Karya sastra seringkali menjadi cermin yang memantulkan beragam aspek kehidupan manusia. Kumpulan puisi Blues Untuk Bonnie karya W. S. Rendra pertama kali diterbitkan pada tahun 1971. Kumpulan puisi Blues untuk Bonnie terdapat 13 judul puisi dan dapat dikatakan unik karena judul antologinya diambil dari salah satu puisi yang ada didalamnya.
Dalam 13 judul puisi tersebut sebagian besar menceritakan tentang kritik sosial yang terjadi di masyarakat, baik dalam hal ekonomi, moral, dan politik ketatanegaraan. Kritik ekonomi tampak pada penggunaan kata kelaparan, kemiskinan, dan pengangguran.
Kritik moral tampak pada penggunaan kata pelacur sebagai budak seksual, perusakan gereja, dan adanya kasus pemerkosaan secara beramai-ramai. Kritik politik ketatanegaraan tampak pada penggunaan kata kedudukan tinggi, polisi, tentara yang tidak membeli beras karena sudah dapat dari negara.
Dalam antologi Blues Untuk Bonnie juga sangat jelas menjelaskan tema yang keras, getir dan agresif. Puisi tersebut tersirat akan pesan yang bersifat murni humanis, dimana kebenaran dan kemanusian menjadi norma yang berlaku pada masyarakat.
Hal itu tentu sangat relevan terhadap apa yang terjadi pada realitas sosial di zaman ini. Selain itu, puisi Rendra juga mengenai kebebasan manusia sebagai makhluk tuhan yang bebas dan merdeka.
Dalam kumpulan puisi Blues untuk Bonnie karya WS Rendra, terdapat eksplorasi yang mendalam akan emosi manusia, realitas sosial, serta perenungan atas kehidupan melalui lirik yang puitis. Puisi-puisi ini bukan hanya merupakan ungkapan perasaan, namun juga sebuah kritik dan refleksi atas realitas yang dihadapi.
Kedalaman Emosi dalam Puisi
Puisi-puisi dalam kumpulan ini tidak hanya sekadar ungkapan perasaan, tetapi juga jendela ke dalam kompleksitas emosi manusia.
WS Rendra dengan cermat menggambarkan kegelisahan, kesedihan, kegembiraan, serta keputusasaan melalui penggunaan bahasa yang mendalam dan metafora yang menggugah. Puisi-puisi ini menjadi medan yang menghadirkan perjalanan emosi yang autentik dan menyentuh.
Diksi merupakan gaya bahasa yang digunakan oleh penulis untuk menciptakan suatu keindahan dan estetika tertentu bahkan dapat membangkitkan rasa emosional pada pembacanya.
Penggunaan diksi dalam kumpulan puisi Blues Untuk Bonnie cukup mudah dipahami meskipun didalamnya menggunakan beberapa jenis majas yaitu majas personifikasi dan metafora. Seperti tergambar pada judul puisi berikut yang menggunakan majas metafora.
Dalam puisi yang berjudul “Nyanyian Duniawi” pada bait kedua yaitu:
Susunya belum selesai tumbuh
bagai buah setengah matang.
Dalam puisi yang berjudul “Blues Untuk Bonnie” pada bait ke tujuh yaitu:
Bagai ikan hitam
ia menggelepar dalam jala
Jumpalitan
dan sia-sia.
Dalam puisi yang berjudul “Blues Untuk Bonnie” pada bait 9 yaitu:
Maka waktu bagaikan air bah
melanda sukmanya yang lelah
Majas metafora adalah bahasa kiasan seperti perbandingan hanya tidak menggunakan kata-kata pembanding. Majas metafora yang digunakan ialah bagai, laksana, seperti dan sebagainya.
Selanjutnya, majas personifikasi dapat dibuktikan melalui beberapa kutipan puisi berikut:
Pada puisi “Kupanggil Namamu” hanya terdapat satu kutipan, yaitu:
Angin pemberontakan
menyerang langit dan bumi.
Pada puisi “Nyanyian Duniawi” hanya terdapat satu kutipan, yaitu Ketika bulan tidur di kasur tua. Majas personifikasi merupakan bentuk majas retoris yang memberikan sifat-sifat manusiawi pada objek non-manusia atau entitas abstrak yang mengacu pada perumpamaan benda mati yang seolah-olah hidup.
Refleksi Realitas Sosial
Selain menjelajahi ranah emosi, kumpulan puisi ini juga mencerminkan realitas sosial yang kompleks. WS Rendra dengan kepiawaiannya menyajikan gambaran kehidupan sehari-hari, termasuk ketidakadilan, penderitaan, dan konflik sosial.
Puisi-puisinya menjadi cermin yang menggambarkan kondisi masyarakat pada masa tertentu, menyuarakan kegelisahan dan aspirasi akan perubahan.
Tema kritik sosial tampak pada judul puisi “Kesaksian Tahun 1967”, Rendra mengkritik kebijakan pemerintah Orde Baru. Dalam puisinya, Rendra memposisikan sebagai penyalur aspirasi masyarakat.
Kemudian kritik sosial politik di Indonesia maupun Amerika yang tampak pada puisi “Kupanggili Namamu”, “Kesaksian Tahun 1967”, “Pemandangan Senjakala”, “Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta.”
Keempat puisi tersebut menggambarkan banyak pejabat pemerintah yang korupsi dan pelanggaran HAM dapat dilihat dari masyarakat yang hidup dalam kemiskinan. Sementara, puisi “Blues Untuk Bonnie” menggambarkan kritik tentang rasisme dan diskriminasi terhadap Negro.
Selain itu, pada puisi “Nyanyian Angsa” dan “Khotbah” menggambarkan kritik kepada pelayanan lembaga agama yang kurang melayani umatnya dengan baik. Kritik ekonomi juga tampak pada puisi “Bersatulah Pelacur-Pelacur Jakarta” menggambarkan kondisi ekonomi masyarakat yang serba kekurangan seperti kelaparan, kemiskinan, dan pengangguran.
Dalam Blues untuk Bonnie, terdapat kritik yang tajam terhadap status quo dan ketidakadilan dalam masyarakat. Puisi-puisi ini menjadi alat untuk menyoroti sistem yang tidak adil, merangkul perbedaan, serta menantang norma-norma yang menghambat kebebasan dan keadilan.
Kumpulan puisi Blues untuk Bonnie bukan sekadar sekumpulan karya sastra, melainkan juga representasi dari kedalaman emosi manusia, refleksi realitas sosial, serta sebuah panggilan untuk perubahan.
Melalui kata-kata yang mengalun puitis, WS Rendra membawa pembaca dalam perjalanan yang mempengaruhi, merangsang, dan memberikan wawasan baru tentang kehidupan dan masyarakat.
Penulis: Fadhila Khusnul Na’imah
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Airlangga
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News