“Kisah tentang seekor monyet yang ingin menikah dengan kaisar dangdut,” merupakan blurb sederhana dari novel O karya Eka Kurniawan yang kontradiktif dengan isi dari novel tersebut. Di mana cerita dari keseluruhan novel O ialah sangat kompleks dan rumit.
Untuk dapat memahami keseluruhan cerita yang terdiri dari 470 halaman ini, sebaiknya memang dilakukan dengan tidak membagi fokus dengan kegiatan membaca buku atau cerita yang lain.
Mengisahkan cerita O, nama tokoh utama yang merupakan seekor monyet yang ingin mempercayai keyakinan kekasihnya (Entang Kosasih) bahwa monyet bisa berubah menjadi manusia. Kemudian dari sana, cerita menjadi sangat berkembang.
Ada 47 tokoh dari novel O yang dikisahkan dan keseluruhannya saling beririsan. Novel O juga memiliki alur yang maju-mundur, cerita yang melompat-lompat antara satu kisah ke kisah yang lainnya. Namun kepiawaian Eka dalam manarasikan setiap tokoh dan keadaan membuat novel O sangat layak untuk dinikmati dengan rasa sabar.
Novel O karya Eka Kurniawan memiliki kompleksitas yang tinggi dalam hal struktur naratif, karakterisasi, dan tema. Ceritanya melibatkan berbagai lapisan masyarakat Indonesia dan menggabungkan eleman-eleman realisme magis serta sejarah.
Ini memungkinkan pembaca untuk merenungkan banyak aspek kehidupan dan budaya Indonesia melalui berbagai sudut pandang yang kompleks. Eka Kurniawan sebagaimana kita kenal merupakan sastrawan sekelas dunia yang mahir menarasikan cerita.
Novel O yang ditulis Eka selama kurun waktu delapan tahun ini seperti membuktikan betapa jeniusnya dia. Dengan banyak tokoh dan campuran cerita antara kehidupan binatang dan manusia, disusun dengan cerita yang maju mundur tentu membuat cerita ini terasa sangat berat ketika dibaca. Seolah-olah tidak menemukan ujungnya.
Namun sebenarnya, kompleksitas cerita dari novel O seperti miniatur dari kompleksitasnya kehidupan di dunia. Dengan gaya berceritanya yang nyeleneh, Eka Kurniawan seperti sedang mengungkap fakta-fakta dari kehidupan melalui setiap cerita yang dilalui oleh setiap tokohnya.
Novel O sebagai Miniatur Kompleksitas Karakteristik Manusia
Sebagai manusia, tentu kita tidak pernah dapat memahami cara berpikir para binatang. Berbeda dengan manusia yang dianugerahi akal dan hati, para binatang tidak mempunyai kesempurnaan semacam itu.
Novel O dimulai dengan menceritakan sepasang monyet bernama O dan Entang Kosasih, sebagai kekasihnya yang percaya bahwa monyet dapat berubah menjadi manusia. Mereka tinggal di hutan.
Pada suatu hari, segerombolan monyet melihat seorang anak kecil bernama Uyung yang hendak membuang air besar di rawa yang sialnya dekat dengan sarang telur Boboh, seekor ular sanca betina. Boboh mengira anak kecil itu hendak mencuri telurnya. Boboh menyerang dengan melilit sekujur tubuh Uyung.
Kegaduhan dari segerombolan monyet itu kemudian mengundang perhatian Sobar dan Joni Simbolon, dua orang polisi yang langsung mendatangi TKP. Bobah berhasil dilumpuhkan dengan revolver yang dibawa polisi-polisi itu tepat di kepalanya. Namun keributan tak sampai di situ.
Revolver Sobar tertinggal dan diketemukan oleh Entang Kokasih. Sebagai seekor monyet yang merambisi menjadi manusia, Entang Kosasih dengan cepat belajar menggunakan revolver itu selayaknya manusia. Ketika kedua polisi itu datang kembali untuk mengambil revolvernya, mereka justru terlibat duel dengan Entang Kosasih hingga ia berhasil membunuh Joni Simbolon dengan revolver curiannya itu.
Baca Juga: Pemberdayaan Perempuan melalui Novel Ancika: Pencerahan Feminis di Dunia Sastra
Pada pembukaan cerita novel O ini, Eka Kurniawan memberikan perbandingan antara manusia dan binatang. Seperti yang diuraikan di atas, manusia merupakan makhluk hidup yang diciptakan lebih sempurna daripada binatang.
Keduanya tidak mampu saling berkomunikasi sehingga terciptanya kesalahpahaman antara niat si anak kecil dengan ular sanca betina yang kemudian mendorong polisi untuk menyelamatkan anak kecil itu dengan membunuh ular yang sedang melilit tubuhnya.
Selepas membunuh ular, salah seorang polisi justru berhasil terbunuh juga oleh seekor monyet. Di sini dapat terlihat bagaimana bahayanya jika suatu alat digunakan oleh seekor binatang yang tidak mempunyai pemahaman tentang bagaimana cara dan fungsi suatu alat itu dapat digunakan.
Jika hal tersebut terjadi pada manusianya sendiri, maka patut dipertanyakan perbedaan manusia dengan binatang. Manusia dibekali akal dan hati. Artinya manusia mempunyai dua kali kesempatan untuk berpikir sebelum memutuskan melakukan suatu tindakan.
“Hidup hanya perkara siapa memakan siapa. Jika ia ingin hidup, jangan biarkan makhluk lain memakan dirinya. ” — hal. 120
Kutipan Eka dalam novel O yang dikatakan oleh tokoh Kirik, seekor anjing yang sebatang kara. Ungkapan satire tentang hidup membuat kita sebagai manusia yang berakal seharusnya mengarungi perenungan-perenungan yang mendalam.
Namun belakangan ini, beberapa kasus pembunuhan menjadi tranding topic di berbagai media. Hal yang disayangkan di era digital seperti sekarang di mana berita atau kejadian di berbagai daerah dapat dengan cepat tersebar dan menjadi konsumsi masyarakat tidak terkecuali para anak-anak yang belum cukup usia sebagai pengguna gawai.
Yang paling terbaru ada kasus suami yang memutilasi istrinya sendiri di Cimahi. Kasus tersebut cukup membuat ngeri bukan saja kepada orang dewasa, tetapi bisa menjadi lebih spesifik kepada para perempuan yang menjadi istri.
Sifat manusia dan binatang menjadi topik renyah yang dapat ditelaah lebih mendalam dari novel O karya Eka Kurniawan. Jika melihat banyak fenomena kasus kriminal yang terjadi, tentunya patut dipertanyakan sifat-sifat manusia yang berani berlaku keji itu sebagai sifat-sifat binatang. Atau bahkan binatang bisa jadi lebih manusia daripada manusianya sendiri?
Baca Juga: Review Novel Aku, Kamu, Samudera, dan Bintang-Bintang
Mengenali Pesan-Pesan Tersirat Mengenai Kehidupan
Di dalam surah ke 51 ayat 56 Allah berfirman: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” Perintah beribadah diturunkan untuk makhluk hidup khususnya umat muslim yang diulang beberapa kali di dalam Al-Qur’an yang salah satunya ada pada ayat tersebut.
Pada novel O, perintah untuk mendirikan salat yang merupakan salah satu bentuk ibadahnya umat muslim diserukan oleh seekor burung kakak tua bernama Siti.
“Dirikan shalat! Dirikan shalat!”
Setelah kehilangan kekasihnya, O melangsungkan hidup dengan Betalumur, seorang laki-laki pemabuk yang tampak patah hati. Bersama Betalumur, O menjadi pemain sirkus di pertunjukan topeng monyet. Di gedung kosong tempat mereka singgahlah, O dan Betalumur bertemu Siti.
Sebelum hinggap di gedung kosong itu, Siti mendapat pelajaran mengaji dari Syekh Asyhadie yang gemar mengajari anak-anak mengaji. Siti merasa terpukau dan bahkan dari kebiasaannya mendengarkan Syekh Asyhadie, Siti hapal ayat Al-Quran.
Seruan Siti di gedung kosong itu membuat Mak Kangkung dan Mat Angin, penghuni lain di rumah singgah menjadi taubat dan alim. Namun berkebalikan dengan mereka, Betalumur justru merasa terusik dan terganggu dengan seruan Siti itu.
Dari kisah Betalumur, Mak Kangkung dan Mat Angin, dapat dipahami bahwa manusia begitu beragam. Eka Kurniawan seperti memberikan sindiran halus kepada Manusia. Betapa pun sebaik-baiknya manusia diciptakan, mereka tetap bukan apa-apa jika menjadi manusia beragama yang tidak mengenal Tuhan-Nya.
Kisah Cinta Tragis pada Novel “O”
Cinta merupakan salah satu kebutuhan manusia. Pada teori hierarki kebutuhan Mashlow, Cinta ada pada kebutuhan ketiga setelah kebutuhan dasar untuk beratahan hidup seperti makan minum dan kebutuhan atas rasa aman yang meliputi fisik maupun mental.
Dari perjalanan patah hatinya O yang mencari kekasihnya yang dianggap sudah menjadi manusia, dapat ditemukan tokoh-tokoh lain. Seperti patah hatinya pemuda pawang topeng, pemuda lain yang patah hati setelah diselingkuhi lalu terobsesi dengan anak anjing. Ada polisi yang terlibat cinta terlarang maupun afeksi seorang perempuan terhadap anjing dan ingin memeliharanya namun dilarang oleh suami.
Beberapa kasus di dunia nyata, cinta bisa membuat orang menjadi gila. Kasus pembunuhan istri oleh suaminya sendiri yang terjadi pada beberapa hari yang lalu di Minahasa Selatan diduga dipicu oleh perasaan cemburu.
Baca Juga: Resensi Novel Galaksi
“Cinta tak ada hubungannya dengan kabahagiaan, meskipun cinta bisa memberimu hal itu.” (hal. 251)
Namun demikian, cinta tetap saja bisa mengubah seseorang. Entah menjadi baik ataupun menjadi tidak baik. Menurut Mashlow, jika kebutuhan seseorang di tingkat tertentu tidak dapat terpenuhi, maka seseorang itu tidak akan mampu memenuhi kebutuhan di tingkat selanjutnya. Pada akhirnya, manusianya lah yang harus mempunyai kendali bahkan untuk dirinya sendiri.
Penulis: Rosyidatul Munawaroh
Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Suryakancana Cianjur, Indonesia
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News