Pemerintah melalui Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menyatakan wacana akan menambah masa studi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dari yang sebelumnya tiga tahun menjadi empat tahun masa studi, dalam acara konferensi pers di Kantor Kemendikdasmen, Jakarta, yang dilaksanakan Senin, 24 Maret 2025.
Pemerintah ingin meningkatkan kualitas lulusan agar lebih siap menghadapi Dunia Usaha dan Dunia Industri (DU/DI).
Melalui perpanjangan durasi Praktik Kerja Industri (Prakerin), mereka dapat mengembangkan keterampilan sesuai bidang studi keahlian, memberikan lebih banyak kesempatan siswa untuk memperoleh pengalaman bekerja, mendapatkan sertifikasi internasional, hingga mengikuti lokakarya yang mendukung kompetensi pada bidang studinya.
Program ini telah diujicobakan di sejumlah SMK di Jakarta, yaitu SMK Negeri 4 Jakarta dan SMK Negeri 52 Jakarta.
Data BPS 2023 menunjukkan bahwa jumlah angka lulusan yang bekerja cenderung lebih banyak pada lulusan program SMK empat tahun yaitu sebesar 71%, dibandingkan dengan program lulusan SMK tiga tahun yang hanya di angka 61%.
Selanjutnya, dilihat dari kategori berwirausaha, keduanya memiliki angka yang hampir mirip yaitu 7% untuk program SMK tiga tahun dan 6% pada program SMK empat tahun.
Baca Juga:Â Pendidikan Berbasis Keterampilan sebagai Jawaban Tantangan Pendidikan Abad 21
Salah satu argumen di balik kebijakan program SMK empat tahun yaitu untuk memperpanjang masa Prakerin siswa untuk mencapai pengalaman kerja yang lebih matang dan mendalam.
Langkah ini diukur logistik karena semakin lama durasi magang maka semakin banyak keterampilan siswa yang bisa diasah.
Namun, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan mengenai kebijakan ini agar kegiatan prakerin bukan memperpanjang waktu, tetapi memberikan kualitas yang memuaskan.
Pertama, panjang Prakerin belum tentu menjamin pengalaman kerja.
Penelitian yang dikemukakan oleh Novitasari (2013), menunjukkan hubungan pengalaman Prakerin dengan kesiapan kerja tidak terlalu signifikan karena masih banyak faktor-faktor selama Prakerin, mulai dari bimbingan dari mentor Prakerin, kualitas lingkungan Prakerin dan kompetensi siswa dan jenis pekerjaan yang siswa lakukan selama Prakerin.
Kedua, belum semua industri di Indonesia siap menerima kerja sama untuk pembelajaran vokasi atau menerima anak untuk Prakerin.
Faktor terbatasnya DU/DI, khususnya di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), bahkan tidak relevan dengan kompetensi siswa.
Baca Juga:Â Kebiasaan Mahasiswa SKS (Sistem Kebut Semalam): Efektif atau Berisiko?
Memperpanjang durasi Prakerin justru dapat menambah beban pada siswa, tanpa membawa manfaat terhadap kesiapan kerja.
Ketiga, terdapat ketimpangan kerja sama perusahaan antara sekolah yang berada di kota besar dengan sekolah yang berada di daerah kecil.
Sekolah yang berada di kota besar, seperti Jakarta, Semarang, Bandung, mungkin bisa menjalin kerja sama dengan perusahaan besar atau internasional, sementara pada sekolah yang berada di daerah kecil hanya bisa mengakses usaha mikro atau menengah, yang keterkaitannya dengan keahlian siswa dinilai minim.
Potensi kedepannya bisa memperbesar kesenjangan mutu antar wilayah, meskipun mengikuti kebijakan yang sama.
Ke empat, penambahan durasi Prakerin artinya menambah biaya transportasi.
Tidak semua siswa berasal dari ekonomi yang mampu untuk membiayai Prakerin jangka panjang, terlebih jika tempat Prakerin jauh dari tempat tinggal mereka.
Menurut Novitasari (2013), menyatakan bahwa tidak semua pengalaman Prakerin berpengaruh signifikan karena masih beberapa faktor-faktor pendukung, seperti kualitas pembimbing Prakerin, relevansi tugas, lingkungan Prakerin.
Hal ini menjadi catatan penting jika Prakerin diperpanjang, maka harus sejalan dengan faktor faktor kualitas tersebut.
Baca Juga:Â Pendidikan yang Tidak Merata
Faktor yang tidak kalah penting yaitu motivasi siswa. Hasil penelitian dari Ahmad (2020) bahwa motivasi memiliki pengaruh pada kesiapan kerja, tetapi motivasi tidak berdiri sendiri, mulai dari faktor lingkungan belajar, sarana, dan prasarana.
Sayangnya, tantangan ini masih sangat besar, terutama pada sekolah yang berada di 3T (tertinggal, terdepan, terluar).
Dengan berbagai keterbatasan, mulai dari terbatasnya kerjasama antarmitra, sarana prasarana, dan kekurangan guru yang kompeten sesuai bidang yang diajarnya.
Data dari siswa menunjukkan bahwa hanya sebesar 33% guru SMK empat tahun yang dinilai kompeten, berbanding terbalik dengan program SMK tiga tahun yaitu sebesar 62% guru berkompeten.
Meskipun kebijakan uji coba penambahan masa studi SMK menjadi empat tahun telah menunjukan beberapa potensi positif seperti meningkatkan kesiapan bekerja siswa, tetapi efektivitasnya perlu dikaji ulang.
Salah satu pendekatan yang dilakukan adalah dengan melihat kebijakan sekolah vokasi dari beberapa negara maju, bagaimana struktur pendidikan serta keterlibatan DU/DI di sana?
Salah satu negara yang akan kita lakukan perbandingan yaitu Jerman, sebagai pendidikan terbaik nomor tiga di dunia.
Sistem pendidikan vokasi di Jerman dikenal dengan istilah dual system, yang mana menggabungkan pembelajaran di sekolah sebanyak 1-2 hari/minggunya dan praktek kerja 3-4 hari/minggunya.
Pelajar yang mengikuti program ini sejak usia 15 tahun sekitar 55,7% dengan tenaga magang sekitar 1,4 juta yang tersebar di 327 bidang profesi.
Hasilnya, 95% lulusan tersebut langsung terserap pada dunia kerja dengan gaji pertama sekitar €1.620 (Rp25,6 juta/bulan).
Baca Juga:Â Tertinggalnya Indonesia dalam Memberikan Pendidikan Berkualitas
Kurikulum berbasis kompetensi ini menyiapkan lulusan untuk langsung bekerja sesuai standar industri negara.
Negara-negara, seperti swiss dan denmark, telah mengadopsi sistem sekolah vokasi serupa karena terbukti efisien dalam mendukung ekonomi negara.
Dibandingkan dengan Indonesia yang hanya memberikan Prakerin selama 3 bulan, pendekatan ini jauh lebih struktural dan efektif dalam menyiapkan angkatan kerja berkualitas.
Solusi Konkret bagi Pemerintah terhadap Wacana Perpanjangan Studi SMK
Kemitraan antara SMK dan Dunia Usaha/Dunia Industri (DU/DI) bertujuan untuk menyelaraskan pendidikan dengan kebutuhan industri.
Selain menyediakan tempat Praktek Kerja Industri (Prakerin) bagi siswa, kemitraan ini juga mencakup program guru magang, perekrutan tenaga praktisi, pendanaan, dan penyusunan kurikulum bersama.
Hal ini diharapkan dapat menghasilkan lulusan SMK yang kompeten dan siap kerja.
Untuk memperkuat kemitraan ini, pemerintah perlu mengeluarkan regulasi dan insentif bagi industri, termasuk perusahaan di daerah.
Pemerintah pusat dan daerah bisa mendorong perusahaan besar membuka program magang di luar kota besar serta menyesuaikan kurikulum vokasi dengan kebutuhan industri lokal.
Langkah ini akan memberikan peluang yang lebih merata bagi siswa, khususnya di daerah 3T, untuk memperoleh pengalaman yang relevan dan meningkatkan daya saing di dunia kerja.
Pemerintah perlu mengalokasikan anggaran khusus untuk pembangunan dan pengadaan sarana serta prasarana pendukung pembelajaran kejuruan pada sekolah, khususnya bagi yang belum memiliki prasarana yang memadai, seperti laboratorium jurusan dan alat-alat praktik di SMK.
Kebijakan ini penting untuk memastikan seluruh siswa tanpa terkecuali untuk memiliki akses yang setara terhadap fasilitas pembelajaran vokasi.
Dengan tersedianya fasilitas praktik yang memadai, siswa akan lebih mudah memahami materi secara aplikatif dan mampu mengembangkan kompetensi sesuai bidang keahliannya.
Program Peningkatan Kompetensi Guru Produktif
Salah satu prinsip pendukung utama dalam pengembangan sistem pendidikan SMK yaitu peningkatan kompetensi guru produktif.
Guru wajib mempunyai kualifikasi yang meliputi kualifikasi akademik dan kompetensi pendidik, kualifikasi akademik dicapai melalui jalur pendidikan perguruan tinggi, yaitu diploma empat (D IV) atau program sarjana (S1).
Baca Juga:Â Pendidikan Vokasi Era Industri 4.0
Menurut PP 74 tahun 2008, menyaratkan bahwa pendidik di sekolah dasar dan menengah mempunyai kualifikasi minimal pendidikan diploma empat (D IV) atau program sarjana (S1) dan strategi pengembangan dan peningkatan kompetensi guru.
Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008, ini dilakukan melalui program pembinaan dan pengembangan keprofesian guru SMK yang meliputi pendidikan, pelatihan, pemagangan, publikasi, dan sebagainya.
IHT Merupakan Pelatihan yang Dilakukan secara Internal
Pada KKG/MGMP SMK, pelatihan melalui IHT dilaksanakan berdasarkan pemikiran bahwa untuk meningkatkan kompetensi atau karir guru tidak harus dilaksanakan secara eksternal.
Namun, bisa dilakukan oleh guru yang memiliki kompetensi lebih untuk memberikan pelatihan kepada guru yang belum memiliki kompetensi.
Kursus ini dilakukan agar dapat meningkatkan kompetensi guru dalam beberapa skills, seperti tindakan di kelas, cara menyusun karya ilmiah, merencanakan dan mengevaluasi pembelajaran, dan lain sebagainya.
Pembinaan Internal Dilakukan oleh Kepala Sekolah ataupun Guru
Guru yang berwenang untuk membina kegiatan pembinaan ini dilakukan melalui kegiatan rapat dinas, forum grup diskusi sesama guru, perputaran tugas mengajar, dan sejenisnya yang mengikutsertakan guru dalam kegiatan seminar.
Baca Juga:Â Guru Profesional Abad XXI sebagai Pilar Transformasi Pendidikan
Program Pemagangan Industri Merupakan Proses Pelatihan yang Dilakukan di Institusi/Industri yang Relevan
Pemagangan industri ini diutamakan untuk guru kejuruan selama periode tertentu, contohnya magang di industri dilakukan pada masa cuti guru tersebut.
Pegangan industri dipilih sebagai pertimbangan di dunia industri bagi guru-guru SMK yang memerlukan keahlian khusus pada saat mengajar.
Kursus Singkat yang Dilakukan di LPTK atau Lembaga Pendidikan Lainnya
Kursus ini dilakukan agar guru memiliki beberapa skills, seperti melaksanakan penelitian di kelas, merencanakan dan mengevaluasi proses pembelajaran, dan lain sebagainya.
Penulis: Rendra Prasetyo
Mahasiswa Prodi Manajemen Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta
Daftar Pustaka
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. (2010). Standarisasi kompetensi guru. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional.
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. (2017). Konseptual model pengembangan kompetensi guru produktif SMK berbasis industri. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Ikhsanuddin, M., & Amrulloh, A. (2019). Etika guru dan murid perspektif KH. Hasyim Asy’ari dan Undang-Undang Guru dan Dosen. Jurnal Pendidikan Islam, 3(2), 331–355.
Irwanto, I. (2019, Mei). Kompetensi guru vokasional SMK di era revolusi industri 4.0. Dalam Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP, 2(1), 182–204.
Novitasari, R. (2013). Hubungan pengalaman praktik kerja industri (Prakerin) dengan kesiapan kerja siswa di SMK Negeri 1 Godean. Universitas Negeri Yogyakarta. (Skripsi tidak dipublikasikan)
Ahmad, M. (2020). Pengaruh motivasi belajar terhadap kesiapan kerja siswa SMK. Jurnal Pendidikan Vokasi, 10(1), 55–64.
Kompas.id. (2017, 6 November). Belajar dari sekolah vokasi di Jerman. Kompas.id. https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2017/11/06/belajar-dari-sekolah-vokasi-di-jerman
Soenarto, S., Amin, M. M., & Kumaidi, K. (2017). Evaluasi implementasi kebijakan Sekolah Menengah Kejuruan program 4 tahun dalam meningkatkan employability lulusan. Jurnal Pendidikan Vokasi, 7(3), 245–256. https://doi.org/10.21831/jpv.v7i3.14493
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News