Dewasa ini di kehidupan bermasyarakat mengenai stereotipe terhadap perempuan sangat tinggi. Perempuan dituntut untuk selalu sempurna dan terlihat cantik, dalam pembahasan ini mitos kecantikan sangat mengambil alih dalam stereotip tersebut. Perempuan akan diakui di masyarakat antara 2 yaitu melalui kecerdasan dan kecantikan.
Dalam kasus ini terdapat banyak contoh mitos kecantikan di lingkungan masyarakat seperti terdapat beberapa perusahaan yang menjadikan kecantikan sebagai syarat untuk pekerjaan. Pada perusahaan bank atau pramugari, perempuan akan dituntut untuk menjadi cantik dan berpenampilan menarik.
Bahkan perempuan pula dituntut untuk memiki bentuk tumbuh yang semampai dan tinggi badan yang ideal. Kasus mitos kecantikan pada beberapa kasus membuat perempuan tertekan apabila tidak sesuai dengan ketentuan yang berada di lingkungan masyarakat.
Adanya mitos kecantikan memunculkan budaya kecantikan di lingkungan masyarakat. Stereotip mengenai perempuan harus kurus, putih, tinggi, dan memiliki tubuh yang ideal menjadikan kemunculan budaya untuk mengubah bentuk bagian tubuh agar mengikuti tren stereotip masyarakat.
Acapkali perempuan rela mengubah dirinya menjadi cantik agar dapat diakui seperti suntik putih, operasi plastik, dan lain sebagainya agar dapat diakui di lingkup masyarakat. Hal tersebut sangat lumrah dilakukan para perempuan sehingga menjadi suatu kebudayaan yang dapat ditemukan di sekitar masyarakat.
Fenomena mitos kecantikan yang digagas oleh Naomi Wolf. Naomi Wolf mengemukakan bahwa mitos tentang kecantikan menyatakan hal ini pada kita: Kualitas yang disebut dengan “cantik” benar-benar ada, secara objektif dan universal.
Perempuan pastilah ingin memiliki kecantikan, dan laki-laki pastilah ingin memiliki perempuan yang cantik. Tekanan yang muncul akibat perasaan ingin memiliki ini dirasakan oleh perempuan, bukan laki-laki. Situasi ini menjelma menjadi sesuatu yang alamiah dan diperlukan karena hal itu bersifat biologis, seksual dan evolusioner.
Perempuan yang cantik selalu dihubungkan dengan kesuburan, dan sejak sistem yang berbasis seleksi seksual ini diterapikan, kecantikan menjadi sesuatu yang bisa niscaya dan baku (Wolf, 2023: 26).
Fenomena mitos kecantikan ini pula terjadi di dalam film The Princess Diaries ketika tokoh utama yaitu Mia harus mengubah penampilannya dikarenakan ia akan menjadi penerus kerajaan.
Film The Princess Diaries yang disutradarai oleh Garry Marshall menceritakan tentang seorang siswi SMA bernama Mia yang tinggal bersama ibunya ternyata merupakan keturunan dari keluarga kerajaan Genovia. Pada awalnya Mia merupakan perempuan yang culun, ceroboh, dan acapkali mendapatkan perlakuan bullying oleh teman-teman sekolahnya.
Pada suatu hari nenek Mia bernama Clarisse yang merupakan ratu dari Kerajaan Genovia menemui Mia dan memberitahu bahwa ia merupakan putri kerajaan dan pewaris tahta dari kerajaan tersebut. Mia dituntut untuk menjadi cantik dari wajah maupun sikap.
Naomi Wolf mengatakan bahwa “Kecantikan” sesungguhnya bukan hal yang universal ataupun tidak bisa diubah, meskipun orang barat percaya bahwa segenap kecantikan perempuan yang ideal berawal dari sosok yang platonis (Wolf, 2023: 27).
Masyarakat mengagumi perempuan yang memiliki wajah dan tubuh yang cantik, sehingga ketika terdapat seorang perempuan yang tidak terlihat cantik akan disingkirkan dari lingkungan masyarakat. Seperti contoh pada film The Princess Diaries, tokoh Mia disingkirkan dan diejek oleh teman-teman sekolahnya dikarenakan ia terlihat culun dan tidak menarik dari segi wajah dan penampilan.
Dalam potongan scene di atas membuktikan bahwa tokoh Mia yang terlihat sedang diejek dan ditertawai oleh teman-teman sekolahnya. Hal itu dikarenakan Mia tidak terlihat cantik dan menarik seperti teman-teman perempuannya yang lain.
Mia pula terlihat gugup ketika berbicara di depan orang banyak, sehingga membuatnya tidak percaya diri dan bersikap ceroboh. Tidak terlihat menarik dan melakukan hal ceroboh menyebabkan ia menjadi sasaran teman-temannya untuk ditertawakan.
Di sini terlihat bahwa mitos kecantikan sangat terlihat superior sehingga kecantikan menjadi tolak ukur dalam menerima keberadaan seorang perempuan di kalangan masyarakat.
Tokoh Mia mengalami pem-bully-an tersebut tetapi di sisi lain tokoh Mia mendapatkan kenyataan bahwa ia merupakan keturunan kerajaan yang akan menjadi pewaris tahta dari Kerajaan Genovia. Menjadi pewaris tahta tidak dapat dipungkiri bahwa akan dikenal banyak masyarakat dan akan menjadi pusat perhatian di mana pun Mia berada.
Hal itu akan menjadikan penampilan Mia harus menarik dari segi aspek manapun. Pada posisi ini tokoh Mia mulai memasuki dunia politik yang di mana mitos kecantikan pun dapat ditemukan dalam wilayah politik bahkan kecantikan menjadi wajah utama di dalam dunia politik dan dunia kekuasaan.
Wolf (2023: 26) mengungkapkan bahwa “kecantikan” adalah sistem pertukaran seperti halnya standar emas. Seperti semua yang ada dalam lingkaran ekonomi, kecantikan juga ditentukan oleh sistem politik.
Dalam kasus film ini, Mia dituntut untuk menjadi cantik karena ia merupakan putri kerajaan yang akan mewarisi tahta. Secara tidak langsung bahwa ini terdapat permainan politik yang mengharuskan keturunan kerajaan harus terlihat berpenampilan menarik dan berperilaku elegan.
Kecantikan menjadi salah satu kualifikasi di dunia pekerjaan, seperti yang digagas oleh Wolf (2023: 51) bahwa semua profesi yang dirambah oleh perempuan diklasifikasikan kembali secara cepat–sejauh perempuan tetap menjadi pihak yang diperhatikan–sebagai profesi penghias. “Kecantikan” menjadi sesuatu yang terkategorisasikan.
Pada cuplikan scene di atas memperliatkan bahwa staf kerajaan memanggil makeup artis untuk mengubah penampilan Mia dari yang terlihat culun hingga terlihat cantik dan berpenampilan menarik.
Bahkan untuk mendukung penampilan Mia agar semakin menarik, dari perlengkapan sekolah hingga barang-barang yang dipakai pun diubah menjadi barang yang bagus dan mahal. Hal ini memperlihatkan bahwa dengan masuk ke dalam wilayah politik dan kekuasaan, politik menjadi ikut andil dalam kasus mitos kecantikan terhadap putri kerajaan.
Seperti yang disinggung di atas bahwa kecantikan menjadi hal yang penting di dunia politik.
Kecantikan menjadi wajah utama dalam kerajaan dan politik. Hal ini menjadi tuntutan terhadap Mia yang harus berperilaku cantik seperti wajahnya.
Selain terjadinya mitos kecantikan pada penampilan, Mia juga dituntut untuk mengubah perilakunya agar menjadi perempuan elegan lemah lembut yang tidak ceroboh.
Mia diwajibkan untuk mempelajari dari dasar tata krama dalam kerajaan seperti cara berjalan, cara melambai tangan kepada masyarakat, cara makan yang baik. Mia dibentuk oleh politik menjadi perempuan kerajaan seutuhnya. Terbukti pada cuplikan scene di bawah ini.
Setelah menjadi cantik, Mia tetap mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari teman sekolahnya terutama perempuan. Teman perempuan Mia menganggap bahwa Mia menjadi saingannya karena telah berubah menjadi cantik dan menarik.
Hal tersebut juga diungkapkan oleh Wolf (2023: 29) bahwa kualitas yang pada periode tertentu disebut sebagai kecantikan perempuan itu hanyalah simbol dari perilaku perempuan yang dianggap menggairahkan: Mitos kecantikan sesungguhnya selalu merujuk pada perilaku dan bukan penampakan.
Persaingan antar perempuan telah dijadikan bagian dari mitos yang membuat perempuan seolah-olah terpisah satu sama lain.
Sesuai dengan yang terjadi pada tokoh Mia di atas bahwa teman perempuan Mia menganggap bahwa Mia menjadi saingannya. Sesama perempuan, teman Mia yang bernama Lana memunculkan persaingan tersebut karena pacarnya Josh mulai menyukai dan memilih Mia yang terlihat lebih cantik dan menarik dari pada Lana.
Di sekolah, Lana merasa bahwa dirinya merupakan perempuan yang paling cantik, tetapi ketika Mia muncul dengan penampilan cantik dan berpenampilan menarik maka muncullah jiwa persaingan antar perempuan di dalam diri Lana.
Hal tersebut memunculkan mitos yang membuat terjadinya antar perempuan terpisah dan tidak mendukung satu sama lain. Terbukti pada cuplikan scene berikut ini.
Gagasan-gagasan Naomi Wolf membuktikan bahwa terjadinya mitos kecantikan yang terjadi pada perempuan antar generasi hingga sekarang. Stereotipe bahwa wanita harus cantik dan menarik membuat perempuan itu sendiri merasa dirugikan dan terkungkung dalam stereotip tersebut.
Tidak dipungkiri bahwa masyarakat memandang mitos kecantikan menjadi syarat untuk menerima seseorang dalam lingkup masyarakat. Sehingga tidak jarang bahwa perempuan yang tidak cantik dan menarik menjadi bahan ejekan dan pem-bully-an di wilayah tersebut seperti pada kasus tokoh Mia dalam film The Princess Diaries.
Terutama pula pada dunia pekerjaan yang zaman sekarang lebih mementingkan perempuan memiliki penampilan yang menarik agar dapat mendapatkan keuntungan secara lebih.
Tidak hanya di dalam dunia pekerjaan, pada kaum patriarkal pula memunculkan mitos kecantikan yang di mana perempuan akan merasa tertekan ketika merasa bahwa dirinya tidak menarik. Perempuan akan melakukan segala cara hingga menyakiti dirinya sendiri agar dirinya dapat dipilih atau dilihat oleh kaum-kaum patriarkal.
Tidak menutup kemungkinan bahwa laki-laki juga menginginkan perempuan yang menarik untuk bersanding dengan dirinya. Seperti pada yang dijelaskan Wolf (2023: 26) bahwa laki-laki pastilah ingin memiliki perempuan yang cantik. Tekanan yang muncul akibat perasaan ingin memiliki ini dirasakan oleh perempuan, bukan laki-laki.
Situasi ini menjelma menjadi suatu yang alamiah dan diperlukan karena hal itu bersifat biologis, seksual, dan evolusioner. Lihat saja, para laki-laki perkasa selalu berperang demi perempuan cantik.
Perempuan yang cantik selalu dihubungkan dengan kesuburan, dan sejak sistem yang berbasis seleksi seksual ini diterapkan, kecantikan menjadi sesuatu yang bisa niscaya dan baku.
Penulis: Suci Mutiara Dewi
Mahasiswa Magister Sastra Universitas Gadjah Mada
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News
DAFTAR PUSTAKA
Marshall, G. (Director). (2001). The Princess Diaries. The Walt Disney Company, Walt Disney Pictures.
Wolf, Naomi. 2023. Mitos Kecantikan: Kala Kecantikan Menindas Perempuan. Terjemahan: Alia Swastika. Matabangsa, Yogyakarta. 622 hal.