Media Erotis: Karya Seni yang Menyebabkan Parafilia

Media Erotis
Ilustrasi Gender (Sumber: Media Sosial dari freepik.com)

Erotisisme berasal dari nama salah satu dewa mitologi Yunani yaitu Eros. Perasaan ini dipahami sebagai dorongan seksual manusia (libido). Para filsuf dan teolog mebedakan cinta kasih dalam tiga bagian yaitu eros, filia, dan agape, dari ketiga cinta tersebut eroslah yang dianggap paling egosentrik atau terpusat pada diri sendiri.

Eros sendiri merupakan suatu bentuk estetika yang menjadikan dorongan seksual sebagai pusatnya, dorongan yang dimaksud adalah perasaan yang timbul ketika seseorang siap beraktivitas seksual.

Ekspresi yang ditampilkan dalam erotisisme ini disebut erotika (sesuatu yang erotik), bisa berupa mimic wajah, gerak tubuh, sikap tubuh, suara, kalimat, benda-benda, aroma, sentuhan, dan lain sebagainya.

Bacaan Lainnya
DONASI

Pada pengaplikasianya erotika bertujuan untuk dua hal yaitu, apresiasi terhadap keindahan dan kemampuan mengendalikan dorongan seksual secara sehat. Namun yang menjadi permasalah adalah vulgarisasi dan industrialisasi dalam mengembangkan erotika ini sehingga besar kemungkinan akan menjadi pornografi.

Pokok pembahasan artikel ini adalah pada bagian vulgarisasi dana industrialisasi erotika tersebut, yaitu dengan media-media yang sudah tersebar luas di masyarakat contohnya media cetak (majalah, buku, dll), media sosial (IG, FB, Tiktok, Dll), dan media masa lainnya seperti televisi dan DVD.

Media erotis sendiri adalah panggung yang digunakan untuk menampilkan perasaan erotika tersebut, dijaman yang serba digital seperti saat ini sangat mudah untuk mengakses hal-hal tersebut tanpa ada sensor atau pengawasan yang berkelanjutan sehingga hal ini bisa menjadi penyebab penuimpangan seksual pada individu yang disebut Parafilia.

Paraphilia adalah penyimpangan perilaku seksual yang ditandai dengan dorongan seksual dan mendalam berupa ketertarikan seksual kepada yang tidak biasanya.

Istilah parafilia berasal dari bahasa yunani “para” (pada sisi lain) dan “philos” (mencintai) Parafilia  dapat  diartikan sebagai aktivitas seksual yang tidak pada umumnya atau menyimpang. “Penyimpangan seksual” merujuk pada perilaku seksual yang dianggap menyalahi aturan yang sudah ditetapkan (agama, hukum dan kebiasaan).

Menurut Jhon Money (1986) terdapat enam kategori dalam paraphilia yaitu Pengorbanan atau Penebusan dosa, Perampokan atau Predator, Pedagang atau Koruptor, Fetisisme atau Jimat, Stigmatis atau Memenuhi syarat, dan Bersifat ajakan.

Berdasarkan American Psychiatric Association (2013) gejala dari parafilia biasanya ditunjukkan dengan adanya ketertarikan seksual yang terjadi secara intens dan terus menerus namun ketertarikan ini diluar dari rangsangan atau perilaku seksual yang normal.

Parafilia juga dibagi kedalam dua kelompok, kelompok pertama digolongkan berdasarkan aktivitas prefensi menyimpang, yang terbagi kedalam courtship disorder (penyimpangan dalam suatu hubungan) yaitu voyeurism, eksibisionisme, dan frotteurisme. Lalu algolanic disorder (kepuasan didapat dengan melibatkan rasa sakit dan rasa menderita) yang melputi masokisme dan sadism.

Kelompok yang kedua digolongkan berdasarkan preferensi target yang menyimpang, kelompok ini terbagi menjadi pedofilia, fetishistisme, dan transvetisme.

Dari kedua golongan tersebut dalam konteks melihat media erotika maka individu akan cenderung jatuh pada golongan pertama namun tidak sedikit juga yang jadi pada golongan kedua.

Hal ini disebakan oleh rangsangan yang dinikmati melalui indera penglihatan kemudian disalurkan kedalam otak dan dicerna serta diimajinasikan dengan bermacam-macam penafsiran. Bahaya yang timbul dari media erotis adalah imajinasi dari konsumen yang melihatnya.

Dalam pandangan psikologi parafilia ini di lihat dari dua sudut pandang yang berbeda, pertama sudut pandang psikodinamik yang melihat bahwa hal ini merupakan perlindungan dari trauma yang dipendam serta wujud dari fiksasi pada tahap pregenital dalam perkembangan psikoseksual.

Kemudian, dari sudut pandang cognitive dan behavioral dapat dilihat bahwa parafilia bisa terjadi akibat dari pengaruh masa lalu yang mengalami kekerasan fisik dan seksual pada individu, sehingga meninggalkan trauma dan dipendam.

Namun kembali kepada garis besar awal terkait media eksotis yang merupakan karya seni malah disalah artikan dan dianggap sebagai media pornografi oleh sebagian masyarakat, tentu perbedaan generasi dan pola pikir sangat berpengaruh terhadap besar dan kecilnya sumbangan media ini dalam mengarahkan individu kepada parafilia.

Baca juga: Waspada Dampak Buruk terhadap Otak akibat Terlalu Sering Menonton Film Pornografi

Dalam konteks psikologi media hal seperti ini dapat dicegah dan diatasi. Salah satunya dengan menggunakan figur atau peranan dari hubungan sosial individu yaitu :

1. Peranan Orang tua

Yaitu pemberian pengetahuan mengenaik seks dan bahanya agar individu mampu untuk menjaga dan mengontrol dorongan seksualnya.

Menurut wahyuni (2018) orang tua harusmengambil sikap tegas dan berperan aktif terhadap pendidikan seks pada anak, karena orang tua merupakan orang terdekat bagi anak yang memberi rasa aman dan nyaman terhadap komunikasi dan informasi tentang pendidikan seks.

2. Peranan Pendidikan

Peranan tenaga didik (guru dan dosen) sama berpengaruhnya seperti orang tua karena bagi individu mereka merupakan orang tua kedua setelah orang tua kandung, yang dimana sebagain besar waktu individu tersebut dihabiskan di lingkungan sekolah.

Sehingga hendaknya para guru dan dosen memberikan sosialisasi terkait pendidikan seksual dan bahaya seks bebas. Pendidikan seks dalam satuan pendidikan dangatlah penting guna menjaa dan mensejahterahkan seksual bagi anak (Goldfarb & Lieberman, 2011).

3. Peranan Masyarakat

Kemudian peranan masyarakat di lingkungan sosial anak juga sangat penting sebagai langkah pencegahan terjadinya penyimpangan seksual, dengan memberikan sosialisasi, pembelajaran, dan pelajaran terkait seks. Dikarenakan individu akan lebih banyak mencontoh perilaku sosial yang terjadi disekitarnya.

Rothwell Et al (2021) mengatakan bahwa perlunya konsilidasi pendidikan seks yang sehat secara terbuka bagi setiap individu agar para pelaku pelanggaran seksual memperoleh rehabilitasi guna merubah pola pikir tentang seksualitas.

4. Peranan Pemerintah

Kemudian yang terakhir adalah peran pemerintahan dalam menangani kasus-kasus pelanggaran dan penyimpangan seksual sangat diperlukan, karena kejahatan seksualitas merupakan musuh bagi setiap kalangan masyarakat diharapkan aparatur Negara mampu untuk menangani dan mengurangi tingkat kekerasan dan penyimpangan seksual yang terjadi di masyarakat.

Kesimpulan dari permasalahan ini adalah bahwa kita tidak bisa menolak perkembangan jaman yang terus maju kearah lebih canggih, dengan teknologi dan informasi yang sangat mudah didapatkan dan sangat mudah di palsukan.

Seperti pada contoh media erotis yang marak muncul pada foto dan video di sosial media mapun media cetak, tentu hanya diri kitalah yang mampu menjaga dan mengerti bahwa mana hal yang layak untuk di lihat dan mana hal yang tidak layak untuk dilihat.

Terlebih bekalilah diri sendiri dengan ilmu pengetahuan yang mempuni terkait perkembangan teknologi yang semakin maju ini, karena teknologi tanpa kritisisasi adalah anarki. Peranan berbagai kalangan sosial sangat penting untuk menjaga selutuh generasi yang akan datang agar tidak menjadi korban dari bahayanya perkembangan teknologi.

Terakhir penulis mengucapkan kepada seluruh pembaca bahwa untuk selalu berhati-hati terhadap informasi dan media yang dinikmati lakukanlah riset terlebih dahulu sebelum anda melihat dan mempercayai apa yang anda lihat. Sekian terimakasih.

 

Penulis: Medy Afrione Harahap
Mahasiswa Psikologi, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Referensi

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition. In Encyclopedia of Applied Psychology, Three-Volume Set. https://doi.org/10.1016/B0-12-657410-3/00457-8

Goldfarb, E. S., & Lieberman, L. D. 2021. Three Decades of Research: The Case for Comprehensive Sex education. Journal of Adolescent Health, 68(1).

Money, J. (1986). Lovemaps: Clinical concepts of sexual/erotic health and pathology, paraphilia, and gender transposition in childhood, adolescence, and maturity. Irvington Publishers.

Rothwell, M., Fido, D., & Heym, N. 2021. Perception Around Adult and Child Sex Offenders and Their Rehabilitation as a Function of Education in Forensic Psychology Independent of Tradisionalism and Perpetrator Sex. Forensic Science International: Mind and Law, 2(8).

Wahyuni, D. 2018. Peran Oang Tua Dalam Pendidikan Seks Bagi Anak Untuk Mengantisipasi LGBT. Quantum: Jurnal kesejahterahan sosial, 14(1).

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI