Publik baru-baru ini dihebohkan dengan kasus dugaan korupsi terbesar yang pernah terjadi di Indonesia. 271 triliun bukan merupakan kerugian yang berskala kecil. Kasus korupsi yang menjerat suami dari aktris Sandra Dewi, Harvey Moeis, dan crazy rich Helena Lim.
Namun, yang perlu di highlight di sini adalah bagaimana netizen Indonesia ini bertindak. Bayangkan saja saat Anda membuka akun media sosial Anda dan mendapati banyak notifikasi yang berisi hujatan, cacian dan hal-hal negatif lainnya padahal Anda tidak pernah terlibat dalam suatu kasus, hal itulah yang dialami oleh Dewi Sandra sekarang.
Netizen Indonesia membabi buta dalam memberikan komentar pedas mereka tanpa tahu siapa yang mereka komentari. Seperti dari akun @story2024_ “Jakat jakat, nohhh suami loo korupsi” dan dari @ellafransiska_ “Gimana tuh rasanya 271T😍”.
Sampai-sampai banyak akun yang memparodikan situasi ini contohnya channel YouTube “Caveine” dalam video pendek berjudul “Membaca itu Ilegal di Indonesia!” menuturkan bahwa dari kasus ini dapat dilihat bahwa tingkat literasi netizen Indonesia rendah.
Beberapa waktu lalu juga netizen Indonesia, saat salah satu influencer di media sosial dengan akun @koiyocabe memposting chat dirinya dengan seseorang tentang dirinya yang mengaku guy, netizen Indonesia langsung menghujat dirinya.
Padahal guy sendiri bermakna pria atau laki-laki dan memang benar dia adalah seorang laki laki. Setelah dijelaskan satu persatu tentang arti dari kata guy tersebut para netizen itu justru terdiam dan memilih pergi.
Seperti yang kita ketahui, salah satu goals dari pemerintah adalah Indonesia Emas 2045 yang pada dasarnya adalah menjadikan Indonesia menjadi negara maju, modern dan dapat bersaing dengan negara adidaya lainnya.
Namun, jika dilihat kembali mampukah impian tersebut dicapai dengan kualitas penduduk kita yang masih jauh dibawah harapan? Dari kasus diatas saja kita bisa tahu bahwa tingkat literasi kita sebagai bangsa sangat rendah. Apa yang menyebabkan penduduk kita banyak yang kurang literasi dan anti science?
Literasi: Sistem Pendidikan Kurang atau Kebiasaan Malas Masyarakat?
Tercatat di UNESCO, Indonesia berada pada peringkat 60 dari 61 negara dengan tingkat literasi rendah dengan persentase 0,001 atau dari 1000 orang Indonesia hanya 1 orang yang rajin membaca.
Selain dari UNESCO, data dari studi PISA atau Programme for International Student Assessment juga menunjukan bahwa pada tahun 2022 Indonesia memiliki skor literasi terendah dalam kurun waktu 2000-2022 yakni mendapat skor 359 lebih rendah dari tahun 2000 yang mendapat skor 371. Ini menunjukan bahwa tingkat literasi masyarakat kita sangat jauh dibanding rata rata dunia.
Pada survei lain seperti PIAAC yang bertujuan untuk dapat mengetahui kompetensi dan kemampuan orang dewasa dengan rentang usia 16-65 tahun di bidang literasi, numerasi dan problem solving yang diwakili oleh masyarakat Kota Jakarta juga mendapat skor yang rendah.
Hasil dari survei tersebut menunjukan bahwa 70% masyarakat Indonesia yang ikut survei ini hanya dapat memahami informasi dari tulisan pendek dan sulit menerima informasi dari tulisan panjang dan kompleks.
Lalu apa penyebab dari rendahnya tingkat literasi negara kita? Ada beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu kebijakan pemerintah terhadap sistem pendidikan, sikap pemerintah dan juga kebiasaan masyarakat Indonesia.
Kebijakan seperti alokasi dana riset dan fasilitas pendidikan serta kebijakan seperti wajib sekolah 12 tahun terlaksana dengan baik akan berdampak pada peningkatan kompetensi masyarakat.
Baca juga: Literasi di Indonesia Menurun, Bagaimana Peran Mahasiswa dalam Peningkatannya?
Sikap anti-science yang ditunjukan oleh pemerintah juga berpengaruh pada sikap masyarakat karena pemerintah dianggap sebagai contoh dan dianggap lebih berwawasan oleh masyarakat sebagai contoh saat pandemi Covid-19 lalu, Menteri Kesehatan Terawan memberikan statement bahwa virus Covid-19 tidak masuk ke Indonesia karena masyarakat rajin berdoa.
Tentu statement ini kontroversial di mana pada saat itu ahli kesehatan di seluruh dunia telah mewanti wanti agar waspada terhadap wabah ini.
Memang pada hakikatnya kebenaran Agama merupakan salah satu sumber kebenaran, namun Menkes saat itu memberikan statement yang kurang pas mengingat betapa cepatnya wabah tersebut menyebar.
Dalam Agama memang diajarkan untuk berlindung melalui ibadah namun tidak serta merta hanya dengan ibadah tetapi juga dengan usaha.
Jadi, statement yang dikeluarkan oleh beliau kurang logis karena unsur dari logika ada 3 yaitu pengertian yang di mana proses untuk menangkap kenyataan yang ada, keputusan yaitu proses menghubungkan pengertian satu dengan lainnya dan penyimpulan dari pengertian yang telah dihubungkan sedemikian rupa.
Lalu faktor kebiasaan masyarakat Indonesia yang lebih percaya dengan hal hal yang berbau konspirasi daripada sains. Kondisi ini di perkeruh dengan adanya buzzer-buzzer yang membalut hoax dengan konspirasi. Mereka menggunakan cocoklogi dengan cara menyambungkan beberapa asumsi tanpa ada bukti yang kuat.
Seperti contoh vaksin Covid-19, banyak penolakan dari warga karena beredarnya kabar bahwa vaksin menyebabkan kematian pada penggunanya tanpa adanya bukti yang jelas. Padahal pemerintah sudah memberikan penjelasan tentang fungsi vaksin untuk tubuh.
Pada dasarnya masyarakat Indonesia lebih mempercayai kebenaran non ilmiah yang biasanya didasari oleh agama dan adat istiadat. Namun perlu diketahui juga bahwa kita kebenaran yang didasari oleh agama dan adat istiadat ini bukan satu satunya kebenaran yang dapat digunakan dalam kehidupan.
Dalam menelaah kebenaran non ilmiah bukan hanya unsur empirisme yang digunakan melainkan unsur rasionalisme juga. Masyarakat seharusnya mampu menempatkan kebenaran itu dalam kehidupan sehari dan berjalan dengan perkembangan sains dan teknologi.
Ini juga harus dibarengi dengan peran pemerintah yang mendukung pentingnya perkembangan ilmu pengetahuan baik dari segi kebijakan, alokasi dana dan promosi yang membangun kesadaran masyarakat selain itu pembenahan pola pikir dari jajaran pemerintah juga berpengaruh besar karena masyarakat menjadikan pemerintah sebagai contoh.
Pentingnya Literasi bagi Bangsa Indonesia
Dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045, kita sebagai generasi muda perlu mendukung program pemerintah ini salah satunya dengan meningkatkan literasi di masyarakat.
Mungkin untuk beberapa kalangan masyarakat literasi bukan sesuatu yang penting dalam hidup mereka bahkan menurut mereka tidak bisa membaca merupakan hal yang seakan dianggap normal padahal menormalisasi budaya seperti itu dapat mempersulit untuk mencapai tujuan dari pemerintah tersebut.
Terlepas dari konteks Indonesia Emas 2045, literasi merupakan hal yang penting bagi suatu bangsa. Dengan literasi, wawasan kita menjadi luas dan mendapat berbagai perspektif baru. Selain itu, dengan literasi kita menjembatani masyarakat dalam berpikir kritis.
Jadi, ketika mendapati suatu masalah, masyarakat tidak serta merta hanya mengandalkan bukti empirisme saja namun dalam penyelesaiannya juga menggunakan aspek rasionalitas. Dengan demikian, masyarakat dapat meningkatkan kualitas negara dan bukan hanya kuantitasnya saja.
Penulis: Kamanungga Jakti
Mahasiswa Psikologi, Universitas Brawijaya
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News