Mencari Jalan Keluar Mengatasi Self Harm dan Membangun Kesehatan Mental

Mental
Ilustrasi Seseorang yang Sedang Depresi.

Di zaman sekarang, remaja di Indonesia perlu mencari solusi yang tepat untuk mengatasi masalah kesehatan mental, salah satunya adalah kecenderungan untuk melakukan self-harm sebagai cara melampiaskan perasaan yang sulit dihadapi.

Meskipun self-harm mungkin dianggap sebagai jalan keluar sementara, tindakan tersebut justru dapat memperburuk kondisi emosional dan mental dalam jangka panjang. Perilaku self-harm dapat merusak diri sendiri dan menambah beban psikologis yang lebih berat.

Oleh karena itu, sangat penting bagi remaja zaman ini untuk belajar mengatasi masalah mental dengan cara yang lebih positif dan sehat, seperti berbicara dengan orang yang dipercaya, mencari bantuan profesional, atau melakukan aktivitas yang dapat membantu menenangkan pikiran dan meningkatkan kesehatan mental, seperti berolahraga, menulis, atau berkegiatan sosial yang mendukung.

Dengan begitu, remaja dapat mengelola emosinya dengan lebih baik dan menjaga kesejahteraan mental mereka dalam jangka panjang.

Bacaan Lainnya

Perilaku self-harm, atau yang dikenal dengan perilaku melukai diri sendiri, merujuk pada tindakan menyakiti tubuh secara sengaja sebagai cara untuk melampiaskan perasaan yang tidak bisa diungkapkan, seperti kesedihan, kecemasan berlebihan, atau rasa putus asa.

Banyak remaja yang melakukan self-harm karena merasa kesulitan dalam mengelola emosi mereka, dan melihatnya sebagai pelampiasan sementara untuk meredakan tekanan batin yang mereka rasakan.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Veague dan Collins (2009), angka kejadian self-harm pada remaja lebih tinggi dibandingkan dengan pada anak-anak atau orang dewasa, hal ini disebabkan oleh perubahan neurologis dan biologis yang terjadi pada masa remaja.

Perubahan-perubahan tersebut menciptakan kondisi yang penuh tantangan, di mana remaja seringkali harus beradaptasi dengan banyak hal baru dalam hidup mereka, termasuk peran sosial, tuntutan akademis, dan perubahan fisik.

Baca Juga: Trend Barcode (Self-Harm) pada Remaja: Orang Tua Harus Mengetahuinya

Namun, tidak semua remaja mampu beradaptasi dengan perubahan ini dengan baik, yang dapat menyebabkan mereka merasa tertekan, stres, atau bahkan putus asa.

Ketidakmampuan dalam beradaptasi ini sering kali membuat remaja merasa cemas dan terisolasi, sehingga mereka mencari cara-cara yang salah, seperti self-harm, untuk mencari ketenangan sementara dari rasa sakit emosional yang mereka rasakan, menurut Alfiando, Pinilih, Amin, et al. (2022).

Data terbaru di Indonesia, sekitar 20,21% remaja melakukan perilaku self-harm, dan dari jumlah tersebut, 93% di antaranya adalah remaja perempuan. Fakta ini mencerminkan tingginya tingkat stres dan tekanan emosional yang dihadapi oleh remaja, khususnya remaja perempuan.

Seperti yang dijelaskan oleh Dr. Yunius Sp.KJ, seorang dokter spesialis kesehatan jiwa, perilaku self-harm sering kali muncul akibat perasaan sedih, cemas, stres, dan tekanan emosional.

Remaja sering kali merasakan beban dari berbagai aspek kehidupan mereka, mulai dari masalah di lingkungan sosial, tekanan di sekolah, konflik dalam keluarga hingga masalah cinta.

Hal ini dapat menyebabkan perasaan tertekan dan kesulitan dalam mengelola emosi, sehingga self-harm menjadi salah satu cara mereka untuk meredakan rasa sakit emosional, meskipun hanya untuk sementara waktu.

Namun, dampak dari perilaku ini tidak hanya berupa luka fisik, tetapi juga dapat memperburuk kondisi kesehatan mental dan emosional, meningkatkan tekanan yang dirasakan, dan membuat mereka semakin sulit untuk menghadapi tantangan hidup yang ada.

Baca Juga: Coping with Self-Harm Urges: A Guide to Healing and Support

Remaja yang melakukan self-harm biasanya menunjukkan ciri ciri perubahan perilaku dan emosi yang signifikan. Mereka sering kali terlihat lebih tertutup, cemas, atau depresi, dan mungkin menghindari interaksi sosial atau kegiatan yang sebelumnya disukai.

Secara fisik, dapat terlihat tanda-tanda luka atau bekas luka pada tubuh mereka, terutama di area yang mudah disembunyikan seperti lengan, paha, atau pergelangan tangan. Perubahan suasana hati yang drastis, perasaan putus asa, serta kesulitan mengelola stres atau tekanan emosional juga sering muncul.

Remaja yang mengalami self-harm mungkin juga menunjukkan penurunan dalam prestasi akademik atau keterampilan sosial, dan cenderung tidak terbuka tentang perasaan atau masalah yang mereka hadapi. 

Di zaman sekarang, sangat penting untuk mencegah perilaku self-harm dengan cara-cara yang efektif, salah satunya adalah dengan mencari dukungan sosial dan menjalani terapi yang tepat.

Dukungan sosial memiliki peran yang sangat penting karena remaja yang melakukan self-harm cenderung merasa kesepian, serta sering kali merasa bahwa mereka menghadapi masalahnya seorang diri.

Oleh karena itu, mereka sangat membutuhkan seseorang yang dapat mereka percayai, seperti teman dekat, keluarga, atau seorang konselor (psikolog), untuk memberikan dukungan emosional yang diperlukan agar mereka merasa didengar dan dipahami.

Selain itu, terapi perilaku kognitif (CBT) juga dapat menjadi pilihan yang sangat efektif, karena terapi ini membantu remaja untuk mengenali pola pikir negatif atau tidak sehat yang mungkin menjadi penyebab utama dari perasaan cemas, stres, atau depresi mereka, serta menggantinya dengan pola pikir yang lebih positif, CBT juga mengajarkan remaja cara-cara yang lebih sehat untuk mengatasi tekanan emosional dan stres, serta memberikan alternatif yang lebih baik daripada melukai diri sendiri.

Baca Juga: Memahami Mental Health dan Self-Harm serta Cara Mengatasinya

Bagi remaja yang menghadapi gangguan emosional yang lebih berat, terapi dialektikal perilaku (DBT) dapat sangat bermanfaat.

DBT dapat membantu remaja mengelola emosi yang intens, meningkatkan keterampilan dalam berinteraksi dengan orang lain, dan mengatasi krisis emosional dengan cara yang lebih positif, tanpa harus melukai diri. Dengan itu remaja dapat mengatasi kesehatan mental.

Mengatasi selfharm dengan mencari jalan keluar dan fokus dengan kesehatan mental, kesimpulannya, perilaku self-harm yang sering dilakukan oleh remaja di Indonesia, meskipun dianggap sebagai cara untuk meredakan perasaan emosional yang sulit dihadapi, pada kenyataannya dapat memperburuk kondisi mental dalam jangka panjang.

Remaja yang mengalami stres, kecemasan, atau kesedihan yang mendalam sering kali merasa tertekan oleh tuntutan kehidupan yang kompleks, seperti perubahan fisik, tekanan akademis.

Karena kurangnya keterampilan untuk mengelola emosi, mereka cenderung mencari cara yang tidak sehat, seperti self-harm, sebagai bentuk pelampiasan sementara.

Namun, seperti yang dijelaskan dalam berbagai penelitian, perilaku ini hanya memberikan kelegaan sesaat dan dapat memperburuk keadaan, menyebabkan rasa malu, isolasi sosial, dan memperburuk masalah emosional mereka.

Oleh karena itu, sangat penting bagi remaja untuk mencari alternatif yang lebih sehat dalam menghadapi perasaan dan tekanan emosional.

Baca Juga: Self-Harm karena Insecure? Jangan Sampai, ya!

Salah satu langkah diperlukan adalah mencari dukungan sosial dari orang-orang terdekat, seperti teman, keluarga, atau konselor (Psikolog), yang dapat memberikan pemahaman, dukungan, dan rasa diterima. Dukungan sosial yang kuat dapat membantu remaja merasa ada yang support dan mengurangi rasa kesepian dialami mereka.

Selain itu, terapi perilaku kognitif (CBT) dan terapi dialektikal perilaku (DBT) merupakan pendekatan yang terbukti efektif dalam membantu remaja mengenali dan mengatasi pola pikir negatif, meningkatkan keterampilan dalam mengelola emosi, serta menemukan cara yang lebih sehat dalam menghadapi stres dan kecemasan.

Dengan menggabungkan dukungan emosional yang positif, pendekatan terapi yang tepat, serta keterampilan dalam mengelola stres dan emosi, remaja dapat mengurangi kemungkinan terjadinya self-harm dan membangun kesehatan mental yang lebih baik.

Selain itu, penting bagi remaja untuk menjalani gaya hidup yang seimbang, seperti olahraga, tidur yang cukup, dan kegiatan sosial yang mendukung, yang semuanya berperan dalam memperkuat kesejahteraan mental secara keseluruhan.

Dengan demikian, remaja dapat lebih mudah mengatasi tantangan hidup yang mereka hadapi dan membangun Kesehatan mental yang lebih baik, tanpa perlu melukai diri sendiri sebagai pelarian dari perasaan negatif yang mereka rasakan.

Penulis: Danica Azelia Putri Daniel
Mahasiswa Prodi Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang

Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses