sebagai negara “bebas korupsi” pupus—Pancasila yang diciptakan agar rakyat Indonesia beretika hanyalah angan-angan semata.

Para koruptor seharusnya malu jika mengingat bahwa negara kita yang diperjuangkan dengan darah dan doa oleh para pendiri negara—ternyata malah menjadi salah satu negara dengan rekam jejak korupsi terburuk sepanjang masa. Lantas, kapan “Indonesia bebas korupsi” bukan hanya menjadi isapan jempol belaka?

Bacaan Lainnya

 

Nominal Besar Menjadi Tidak Berarti

Mendengar kata korupsi saja sudah jelek apalagi triliunan kerugian yang dialami negara akibat tingkah amoral para koruptor. Lagak para pencuri ini bervariatif; tidak hanya secara terang-terangan mengambil uang yang bukan miliknya, tetapi juga menipu rakyat—seperti yang dilakukan oleh BUMN yang bergerak di bidang perminyakan dan gas, yaitu Pertamina.

Masyarakat yang sudah menaruh kepercayaannya kepada Pertamina harus menelan fakta mentah-mentah bahwa bahan bakar yang mereka beli rupanya “dioplos” oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Kasus korupsi ini menempati peringkat pertama sebagai kasus yang menyebabkan kerugian paling besar dengan kerugian hampir satu kuadriliun rupiah.

Selain industri perminyakan dan gas, terdapat pula aktivitas mencuri yang dilakukan oleh salah satu perusahaan di industri pertambangan, yakni PT Timah. Perusahaan ini menempati peringkat kedua dalam Liga Korupsi Indonesia dengan kerugian sebesar 300 triliun rupiah berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Kasus-kasus korupsi ini tidak hanya menyebabkan kerugian ekonomi, tetapi juga kerusakan ekosistem dan perlunya biaya tambahan untuk pemulihan lingkungan tersebut; para koruptor dengan gagahnya melakukan perilaku yang merusak segala aspek. Padahal, Pancasila bukan hanya angan-angan para pendiri negeri, Pancasila tentunya memiliki tujuan: untuk dijadikan dasar negara, ideologi, dan pandangan hidup.

 

Pengkhianatan terhadap Pancasila

Sebagai pandangan hidup, Pancasila haruslah menjadi pedoman bagi bangsa Indonesia dalam berperilaku, tidak terkecuali para penyelenggara negara. Akan tetapi, kenyataannya banyak penyelenggara negara yang menganggap remeh nilai-nilai Pancasila—nilai-nilai moral Pancasila yang sudah ditanamkan dalam diri mereka di setiap jenjang pendidikan tidak diacuhkan.

Apakah mereka lupa bahwa korupsi itu sendiri adalah perilaku yang tidak bermoral? Banyak orang Indonesia telah terdoktrin bahwa negaranya adalah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan agama; bahkan agama diletakkan paling pertama di Pancasila.

Baca juga: Membentuk Pribadi Anti Korupsi dari Pancasila

Agama mengajarkan penganutnya untuk tidak merampas hak orang lain dan bersikap jujur. “Ketuhanan Yang Maha Esa” seakan tidak berarti di mata tikus-tikus berdasi yang berlindung di balik ketiak oligarki.

Para perampok uang rakyat ini mengingatkan pada pepatah “adab lebih tinggi daripada ilmu” tetapi seakan mereka menutup mata terhadap adab. Yakinlah, mereka bukan orang yang tidak berilmu, tetapi  kerakusan telah membutakan mereka dari adab yang telah diajarkan kepada mereka. Kepintaran disalahgunakan, adab ditelantarkan.

Lantas, apa gunanya kepintaran tanpa adab? Di sila kedua kita sudah diajarkan untuk adil dan beradab, lagi-lagi mereka gagal dalam menerapkan nilai-nilai Pancasila yang sudah ditanamkan di dalam insan mereka. Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi hukum dan keadilan, bagaimana keadilan bisa terwujud jika apa yang menjadi hak untuk rakyat justru masuk ke dalam kantong segelintir orang?

Penyelenggara negara seharusnya amanah dalam melayani rakyat; mereka berkewajiban dalam pemenuhan hak rakyat. Akan tetapi, tikus-tikus berdasi ini justru merampas hak rakyat dengan mudahnya.

Tikus-tikus berdasi menganggap diri mereka lebih tinggi derajatnya dibanding rakyat dan berlaku semena-mena; rakyat yang seharusnya menjadi tuannya, malah hanya dianggap sebuah lelucon. Maka dari itu, sudah jelas, para koruptor ini juga tidak mencerminkan sila kelima—mereka tidak memikirkan keadilan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Sungguh kacau, nilai-nilai dalam Pancasila tidak ada artinya bagi mereka.

 

Bagaimana Cara Memberantas Korupsi?

Tak seharusnya rakyat kecil memikirkan solusi atas kekacauan yang disebabkan oleh para penyelenggara negara; tetapi, inilah Indonesia. Rakyat biasa hanya bisa mengandalkan diri mereka sendiri untuk mengubah nasib yang ada.

Oleh sebab itu, dalam hal ini rakyat bisa bahu-membahu mengadvokasikan masalah ini lewat platform yang sudah menjadi makanan sehari-hari warga Indonesia—yaitu media sosial.

Walau terkesan sepele, secara historis demonstrasi yang awalnya bersumber dari pantikan di platform tersebut terbukti dapat menjadi tempat untuk menyalurkan penolakan rakyat atas ketidakadilan yang terjadi, sekaligus menjadi daya tekan dalam mendesak penegak hukum agar mereka menindak para koruptor dengan seadil-adilnya dan sebagaimana mestinya.

Meski bukan upaya mudah, penyakit yang bernama korupsi, kolusi, dan nepotisme yang bersarang di seluruh penjuru negara wajib hukumnya untuk dilenyapkan—semata-mata demi kemaslahatan bersama. Selain itu, hal ini juga bertujuan agar mekanisme check and balances dapat berjalan dengan baik.

 

Lantas, Apakah Pancasila Masih Relevan?

Liga klasemen korupsi Indonesia yang tidak membanggakan ini telah menciptakan kerugian triliunan. Tidak dapat dipungkiri, para koruptor yang hanya menjadi penghafal Pancasila tetapi tidak mengimplementasikannya tentu akan melakukan tindakan tercela tersebut.

Lantas, masihkah Pancasila menjadi landasan manusia Indonesia dalam bertingkah laku? Pancasila yang mengedepankan moralitas, agama, keadilan, manusia beradab, dan hal-hal terpuji lainnya nyatanya tidak dianggap penting dan dilanggar dengan entengnya oleh para penyelenggara negara; karena bagi mereka yang penting adalah mengisi kantong dan perut mereka saja.

Mereka tidak tahu apa itu pemenuhan kewajiban untuk melayani rakyat. Sungguh sikap yang tidak amanah, sangat merugikan, dan tidak beradab. Ini sudah waktunya kita katakan cukup terhadap inkompetensi pejabat saat ini.

Agar menjadi rakyat Indonesia yang cerdas dan beradab, sebaiknya kita tidak hanya menghafalkan Pancasila, tetapi juga mengimplementasikannya dalam berbangsa dan bernegara, dalam berkehidupan, dan dalam bertindak—dengan menjadikan Pancasila sebagai kompas moral.

 

Penulis:

  1. Nuhlan Fadhil Rabbani
  2. Kayla Putri Ferlani
  3. Mada Alfayyadh Paramadhany
  4. ⁠Nasywa Raihana Alisha

Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Brawijaya

 

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses