Negara-negara di dunia telah dihadapkan dengan suatu tata nilai kehidupan di era globalisasi. Era ini mampu merubah alur kehidupan antarmanusia di belahan bumi, tanpa sekat, jarak, ruang, dan waktu. Semua hal ihwal yang ada di penjuru bumi dapat diketahui maupun diakses oleh siapapun tanpa terkecuali. Realitas seperti ini disadari atau tidak akan berimplikasi pada tata nilai, moral, serta akhlak manusia. Implikasi dari adanya globalisasi tidak bisa kita hindari, karena hal ini merupakan keniscayaan dalam kehidupan.
Indonesia merupakan bangsa yang unik dan memiliki keberagaman sangat tinggi. Di dalamnya terdirinya dari berbagai ras, suku, agama, dan budaya yang hidup dalam satu naungan NKRI. Selain itu Indonesia merupakan bangsa besar yang memiliki kurang lebih 13.400 ribu pulau terbentang dari Sabang sampai Merauke. Sebagai negara yang besar, seharusnya Indonesia menyaring berbagai dampak negatif yang ditimbulkan oleh globalisasi. Salah satu dampak yang bisa kita amati adalah, memudarnya nilai kebersamaan, persaudaraan, dan menipisnya aspek tata nilai, moral, serta akhlak. Semua dampak tersebut dapat menimbulkan ketidakharmonisan dan disintegrasi bangsa.
Menurut Minto, Integrasi bangsa merupakan komunikasi dan interkasi suku bangsa yang mendiami bumi nusantara yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda. Aspirasi ini terwujud dan diakui oleh bangsa-bangsa lain di dunia melalui proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agutus 1945. (Minto Rahayu: 2007). Integrasi bangsa merupakan cita-cita luhur bangsa Indonesia hasil konsensus nasional dengan menyatukan keberagaman suku, ras, budaya serta agama, yang sesuai dengan mottonya “Bhineka Tunggal Ika”. Pluralitas yang dimiliki Indonesia merupakan sebuah berkah, karena keberagaman adalah sunatullah yang niscaya diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Keberagaman inilah yang banyak menyimpan potensi kebaikan dan harus dikombinasi menjadi aspek penting kemajuan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada realitasnya, tidak jarang timbul konflik yang dilatarbelakangi oleh pluralitas. Contohnya: konflik berlatar SARA yang mengoyak Sampang, Madura. Dua korban tewas, enam luka serius, dan belasan puing rumah jadi saksi atas tragedi kemanusiaan yang mengatasnamakan agama (baca: kompas.com 07/09/2012). Okezone pada 25 Februari 2016 dalam portal beritanya menerbitkan 5 konflik SARA paling mengerikan di Indonesia: 1. Sentimen Etnis Cina yang berujung penjarahan di akhir 1988; 2. Konflik Agama di Ambon 1999; 3. Tragedi Sampit: suku Dayak vs Madura; 4. Pemerintah vs kelompok separatis yang disinyalir ingin memerdekaan diri dari Republik Indonesia. GAM (Gerakan Aceh Merdeka), Republik Maluku Selatan (RMS), Operasi Papua Merdeka (OPM); 5. Penyerangan Syiah di Sampang Jawa Timur pada tahun 2012.
Melihat kondisi seperti di atas sudah barang tentu penguatan integrasi nasional menjadi kewajiban bersama. Integrasi nasional yang kuat tidak serta merta adanya integrasi sosial. Akan tetapi perlu adanya pembangunan yang meliputi pembinaan bangsa, pembinaan negara dan pembangunan ekonomi. Pembangunan sosial merupakan hal sangat mendasar yang berkaitan dengan kepercayaan kaum elit dengan kaum bawah. Penguatan secara komitmen harus dilakukan secara nyata. Mengakhiri dikotomi-dikotomi yang ada di masyarakat sangat diperlukan dalam hal ini misalnya, keturunan Jawa dan luar Jawa, militer sengan sipil, kaya dan miskin.
Secara struktural pemerintah harus mengupayakan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Pemerintah harus mendorong terciptanya kehidupan harmonis, adil pada seluruh masyarakat dalam hal ekonomi, sosial, politik, serta budaya.Secara kultural penanaman nilai-nilai nasionalisme tingkat dini, kesadaran menghargai serta menghormati satu sama lainnya. Guna meminimalisir ketegangan-ketegangan kehidupan bersama. Hal yang lebih penting dari ini adalah adanya apresiasi pemerintah untuk organisasi ataupun aktivis sosial yang turut membangun penguatan integrasi.
Media Massa Sebagai Pengawal NKRI
Media massa memiliki arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Media massa tak hanya menjadi pengawal demokrasi, tapi juga menjaga keutuhan negeri. Media massa mempunyai peranan penting terhadap persatuan dan kesatuan negara Indonesia. Bila media tidak bisa berperan menjaga persatuan dan kesatuan Indonesia, maka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan hancur. Hal ini senada dengan pernyataan Menko Luhut yang dilansir oleh Berita Satu dalam pelaksanaan Sesi II Konvensi Nasional Media Massa dalam peringatan Hari Pers Nasional ke-69 yang digelar di Aula Baileo Siwalima, Ambon, Maluku, Rabu, 8 Februari 2017. Ia mengatakan media selalu menjadi bagian dari pemerintah untuk bertugas menjaga masyarakat agar tetap selalu bersatu padu.
Dalam era kebebasan pers seperti sekarang ini, media bisa berimplikasi positif maupun negatif. Kesadaran untuk menomorsatukan kepentingan bangsa dan negara dari para pelaku media dalam setiap tugas jurnalistiknya akan sangat berpengaruh terhadap perjalanan harmonisasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks inilah ada rambu-rambu yang perlu menjadi pegangan bagi pelaku media massa, mengutip dari beberapa artikel bahwa antara lain:
Pertama, bahwa dalam menciptakan sebuah integrasi sosial yang utuh yang tercermin dari pola relasi sosial yang harmonis namun dinamis, peran media tidak bisa di hindari. Pentingnya kesadaran dari para pelaku media massa untuk tidak mengorbankan kepentingan bangsa dan negara demi kepentingan yang lain, dengan kata lain pemberitaan yang disampaikan tetap dalam kerangka menjaga keutuhan bangsa dan negara sebagaimana asas dari penyiaran itu sendiri seperti yang tercanum dalam UU Penyiaran.
Kedua, komersialisasi media sering menjadi hantu dalam setiap tugas jurnalistiknya. Merujuk pernyataan Joseph Pulitzer, ketika komersialisme telah menjadi tujuan utama dalam industri media, maka saat itu media kehilangan kekuatan moral. Bila komersialisasi menjadi tujuan utama pelaku media, maka obyektivitas media dalam setiap peliputan dan pemberitaan menjadi tidak terjaga. Kualitas berita akan selalu mengiringi kepentingan bisnisnya. Negara dan bangsa akan dikorbankan untuk meraih sensasi bisnis yang lebih besar.
Ketiga, dibutuhkan sinergisitas yang konstruktif antara media massa, dewan pers, komisi penyiaran, pemerintah dan juga masyarakat untuk terus mengkampanyekan setiap pemberitaan dan ekspos media yang edukatif, objektif, damai dan berorientasi pada peningkatan penguatan ketahanan sosial dalam rangka memperkuat jati diri dan identitas negara Indonesia.
Keempat, visi dan misi pers dalam turut memelihara idealisme dan perjuangan bangsa serta mencerdaskan bangsa harus senantiasa menjadi pedoman dalam keja jurnalistiknya. Pers harus mampu menjaga integrasi bangsa dan keutuhan NKRI dengan memelihara wawasan kebangsaan, menghargai pluralitas, menyemarakkan demokrasi, dan mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Apabila semua pelaku jurnalistik mampu menjalankan tugasnya secara profesional, dan mengedepankan pertimbangan etik moral untuk kepentingan bangsa dan negara, hal tersebut akan menjadi sumbangsih terbesar dunia pers bagi harmonisasi kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
ZARIS NUR IMAMI
Himpunan Mahasiswa Islam IAIN Tulungagung