Pancasila dan Prinsip Musyawarah: Gugatan terhadap Legislasi Kilat di Indonesia

Legislasi Kilat di Indonesia
Ilustrasi Bendera Indonesia (Sumber: Media Sosial dari freepik.com)

Indonesia, negara yang dibangun di atas fondasi Ideologi bangsa yang luhur dan mendasar, menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal dan semangat gotong royong. Sejak awal kemerdekaan, Indonesia telah menempatkan Pancasila sebagai dasar negara dan nilai luhur yang menjiwai segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pancasila secara eksplisit menekankan landasan etika politik dan hukum pada sila keempat, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”, mengisyaratkan makna mendalam bahwa setiap keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak selayaknya diambil melalui proses pertukaran pikiran yang menjunjung tinggi keberagaman perspektif, mendengarkan berbagai sudut pandang, dan mencari titik temu yang dapat diterima oleh semua pihak termasuk dalam proses legislasi.

Prinsip musyawarah bukan hanya sekadar voting dan retorika normatif dalam kehidupan berbangsa, melainkan landasan etis dan filosofis serta upaya sungguh-sungguh dalam setiap pengambilan keputusan politik untuk mencapai mufakat yang dianggap paling bijaksana dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat.

Sayangnya, belakangan ini dapat kita lihat bahwa esensi sila keempat pancasila yang memuat nilai musyawarah dan demokrasi ini mulai luntur. Orang-orang yang dipercaya untuk duduk di kursi pemerintahan dan menjalankan kegiatan kenegaraan, tampaknya mulai mengesampingkan nilai-nilai pancasila yang justru seharusnya menjadi pedoman mereka dalam menjalankan pemerintahan.

Bacaan Lainnya

Bentuk nyata dari dikesampingkannya nilai-nilai pancasila ini bisa kita lihat dari fenomena legislasi kilat yang belakangan ini banyak terjadi dalam pemerintahan kita. Hal ini jelas merupakan pelanggaran terhadap sila keempat karena musyawarah dalam konteks demokrasi bukan sekadar formalitas, melainkan landasan filosofis dalam pengambilan keputusan publik.

Proses legislasi seharusnya menjadi ruang terbuka antara pemerintah, DPR, dan masyarakat sipil untuk berdialog, berdiskusi, dan membangun konsensus. Namun dalam fenomena legislasi kilat, proses pembuatan undang-undang kerap berlangsung tertutup dan terkesan dikuasai oleh elite politik sehingga legislasi kilat dapat menjadi ancaman bagi demokrasi di Indonesia.

Baca juga: Eksistensi Pancasila di Tahun Politik

Pancasila bukan sekadar simbol yang kita hafalkan di upacara bendera. Pancasila adalah jiwa bangsa, nafas konstitusi, dan kompas moral dalam setiap kebijakan negara. Sebagai dasar negara, Pancasila memiliki kedudukan sebagai staatsfundamentalnorm atau norma fundamental negara yang menjadi sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.

Bayangkan Pancasila seperti pondasi rumah. Pondasi ini menopang seluruh bangunan hukum dan kebijakan negara kita. Jika pondasinya goyah, seluruh bangunan terancam roboh. Begitu pula jika kebijakan negara tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, keutuhan berbangsa dan bernegara kita terancam.

 

Kritik terhadap Legislasi Kilat dan Dampaknya pada Partisipasi Publik

Legislasi kilat telah menjadi pola baru dalam pembuatan undang-undang di Indonesia. Meski kerap dibungkus dengan alasan “urgensi nasional”, kenyataannya banyak dari kebijakan tersebut tidak menyelesaikan persoalan rakyat, bahkan memperparah kesenjangan antara penguasa dan yang dikuasai.

Proses legislasi yang ideal haruslah memperhatikan aspirasi masyarakat secara luas. Sayangnya, banyak produk hukum yang justru menjauh dari nilai-nilai itu. Rakyat sebagai pemilik kedaulatan seolah hanya menjadi penonton, tidak diberi ruang untuk ikut menentukan arah kebijakan yang berdampak langsung pada hidup mereka.

Contoh dari legislasi kilat yang belakangan ini terjadi, bisa kita lihat pada pengesahan RUU TNI, yang dilakukan dalam waktu kurang dari satu bulan kemudian menuai banyak penolakan karena dinilai dapat membuka kembali ruang bagi dwifungsi ABRI dan melemahkan pihak sipil.

Hal serupa juga terjadi dalam RUU BUMN yang lebih parahnya, pembahasan hanya dilakukan dalam lima hari dan dilakukan secara tertutup. Selain itu, RUU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) juga banyak mendapatkan kritik dari masyarakat karena rapat yang berlangsung hanya kurang dari satu bulan dan rapat hingga larut malam.

Kondisi ini kemudian memicu gelombang demonstrasi di berbagai kota besar di Indonesia sebagai bentuk penolakan masyarakat terhadap proses legislasi yang dinilai terburu-buru dan tidak berpihak pada kepentingan publik.

 

Demo Malang: Suara Rakyat Tak Boleh Diabaikan

Gelombang protes terhadap praktik legislasi kilat tidak hanya terjadi di Jakarta. Beberapa waktu lalu, Kota Malang menjadi saksi betapa masyarakat, terutama mahasiswa, masih peduli terhadap masa depan bangsa.

Ratusan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi turun ke jalan, melakukan aksi damai di depan Gedung DPRD Kota Malang. Mereka menggugat proses legislasi yang minim keterlibatan publik, sembari membawa spanduk bertuliskan: “DPR Jangan Tutup Telinga” dan “Bukan Cepat, Tapi Tepat!”

Aksi ini bukan sekadar bentuk penolakan terhadap undang-undang tertentu, melainkan simbol kekecewaan yang mendalam terhadap sistem yang semakin menjauh dari nilai-nilai demokrasi dan Pancasila. Demonstrasi ini menegaskan bahwa rakyat masih peduli, dan para pemangku kebijakan tidak boleh menutup mata dan telinga terhadapnya.

 

Menguatkan Musyawarah sebagai Roh Legislasi Berbasis Pancasila

Sudah saatnya kita mengembalikan esensi musyawarah sebagai fondasi spiritual sistem legislasi di Indonesia. Hal ini memunculkan beberapa solusi yang layak dipertimbangkan, yaitu dengan

(1) Penguatan mekanisme partisipasi publik sejak perencanaan hingga pengesahan RUU. Ini dilakukan melalui konsultasi efektif, mendengarkan beragam pandangan masyarakat, dan memanfaatkan media transparan untuk informasi legislasi,

(2) Pembahasan RUU memerlukan waktu cukup dan analisis mendalam agar semua pihak (legislatif, ahli, masyarakat) dapat memahami, mengkritisi, dan memberikan masukan konstruktif,

(3) Mengedepankan dialog konstruktif untuk menyelesaikan perbedaan dan mencapai mufakat yang menghormati beragam kepentingan masyarakat, sesuai dengan sila keempat Pancasila,

(4) Evaluasi pasca legislasi untuk mendeteksi dampak negatif dan ketidaksesuaian UU dengan Pancasila serta serta harapan masyarakat, sehingga perbaikan dapat dilakukan, dan

(5) Peningkatan kesadaran pancasila untuk memperkuat pemahaman dan kesadaran akan pentingnya musyawarah bagi bangsa dan negara.

Dengan demikian, praktik legislasi kilat yang mengabaikan prinsip musyawarah merupakan ancaman serius terhadap nilai-nilai fundamental demokrasi Indonesia. Jika musyawarah terbungkam oleh pragmatisme semata dan hikmat kebijaksanaan dikesampingkan oleh kekuasaan elit, maka akar Pancasila yang menopang negara akan tergerogoti.

Oleh karena itu, mengembalikan ruang musyawarah dalam setiap proses pembuatan kebijakan adalah keharusan bagi Indonesia agar tetap menjadi negara yang inklusif, adil, dan berkeadaban.

 

Penulis:

  1. Giantri Siti Safitri
  2. Azizah Zahra
  3. Muhammad Hammam Al Hanif
  4. Ardita Putri Eka Siwi
  5. Athaya Nabila Fuadi

Mahasiswa Teknik Sipil, Universitas Brawijaya

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses