Dalam kehidupan perkuliahan, mahasiswa tidak hanya bergelut dengan tugas dan ujian, tetapi juga dengan beban psikologis yang kerap tak terlihat. Salah satunya adalah overthinking—proses berpikir berlebihan terhadap suatu hal secara terus-menerus, yang sering kali berujung pada kecemasan, keraguan, dan bahkan kelelahan mental.
Fenomena overthinking sebenarnya bukan hal baru. Namun, dalam konteks mahasiswa, gejala ini semakin marak seiring dengan meningkatnya tekanan akademik, ekspektasi sosial, dan ketidakpastian masa depan.
Mahasiswa kerap merasa terjebak dalam pusaran pertanyaan yang tak kunjung selesai: “Apakah aku cukup pintar?”, “Kenapa nilainya tidak sesuai harapan?”, “Bagaimana jika nanti gagal?”, dan sederet pertanyaan lainnya yang justru menguras energi emosional.
Tak jarang, overthinking menjadi pintu masuk bagi gangguan mental seperti kecemasan (anxiety), insomnia, dan bahkan depresi.
Dosen yang sulit dihubungi, teman kelompok yang pasif, nilai yang tidak kunjung keluar, hingga ekspektasi orang tua terhadap kesuksesan akademik—semuanya bisa memicu ketegangan mental jika tidak dikelola dengan baik.
Menurut berbagai studi psikologi, overthinking mengaktifkan bagian otak yang sama seperti saat seseorang berada dalam keadaan terancam.
Otak mengira ada bahaya yang harus segera diselesaikan, padahal yang sebenarnya terjadi adalah siklus pikiran yang berputar di tempat. Akibatnya, tubuh pun ikut merespons: jantung berdebar, pernapasan pendek, sulit tidur, dan kehilangan fokus belajar.
Menariknya, overthinking tidak selalu muncul karena masalah besar. Hal-hal kecil seperti lupa mengirim tugas, salah ucap saat presentasi, atau merasa dibandingkan dengan teman yang terlihat lebih sukses juga bisa memicu spiral kecemasan yang berkepanjangan.
Baca Juga:Â Menyembuhkan Kecanduan Media Sosial bagi Mahasiswa yang Takut FoMO
Ini menunjukkan bahwa overthinking lebih banyak berkaitan dengan cara kita merespons sesuatu, bukan seberapa besar masalah itu sendiri. Lalu, bagaimana mahasiswa bisa mengelola overthinking secara sehat?
Pertama, menyadari dan menerima bahwa overthinking itu wajar. Kita hidup di tengah zaman yang menuntut produktivitas tinggi, pencapaian maksimal, dan eksistensi digital yang sempurna.
Maka, tidak heran jika banyak mahasiswa merasa tidak pernah cukup. Penerimaan terhadap perasaan itu justru langkah awal untuk menyembuhkan. Kita tidak harus selalu “baik-baik saja”—dan itu tidak apa-apa.
Kedua, penting untuk menciptakan jeda dari rutinitas yang padat. Mahasiswa sering merasa bersalah saat ingin istirahat, seolah-olah waktu luang adalah bentuk kemalasan. Padahal, otak juga perlu ruang untuk bernapas.
Aktivitas sederhana seperti jalan kaki, membaca buku non-akademik, atau sekadar menulis jurnal pribadi bisa menjadi bentuk “detoks mental” yang ampuh.
Ketiga, jangan ragu untuk membangun komunikasi terbuka. Berbagi cerita dengan teman, kakak tingkat, atau konselor kampus bisa membantu melihat masalah dari sudut pandang yang lebih jernih. Sering kali kita terlalu keras pada diri sendiri, dan lupa bahwa orang lain mungkin pernah mengalami hal yang sama.
Keempat, batasi konsumsi informasi berlebih. Media sosial bisa menjadi pemicu overthinking jika kita terus-menerus membandingkan hidup dengan orang lain. Perlu disadari bahwa apa yang ditampilkan di media sosial hanyalah fragmen terbaik dari kehidupan seseorang, bukan keseluruhannya.
Baca Juga:Â Overthinking Sumber Keresahan Diri Sendiri
Di beberapa kampus, kini mulai hadir layanan konseling gratis dan ruang diskusi mental health yang aman dan inklusif. Ini adalah langkah positif yang harus terus diperluas.
Mahasiswa perlu merasa bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan capaian akademik. Keseimbangan antara keduanya justru akan menciptakan manusia yang utuh—bukan sekadar sarjana di atas kertas.
Menjadi mahasiswa adalah fase hidup yang penuh tantangan, tetapi juga penuh potensi. Overthinking mungkin akan selalu datang, tapi bukan berarti kita harus kalah dengannya. Dengan mengenali pola pikir, membangun rutinitas yang sehat, dan menciptakan lingkungan suportif, overthinking bisa dikendalikan—dan bukan sebaliknya.
Sebab pada akhirnya, kesehatan mental adalah pondasi bagi semua hal lainnya. Tanpa itu, prestasi hanya menjadi angka tanpa makna. Maka tak salah jika hari ini kita mulai bertanya pada diri sendiri: “Apa aku sudah cukup peduli dengan pikiranku sendiri?”.
Penulis:Â Rana Syadekha
Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Metro
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News