Menelisik Pernyataan Komnas Perempuan

Kekerasan Perempuan
Sumber: pixabay.com

Palu – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendorong lembaga adat untuk memberikan perhatian terhadap kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak. (5/12/2024)

“Kami ingin mendorong dan merekomendasikan lembaga adat, untuk memberikan perhatian kepada kasus-kasus kekerasan seksual perempuan dan anak,” kata anggota Komnas Perempuan Wanti Mashudi di Palu, Kamis (5/12).

“Karena bagaimanapun juga, keberadaan masyarakat adat di Indonesia, juga menjadi bagian dari warga negara yang harus tunduk terhadap hukum nasional,” katanya menegaskan. Menurut dia, saat penyelesaian kasus dengan hukum adat, yang perlu menjadi perhatian adalah korban tidak ditempatkan atau diposisikan sebagai orang yang bersalah.

“Bersalah dalam hal ini, korban tidak dianggap membuat aib dari masyarakat adat. Yang mesti dilihat dalam hukum adat, kesalahan ada pada pelaku,” jelasnya. Lanjut dia, sanksi denda adat untuk alasan tertentu, semestinya hanya digunakan kepada pelaku. Hal itu, kata dia, perlu adanya perbaikan dalam hukum adat, di mana korban tidak ikut membayar denda.

Bacaan Lainnya

Kemudian, dalam penyelesaian kasus secara hukum adat, tidak pula menghambat korban ketika menggunakan haknya untuk mengakses hukum nasional. Di antaranya, kata dia, Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, UU tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Tidak ada lagi penyelesaian kasus kekerasan seksual dengan jalan damai atau keadilan restoratif,” pesannya.

Baca Juga: Menyelamatkan Generasi: Dampak Media Sosial terhadap Kekerasan Seksual dan Pelecehan Anak

Kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak kerap sekali terjadi di tanah air Indonesia ini. Hal itu sudah tidak menjadi peristiwa baru yang sering terdengar di dalam masyarakat, sudah banyak cara untuk mencegah kasus tersebut, tetapi kerap sekali cara-cara tersebut tidak diindahkan oleh masyarakat sehingga masalah tersebut beranak cucu.

Insiden kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak adalah masalah sosial yang mengeluarkan kabar jelek dan membuat pihak-pihak yang bersangkutan memiliki rasa malu terhadap hal yang melecehkan ini.

Kita ketahui bahwa UU No. 12 Tahun 2022 sudah mengatur mengenai kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak sebagaimana mestinya, dan itu sudah diterapkan oleh para penegak hukum serta masyarakat umum.

Di samping UU yang mengatur hal itu, ada lembaga sosial, khususnya Kementerian Sosial, yang dapat bekerja untuk menangani masalah tersebut, yang memang mempunyai tupoksi sebelum diangkat ke ranah hukum nasional. Lembaga ini, seperti kita ketahui, lembaga yang melindungi masalah-masalah sosial yang ada di tengah-tengah masyarakat, khususnya perempuan dan anak.

Di bawah naungan Kementerian Sosial, masih ada dinas sosial yang dapat membantu fungsi kerja kementerian ini, yang artinya keberadaan dinas sosial berada dalam sistem pemerintahan kota/kabupaten di setiap provinsi.

Lembaga lainnya, yaitu Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KemenPPPA), mempunyai program dalam mendukung visi Indonesia Emas 2045 di bawah Asta Cita Presiden.

Menteri PPPA menyampaikan bahwa Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) juga mengembangkan tiga program prioritas. Program tersebut meliputi Pengembangan Ruang Bersama Merah Putih (RBMP), Perluasan Fungsi Call Center SAPA 129, dan Penguatan Satu Data Perempuan dan Anak Berbasis Desa.

Baca Juga: Membangun Kesadaran Melalui Pendidikan Seksual untuk Mencegah Kekerasan Seksual

Program ini dirancang untuk memperkuat pemberdayaan dan perlindungan perempuan serta anak di seluruh Indonesia. Dari pernyataan ini, KemenPPPA juga memiliki wewenang untuk menyelesaikan masalah-masalah kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, mereka tidak lepas tangan akan kasus ini.

Karena dalam program baru lembaga tersebut, tetap mengutamakan yang namanya melindungi perempuan dan anak dari tindak kekerasan terkhusus kekerasan seksual.

Penulis, sebagai mahasiswa Fakultas Hukum, menyanggah pernyataan Komnas HAM yang mengatakan, “merekomendasi lembaga adat untuk memberi perhatian terhadap masalah kekerasan seksual pada perempuan dan anak.”

Lembaga adat adalah lembaga yang didirikan untuk memiliki fungsi dalam melindungi masyarakat dan objek-objek adat agar terhindar dari permasalahan yang sampai ke peradilan tinggi. Di sisi lain, lembaga adat juga dapat mensejahterakan masyarakat adat agar hak-hak mereka tidak dirampas oleh pihak mana pun.

Kita ketahui bahwa adat di tanah air Indonesia sangat kental dan mengandung budaya-budaya lokal yang secara turun-temurun diwariskan. Oleh karena itu, lembaga adat memiliki wewenang dalam hal ini.

Penulis menyanggah pernyataan Komnas Perempuan dalam hal merekomendasikan lembaga adat, karena itu sebenarnya sudah mengangkangi tupoksi program kerja dari KemenSos dan KemenPPPA.

Hal ini seakan-akan menunjukkan bahwa kedua lembaga tersebut tidak sanggup dalam menjalankan program kerjanya, padahal sudah tertera bahwasannya mereka juga membuat dan merancang UU yang mengatur masalah kekerasan seksual tersebut.

Haruskah langsung merekomendasikan ke lembaga adat? Meskipun kita ketahui bahwa lembaga adat juga memiliki dampak besar akan hadirnya di tengah-tengah masyarakat sosial, tetapi tupoksi kerja masing-masing lembaga ada yang akan dilaksanakan sehingga tidak melangkahi bidang-bidang yang seharusnya menangani hal tersebut.

Selanjutnya, Komnas Perempuan menyatakan bahwa lembaga adat dapat menyelesaikan kasus tersebut dengan restorative justice. Memang benar bahwa lembaga adat berfungsi sebagai mediator di tengah permasalahan tersebut.

Namun, apakah semua kasus kekerasan seksual dapat dimediasikan? Tentu ada perkara yang menempuh jalur hukum nasional. Bagaimana akan hal itu? Yang perlu dijaga adalah menghindari anggapan masyarakat bahwa lembaga adat kurang berhasil menyelesaikan persoalan tersebut.

Baca Juga: Menelaah Anti Kekerasan Seksual

Penulis kurang setuju dengan argumentasi Komnas Perempuan yang mengatakan, “tidak ada lagi penyelesaian kasus kekerasan seksual dengan jalan damai atau keadilan restoratif.” Penulis sangat kontra, karena hukum selalu menganut asas perdamaian adalah hukum tertinggi.

Pernyataan ini merusak citra hukum, yang pada dasarnya berfungsi sebagai penegak keadilan, dan dalam setiap perkara apapun selalu diutamakan mediasi. Lembaga-lembaga yang tercakup dalam bidang ini juga memiliki kewenangan akan hal itu.

Penulis, seorang mahasiswa Fakultas Hukum, hanya mereview dan mencoba menyanggah pernyataan Komnas Perempuan, tanpa bermaksud berpandangan buruk terhadap lembaga tersebut. Sebaiknya, Komnas Perempuan mencoba untuk menganalisis lembaga yang berperan besar terhadap permasalahan-permasalahan tersebut.

Bukan berarti tidak dapat merekomendasikan lembaga adat, melainkan hal itu seakan-akan membuat kinerja Kementerian Sosial dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dipertanyakan.

Edwin Tamado Saragih

Penulis: Edwin Tamado Saragih

Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum, Universitas Katolik Santo Thomas Medan

 

Editor: Siti Sajidah El-Zahra

Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses