Merevisi Revolusi Mental Pendidikan Nasional

Kondisi bangsa Indonesia saat ini menghadapi suatu paradoks yang menuntut respon dan keteladanan dari para pemimpin bangsa. Masyarakat atas nama demokrasi demikian bebas mengekspresikan gagasan dan kehendaknya. Saking bebasnya, kondisi masyarakat kita cenderung berubah menjadi masyarakat yang anarki, penuh konflik, reaktif, tidak toleran, tidak taat asas, dan cenderung destruktif.

Ironisnya, perilaku seperti ini telah mewarnai potret dunia pendidikan kita. Beragam perilaku amoral, seperti tawuran pelajar, tawuran mahasiswa, demonstrasi yang anarki, ketidakjujuran dan maraknya kasus bullying di lingkungan pendidikan menjadi salah satu contoh betapa moralitas peserta didik kita demikian rendah. Suatu hal yang mengkhawatirkan.

Dengan sekian banyak rusaknya moral anak bangsa, pemerintah Jokowi-JK sudah mencoba untuk meperbaiki itu semua dengan mengeluarkan produk hukum berupa Perpres Nomor 2 tahun 2015 tentang Revolusi mental. Bahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) yang bertujuan untuk memperbaiki dan membangun karakter bangsa. Yang mengacu pada nilai-nilai integritas, etos kerja, dan gotong royong.

Bacaan Lainnya
DONASI

Untuk memperkuat visi misi ini, secara tegas Presiden telah mengeluarkan Peraturan (Perpres) Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan karakter (PPK). PPK tersebut dilakukan melalui budi pekerti dan pembangunan karakter peserta didik sebagai bagian dari revolusi mental.

Inkonsistensi Kebijakan
Namun, praktik pendidikan di lapangan sesungguhnya belum sepenuhnya mengarah pada sasaran standar itu. Lembaga pendidikan kita saat ini belum jadi sebuah ekosistem yang menumbuhkan semangat belajar otentik. Hal ini bisa kita lihat dengan adanya inkonsistensi kebijakan yang justru menjauhkan siswa dari proses belajar dan menjauhkan guru dari proses pengajaran.

Pertama, inkonsistensi arah kebijakan. Melalui kurikulum (nasional) 2013, pemerintah menekankan kepada Penilaian sikap spiritual (KI-1) dan sikap sosial (KI-2) siswa, tetapi disisi lain tetap mempertahan Ujian Nasional (UN) sebagai syarat masuk ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Menjadikan UN sebagai “high stakes testing”, sehingga potensi kecurangan dan manipulasi nilai ujian atau indeks prestasi kumulatif (IPK) akan tetap terjadi.

Hari ini menyebabkan pendidikan tak ubahnya seperti komoditi saja yang serba tunduk pada hukum pasar yaitu (supply and demand). Akibatnya, tidak heran manakala ditemukan banyak siswa yang memiliki nilai tinggi dalam pengetahuan, namun siswa tersebut penuh dengan kemunafikan, ketidakjujuran, intoleransi, bahkan tidak pernah melaksanakan syariat agamanya sendiri.

Kedua, Inkonsistensi jaminan pelayanan pendidikan. Tujuan pembangunan nasional khususnya di bidang pendidikan periode 2015-2019 secara jelas tertuang dalam Nawa Cita kelima yaitu meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan Program Indonesia Pintar (PIP). Namun hal ini belum berjalan secara efektif dan maksimal.

Pendistribusian yang lambat, alokasi yang tidak akurat, dan juga penyelewengan dana turut menyelimuti gagalnya implementasi program tersebut secara maksimal. Kondisi demikian menyebabkan masih banyak anak miskin yang susah untuk masuk sekolah. Padahal dalam Pembukaan UUD 1945 ayat 1) dan 2) dijelaskan, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, dan pemerintah wajib membiayainya.

Ketiga, inkonsistensi dalam memberikan keteladanan. Saat ini pendidikan kehilangan keteladanan karena sumber keteladanan yang ada pada guru menjadi bias dengan kewajiban yang sangat konstruktif dan formalistik. Para guru disibukan dengan “tektek bengek” administrasi sebagai syarat sertifikasi yang ingin didapatkan, ketimbang fokus dan serius serta melakukan berbagai inovasi dalam pembelajaran

Keteladanan juga seakan menghilang dari para ulama, tokoh masyarakat, pemimpin, dan pemerintah sebagai penyelenggara negara. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya sejumlah tradisi atau budaya yang tidak mendidik. Seperti, etos kerja rendah, intoleransi, serta praktek korupsi dan kolusi lintas profesi yang semakin marak terjadi. Kondisi demikian telah mendorong prilaku murid menjadi tidak sesuai dengan norma dan etika.

Akibat dari beberapa kebijakan pemerintah yang tidak konsisten tersebut, menyebabkan kualitas pendidikan kita menjadi stagnan bahkan menurun. Berdasarkan hasil assessment (penilaian) dari PISA (Programme for International Students Assesment), menempatkan Indonesia pada peringkat 64 dari 65 negara yang ikut serta dalam assessment tersebut .

Demikian pula menurut data Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan oleh The United Nations Development Program (UNDP) tahun 2014 melaporkan bahwa Indonesia berada di peringkat 108. Artinya untuk kawasan ASEAN saja masih kalah dibanding Singapura (peringkat 9), Brunei Darussalam (peringkat 30), Malaysia (peringkat 62), dan Thailand (peringkat 82). Indonesia sedikit lebih baik dari Filipina yang berada diperingkat 117. Tentu ini menjadi sebuah catatan yang harus segera diselesaikan.

Reorientasi Kebijakan

Untuk mampu menjawab permasalahan tersebut, pemerintah harus berani merombak dan merevisi kebijakan pendidikan yang tidak sesuai (inkoheren). Proses pendidikan tidak lagi sekedar untuk memenuhi kepentingan politik para penguasa (totaliter), memenuhi kehendak para industrialis (robotik), bahkan hanya memenuhi kehendak para penjajah yang hanya melahirkan mental kuli (kolonialistik).

Sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, pendidikan harus mampu membebaskan dan membuka peluang bagi peserta didik dalam mewujudkan cita-citanya sesuai dengan minat dan bakatnya masing-masing secara optimal. Hal ini perlu diawali dengan mengembalikan peran guru dan sekolah sebagai fasilitator pendidikan dan pembelajaran sesuai dengan visi dan misi pendidikan nasional.

Hal lain yang sangat mendasar dalam mengawal dan mengawali revolusi mental dalam pendidikan adalah keterlibatan dari berbagai stakeholder. Dalam hal ini, konsep Tri Sentra Pendidikan (Tiga Pusat Pendidikan) Ki Hajar Dewantara yang menerangkan bahwa pendidikan berlangsung di tiga lingkungan yaitu, keluarga, sekolah dan masyarakat bisa dijadikan referensi.

Konsep Tri Sentra Pendidikan ini menyiratkan pesan bahwa keberhasilan pendidikan bisa dicapai bila terjadi kolaborasi dan kemitraan yang baik antar tiga unsur terkait. Dengan kata lain, prestasi dan keberhasilan yang diraih anak dalam pendidikan, sangat dipengaruhi oleh peran dan keharmonisan masing-masing unsur yang membentuk ekosistem pendidikan yang kondusif.

Dadan Rizwan Fauzi, S.Pd.
Mahasiswa Pkn Pascasarjana UPI

Baca juga:
Upaya Revolusi Terhadap Program Revolusi Mental
Retorika untuk Mengguncang Dunia
Krisis Kapabilitas dalam Literasi di Era Milenial

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI

Komentar ditutup.