Menyoal Hadits Keutamaan Memakai Sorban dan Eksistensi Hukum Asalnya

Hadis Sorban
Muhammad bin Salman Putra dari Raja Arab Saudi. (Foto: Saudinesia.com)

Pendahuluan

Seluruh umat Islam telah menerima paham, bahwa Hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam itu sebagai pedoman hidup yang utama, setelah Al-Qur’an. Maka tingkah laku manusia yang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak diterangkan cara mengamalkan nya, tidak diperincikan menurut petunjuk dalil yang masih utuh, tidak dikhususkan menurut petunjuk ayat yang masih mutlak dalam Al-Qur’an, hendaklah dicarikan penyelesaian nya dalam al-Hadits.

Berpedoman kepada Al-hadits untuk diamalkan dan menganjurkannya kepada orang lain adalah suatu keharusan. Supaya keharusan tersebut dapat dipenuhi maka dalam memilih hadits dengan kualitas shahih dan hasan-lah yang dapat diamalkan, kemudian bagi hadis dha’if dengan segala ragamnya supaya di tinggalkan. Namun kendati demikian dalam realitasnya hadis yang berkualitas sahih, hasan, dhaif, maupun hadis maudhu (palsu)  telah banyak tersebar di tengah-tengah masyarakat. Hal ini tentu saja akan “mengeroposi” kemurnian ajaran Islam atau sekurang-kurangnya dapat menjadikan sebagian umat Islam “keliru” dalam mempraktekkan ajaran Islam, bila tidak selektif dan tidak mengetahui kualitas hadis Nabi yang dipahami dan diamalkan tersebut.[1]

Merujuk pada hasil penelitian Rozian karnedi yang berjudul Hadis Maudhu dalam Kitab Durrah al-Nasihin dan Pengaruhnya terhadap Dakwah Para Mubaligh di Kota Bengkulu, dimana di antara fenomenanya adalah adanya hadis dha’if yang tersebar luas di kalangan masyarakat, yakni hadis mengenai keutamaan memakai sorban (imamah) bahkan yang menyorakkan dengan lantang hadis tersebut adalah sebagian para da’i atau pendakwah Islam, atas dasar ini, penulis tergerak untuk melakukan sejumlah kajian terkait hadis keutamaan memakai sorban dan bagaimanakah hukum asalnya.

Bacaan Lainnya

Baca juga: Hadis Dhaif yang Terlanjur Populer, Bolehkah Diamalkan?

Pembahasan

1. Pengertian Sorban (Imamah)

Pengertian ‘Imamah dalam bahasa Arab adalah selilit kain, jamak dari al-‘ama’im yang berarti: pakaian lebar yang dililitkan di atas kepala agar terlindung dari panas dan dingin.[2] Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)  berarti serban. Ini memiliki tiga variasi kata, yaitu: serban”, “sorban” dan “surban”. Bentuk bakunya adalah serban, sedangkan “sorban” dan “surban” tidak baku. Serban artinya ikat  kepala yang lebar (biasa dikenakan orang Arab, haji dan sebagainya).[3]

2. Perihal Hadits Keutamaan Memakai Sorban

Setelah dilakukannya Takhrij hadis, di temukanlah beberapa hadis dha’if atau maudhu’ yang tersebar luas di kalangan masyarakat terkait keutamaan memakai sorban. Diantaranya : [4]

الصلاة في العمامة تعدل سبعين بلا عمامة

“ Shalat memakai sorban sebanding dengan sepuluh ribu kebaikan (orang yang salat tanpa memakai sorban”

صلاةٌ بعمامةٍ تعدلُ خمسًا وعشرينَ صلاةً بغير عِمامَةٍ . وجمعةٌ بعمامةٍ تعدلُ سبعينَ جمعةً بغيرِ عمامةٍ

“Orang yang salat memakai sorban sebanding dengan 25 kebaikan orang yang salat tanpa memakai sorban salat Jumat dengan memakai sorban pahalanya sama dengan 70 salat Jumat dengan tidak memakai sorban.”

Hadis pertama menurut Imam al-Sakhawiy, al-Syuyuthi dan Ibnu Hajar adalah adalah hadis maudhu (palsu). Kemudian pada hadis kedua dinilai dha’if oleh al-Suyuthi begitu juga al-Munawi, karena pada sanadnya terdapat periwayat bernama Thariq ibn Abd al-Rahman yang dinilai lemah oleh al-Dzahabi. Bahkan al-Albani dengan tegas menyatakan, bahwa Hadits tersebut maudhu’.[5]

3. Hadits Memakai Sorban

              Berikut hadis yang berkenaan dengan memakai sorban yang validitasnya dapat dipertanggung jawabkan :[6]

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَا أَخْبَرَنَا وَكِيعٌ عَنْ مُسَاوِرٍ الْوَرَّاقِ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حُرَيْثٍ عَنْ أَبِيهِ

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ النَّاسَ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ

صحيح مسلم ـ مشكول [7 /93]

Imam an-Nawawi menjelaskan terkait hadits diatas bahwasannya diperbolehkan mengenakan pakaian hitam disetiap keadaan dan dalam berkhutbah, namun yang paling afdhol didalam berkhutbah mengenakan pakaian putih sebagaimana yang terdapat dalam hadits “ sebaik-baik pakaian kalian ialah yang berwarna putih”. Selain itu, terdapat pula riwayat yang menerangkan atau menceritakan para sahabat  ketika mengenakan imamah, seperti ketika sujud. Sebagaimana yang sampaikan Hasan Bashri,

وَقَالَ الْحَسَنُ كَانَ الْقَوْمُ يَسْجُدُونَ عَلَى الْعِمَامَةِ وَالْقَلَنْسُوَةِ وَيَدَاهُ فِي كُمِّهِ[7].

Hasan al-Bashri berkata,” orang-orang biasa bersujud diatas diatas serban, tudung, dengan tangn dilengan bajunya”. (صحيح البخاري ـ حسب ترقيم فتح الباري [1 /107])

Dari riwayat diatas bahwasanya ketika seseorang sujud menganakan imamah dan imamahnya terebut menutupi jabhah terdapat ikhtilaf ketika dalam keadaan tertentu (sangat panas atau sangat dingin). Sebagaimana pendapat kalangan ulama seperti Umar bin Khattab, Imam Atho’, Imam Thowus, Imam an-Nakho’i, Imam as-Sya’bi, Imam Hasan, Imam Awzai’, Imam Ahmad, dan imam Ishaq, yang membolehkan ruksoh (keringanan) akan bolehnya atau tidak apa-apa ketika sujud dan imamah menutupi jabhah (jidat) dengan berhujjah pada hadis diatas.

Mengenai perihal mengenakan imamah ini, terdapat pula hadits yang menerangkan mengenakan imamah atau serban ketika sedang berwudhu dan membasuh khuffain, seperti

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ جَمِيعًا عَنْ يَحْيَى الْقَطَّانِ قَالَ ابْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ التَّيْمِيِّ عَنْ بَكْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ ابْنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ بَكْرٌ وَقَدْ سَمِعْتَ مِنَ ابْنِ الْمُغِيرَةِ         

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى الْعِمَامَةِ وَعَلَى الْخُفَّيْنِ

“ Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad bin Basyar dan Muhammad bin Hatim dari Yahya al-Qhattan berkata, Ibn Hatim telah meriwayatkan kepada kami Yahya bin Sa’id dari Taimiy dari Bakar bin Abdullah dari Ibn al-Mughiroh bin Syu’bah dari bapaknya Bakar berkata, saya mendengan dari Ibn Mughiroh bahwasannya Nabi SAW berwudhu dan menyeka ubun-ubun, serban, dan khufnya”. صحيح مسلم ـ مشكول [2 /109]

Pada hadits diatas beberapa ulama’ dari kalangan hanafi, syafi’i, dan imam Ahmad pada suatu riwayat menjadikan hadits diatas sebuah dalail tidak diwajibkannya membasuh seluruh kepala ketika berwudhu. Sedangkan dari kalangan Maliki dan Hanbali berpendapat bahwasanya wajib membasuh seluruh bagian kepala. Adapun menanggapi hadits diatas mereka menjawab bahwasannya rasul membasuh sebagia  kepala disebabkan adanya udzur (halangan) terlebih perbuatan ini dilakukan rasul ketika dalam keadaan safar, yang mana fardhu-fardhunya banyak dihapus karena sebab masyaqqat (kesusahan) dan akhtar (kekhawatiran).[8]

استدل بالحديث القائلون بعدم وجوب مسح جميع الرأس , وهم الحنفية والشافعية وأحمد في رواية عنه على ما سبق من اختلافهم.

وجه الاستدلال بالحديث أنه صلى الله و سلم اكتفى بمسح بعض رأسه , وهو الناصية أي مقدم ألرأس , وهو موضع قصاص الشعر , فدل على عدم وجوب مسح الجميع.

وأجاب المالكية والحنابلة عن ذلك بأنه لعل النبي صلى الله عليه وسلم فعل لك لعر , لا سيما وكان هذا الفعل في السفر “وهو مظنة الاعذار وموضع الاستعجال والاختصار , وحذف كثير من الفرائض لاجل المشقات و الاخطار , ثم هو لم يكتف بالناصية حتى مسح على العمامة

لكن ثبت الاكتفاء بمسح الناصية دون اكمال المسح على العمامة من أكثر من طريق , بما يتقوى ويصلح للاحتجاج

Kemudian ada juga hadits sohih yang menerangkan Rasulullah SAW mengenakan serban hitam yaitu pada hari penaklukan Kota Makkah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِىُّ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ الثَّقَفِىُّ قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا وَقَالَ قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ عَمَّارٍ الدُّهْنِىُّ عَنْ أَبِى الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الأَنْصَارِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- دَخَلَ مَكَّةَ – وَقَالَ قُتَيْبَةُ دَخَلَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ – وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ بِغَيْرِ إِحْرَامٍ. وَفِى رِوَايَةِ قُتَيْبَةَ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ

telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya at-Taimiyi dan Qutaibah bin Sa’id at-Sqafiy, berkata Yahya kepada kami, dan berkata Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Mu’awiyah bin Ammar ad-Duhniy dari bapaknya Zubair, dari Jabir bin Abdullah al-Anshori, bahwasannya Rasulullah SAW memasuki Kota Makkah, dan berkata Qutaibah, pada hari penaklukan Kota Makkah Nabi mengenakan serban hitam tanpa ihram”. (صحيح مسلم ـ مشكول وموافق للمطبوع [4 /111]).

Penulis mendapati dua poin pada hadits diatas. Poin yang pertama mengenai bolehnya memasuki Kota Makkah tanpa ihram dengan maksud tidak beribadah umrah maupun haji, baik ia bermaksud masuk sebab adanya hajat yang berulang ataupun tidak berulang bauk dalam keadaan aman maupun yang megkhawatirkan. Hal ini sebgaimanan pendapan yang asoh dari dua qoul Imam Syafi’i yang difatwakan ashab Imam Syafi’i.

قوله : ( دخل مكة بغير إحرام ) هذا دليل لمن يقول بجواز دخول مكة بغير إحرام لمن لم يرد نسكا ، سواء كان دخوله لحاجة تكرر كالحطاب والحشاش والسقاء والصياد وغيرهم ، أم لم تتكرر كالتاجر والزائر وغيرهما ، سواء كان آمنا أو خائفا ، وهذا أصح القولين للشافعي ، وبه يفتي أصحابه

شرح النووي على مسلم ـ مشكول [5 /22]

Kemudian poin yang kedua yaitu, diperbolehkannya memakai pakain hitam ketika memasuki Kota Makkah. Dalam riwayat lain juga menyebutkan dibolehkannya memakai pakain hijau,

والثاني: كان عليه عمامة سوداء وهذا يدل أيضا على جواز لباس الأخضر ولباس الأسود

شرح رياض الصالحين [ص 880]

Hadis di atas, selain diriwayatkan Imam Muslim, juga diriwayatkan Tirmidzi, Ibnu Majah, Ad-Darimi, An-Nasa’i, Abu Daud, dan Imam Ahmad. Inti hadis di atas menginformasikan  ketika Fathul Mekah memakai sorban berwarna hitam, tanpa (bukan) memakai kain ihram. Akan tetapi, bahwa Rasulullah  walaupun diriwayatkan banyak perawi hadis, termasuk Imam Muslim yang kualitasnya tidak diragukan lagi, hadis ini tetap menuai komentar. Salah satunya adalah Muhammad Al-Ghazali.

Dari hadis di atas tidak sama sekali memberikan pernyataan bahwa memakai sorban lebih baik atau lebih afdhal atau lebih besar pahalanya. Kesemuanya hanya menunjukkan bahwa Rasulullah saw memakai sorban, itu saja dan tidak perlu dilebih-lebihkan.

Baca juga: Pentingnya Memahami Hadis Secara Tekstual dan Kontekstual

4. Hukum Memakai Sorban Prespektif Para Ulama

Dilihat dari klasifikasi Af’al rasul dan Kehujjahannya maka dalam perbuatan jibillah terdapat yang idhthiarary (spontanitas) seperti halnya tarikan napas dan gerakan tubuh rasulullah saw, kemudian terdapat ikhtiyary (diusahakan) yaitu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan dengan kehendak dimana perbuatan tersebut merupakan tabiat kemanusiaan, seperti berdiri, duduk, makan, minum, tidur, berjalan, buang air (Besar dan kecil), menghuni rumah, dan menggunakan pakaian seperti sorban. Perbuatan semacam ini diklasifikasikan oleh para ulama antara memiliki aspek qurbah dan yang memiliki kaitan dengan ibadah. Setiap memiliki perbuatan hukum yang khusus, inilah bentuk sunnah fi’liyah -adat kebiasaan dari perbuatan Nabi Saw.-yang harus diperhatikan dalam pemahamannya sehingga layak menjadi sumber hukum untuk ditetapkan. Oleh karena itu setiap amal perbuatan nabi SAW yang tidak ada hubungannya dengan ibadah yang masyhur menurut para ushuliyin  la uswata fihi. Maksud la uswata fihi tersebut yaitu barang siapa yang hendak melakukan semisalnya maka laukanlah, dan yang hendak meninggalkannya maka tinggalkanlah.[9]

Munawi menulis dalam Syarah Zailai bahwa memakai serban hitam adalah masnun (sunnah) sebagaimana yang dijelaskan dalam beberapa riwayat dan hadis pada penjelasan sebelumnya. Namun demikian pula dengan paling utama adalah berserban putih.[10]

Ibnu al-Arabi menuturkan bahwa serban adalah Sunnah para Rasul dan tradisi para Nabi dan pemimpin. Menurut ibn alArabi, pernyataan Rasulullah SAW. “orang yang sedang berihram dilarang mengenakan gamis atau serban “hal ini hanya ditujukan kepada orang yang berihram saja namun serban dianjurkan untuk menutup kepala dengan tujuan untuk menghambakan diri dihadapan Allah SWT. Di antara sunnahsunnah menggunakan serban adalah memakai sesuai kebutuhan saja tidak boleh sombong serta membanggakan diri.[11]

Menurut Syaikh Athiyah Soqor, beliau berpendapat

لعمامة وهى غطاء الرأس يترك لكل جماعة ما يناسبهم مراعين فى ذلك الأجواء والظروف المختلفة، ولا يلتزم لون ولا شكل معين ، وكانت العمامة عادة العرب لوقايتهم من الحر، وقد لبسها النبى صلى الله عليه وسلم كما اعتاد قومه ، وأكثر ما ورد عنه فيها حكاية لأحواله ، أما ما ورد من الأقوال فى التزامها فأكثره لا يصلح حجة فى ثبوت الأحكام

Dari qoul diatas kita dapat menrik kesimpulan mengenai imamah yang merupakan suatau tradisi atau adat dikalangan masyarakat arab dikarenakan guna menjaga dari teriknya panas matahari, begitupun rasulullah mengenakan imamah atau serban sebagaimana kebiasaan masyarakat pada waktu itu. Oleh karena itu dalam penetapan sebuah hukum mengenakan serban tidak terdapat sebuah alasan yang kuat dikarenakan rata-rata hadits yang menjelaskan hal tersebut tidak dapat dijadikan hujjah dalam penetapan sebuah hukum (dha’if).[12]

Baca juga: Mengenal Lebih dalam Kutubut Tis’ah Menurut Prespektif Ilmu Hadist

Kesimpulan

Penggunakan imamah merupakan sebuah tradisi atau adat kalangan masyarakat Arab dikarenakan kondisi cuaca yang mengharuskan mereka untuk mengunakannya. Begitupun Rasulullah mengguakan imamah atau serban untuk menyesuaikan kaumnya. Adapun hadits yang terkait keutamaan mengenakan imamah atau serban ketika shalat tidak dapat dikatakan sohih atau hasan karena kurangnya kredibilitas yang menyatakan akan kesihihannya. Kemudian terkait hadits yang menerangkan hal tersebut dapat dinyatakan hanya sebuah hadits dho’if yang tidak dapat kita jadikan landasan sebuah hukum.

Pada keterangan diatas penulis menyimpulkan bahwasannya hanya pada keadaan, peristiwa, atau kondisi tertentu Rasulullah SAW mengenakan serban, seperti ketika hendak memasuki kota makkah. Kemudian terkait kondisi tertentu seperti ketika perihal membasuh dalam berwhudhu dan sujud ketika menggunakan imamah, atas dasar ini para ulama berbeda pendapat mengenai hukum memakai imamah atau sorban, sebagian mengatakan Sunnah dengan dalih  mengikuti af’al (perbuatan) Rasulullah Saw. Sebagian mengatakan hukumnya mubah dengan dalih tidak ada dalil shahih yang menjelaskan anjuran memakai sorban atau imamah.

Penulis: Arfiqni Dinal Maula
Mahasiswa Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Maulana Malik Ibrahim

Daftar Pustaka

Supian, Aan, Muh Fairuzzabadi, and Emzinetri Emzinetri. Kualitas Hadis-Hadis Dalam Khutbah Jumat Di Kota Bengkulu (Studi Kritik Sanad dan Matan).” MANHAJ: Jurnal Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat 5.1 (2016).

Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya:Pustaka Progresif, 1997)

Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia. cet. III (Jakarta: Balai Pustaka, 1999)

Farida, Norma Azmi. Hadis tentang keutamaan memakai Imamah menurut Prof. Ali Musthafa Ya’qub. Diss. UIN Sunan Ampel Surabaya, 2020.

Zaki, Muhammad. “Metode Pemahaman dan Pengamalan Hadits Jamaah Tabligh.” Ijtimaiyya: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam 8.2 (2015):

MUHAJIRIN, DR. “Mudah Memahami Hadis Nabi.” Mudah Memahami Hadis Nabi (2021).

Syaikh Noorudin. “ ’Ilamu Anam, Syarh Bulughul Maram”, (Dar al-Farfur, Damaskus. 1998).

Rangga, Rangga, and Fadhlina Arief Wangsa. “Hadis-Hadis ‘Imamah Dalam Perspektif Ahmad Lutfi Fathullah.” Tahdis: Jurnal Kajian Ilmu Al-Hadis 10.2 (2019).


[1] Supian, Aan, Muh Fairuzzabadi, and Emzinetri Emzinetri. Kualitas Hadis-Hadis Dalam Khutbah Jumat Di Kota Bengkulu (Studi Kritik Sanad dan Matan).” MANHAJ: Jurnal Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat 5.1 (2016). Hal 2.

[2] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya:Pustaka Progresif, 1997) Hal 133.

[3] Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia. cet. III (Jakarta: Balai Pustaka, 1999) Hal 145.

[4] Farida, Norma Azmi. Hadis tentang keutamaan memakai Imamah menurut Prof. Ali Musthafa Ya’qub. Diss. UIN Sunan Ampel Surabaya, 2020. Hal 67.

[5] Zaki, Muhammad. “Metode Pemahaman dan Pengamalan Hadits Jamaah Tabligh.” Ijtimaiyya: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam 8.2 (2015): Hal 115. 

[6] MUHAJIRIN, DR. “Mudah Memahami Hadis Nabi.” Mudah Memahami Hadis Nabi (2021). Hal 27-29. 

[8] Syaikh Noorudin. “ ’Ilamu Anam, Syarh Bulughul Maram”, (Dar al-Farfur, Damaskus. 1998). Hal. 155.

[9] Al-Asyqarî. Hal. 225.

[10] Rangga, Rangga, and Fadhlina Arief Wangsa. “Hadis-Hadis ‘Imamah Dalam Perspektif Ahmad Lutfi Fathullah.” Tahdis: Jurnal Kajian Ilmu Al-Hadis 10.2 (2019). Hal 296.

[11] Rangga, Rangga, and Fadhlina Arief Wangsa. “Hadis-Hadis ‘Imamah Dalam Perspektif Ahmad Lutfi Fathullah.” Tahdis: Jurnal Kajian Ilmu Al-Hadis 10.2 (2019). Hal 297.

[12] Darul Ifta Al-Misriyah, juz 10, hal.257.

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI