Pancasila Nilai Luhur yang Masih Sebatas Angan

Yogyakarta, Indonesia - 23 Mei 2021 : Bergandengan tangan dengan Garuda Pancasila pada pakaian, Simbol Nastional Indonesia. Hari kemerdekaan Indonesia 17 Agustus.
Pancasila Nilai Luhur yang Masih Sebatas Angan.

Setiap kali kalender menunjukkan tanggal 1 Juni, linimasa media sosial kita dibanjiri ucapan selamat Hari Lahir Pancasila. Ada yang upload twibbon, ada yang repost quote Bung Karno, ada juga yang sekadar ikut-ikutan tren.

Tapi sehari kemudian, semuanya kembali normal—Pancasila menghilang dari percakapan. Seolah-olah Pancasila hanya relevan di momen seremonial, lalu dilupakan.

Sebagai anak muda yang tumbuh di era digital, kadang saya bertanya dalam hati: Pancasila, kamu masih ada buat aku nggak? Atau jangan-jangan, kamu cuma jadi teks hafalan waktu upacara, tanpa benar-benar hadir dalam kehidupan sehari-hari?

Padahal, kalau kita mau menengok sejarahnya, Pancasila lahir bukan dari ruang kosong. Ia lahir dari pergolakan bangsa yang sedang mencari jati diri. Di tahun 1945, saat Indonesia sedang bersiap untuk merdeka, para pendiri bangsa mencari fondasi yang bisa menyatukan seluruh elemen masyarakat yang begitu beragam.

Bacaan Lainnya

Soekarno, dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, mengusulkan lima prinsip dasar yang kemudian kita kenal sebagai Pancasila. Nilai-nilai ini bukan sekadar buah pikir seorang tokoh, melainkan hasil perenungan mendalam tentang apa yang membuat Indonesia bisa hidup bersama di tengah perbedaan.

Sayangnya, dalam praktiknya sekarang, Pancasila sering kali hanya menjadi simbol, bukan pedoman. Padahal, nilai-nilai yang terkandung dalam setiap silanya justru makin relevan di tengah tantangan zaman.

Kita hidup di masa yang serba cepat, penuh tekanan sosial, dan mudah terbakar oleh perbedaan. Di sinilah Pancasila seharusnya hadir—bukan sebagai slogan kosong, tetapi sebagai arah hidup bersama.

Lihat saja isu-isu yang belakangan marak. Di tingkat lokal, masih sering kita temui konflik antarwarga yang berawal dari perbedaan agama atau keyakinan. Di media sosial, ujaran kebencian dan politik identitas seolah menjadi makanan sehari-hari. Belum lagi kasus kekerasan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial yang terus berulang.

Di sinilah kita perlu kembali ke sila kedua—Kemanusiaan yang adil dan beradab—yang mengajarkan kita untuk melihat orang lain sebagai sesama manusia, bukan sebagai musuh karena perbedaan.

Atau lihat bagaimana Persatuan Indonesia diuji setiap kali tahun politik datang. Perbedaan pilihan sering kali direspons dengan saling serang, bukan saling hormat. Sila ketiga yang mestinya mempersatukan, malah kalah oleh fanatisme sempit.

Begitu pula dengan sila keempat, yang menekankan pentingnya musyawarah dan kebijaksanaan dalam mengambil keputusan.

Baca Juga: Peran Generasi Muda dalam Menghadapi Tergerusnya Sila Kelima Pancasila

Di era ketika opini publik bisa dibentuk oleh viralitas, bukan oleh pertimbangan akal sehat, kita butuh lebih banyak ruang untuk berdialog dengan tenang. Demokrasi bukan hanya soal suara terbanyak, tapi juga soal mendengarkan yang minoritas.

Sementara itu, sila kelima tentang Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia masih terasa sebagai impian jauh bagi sebagian masyarakat.

Kesenjangan ekonomi masih tinggi, akses terhadap pendidikan dan kesehatan belum merata, dan suara dari daerah tertinggal sering kali tenggelam dalam hiruk pikuk politik nasional. Jika keadilan sosial masih belum dirasakan merata, wajar jika banyak anak muda merasa apatis.

Namun, bukan berarti Pancasila tidak bisa menjawab tantangan zaman. Justru, saya percaya bahwa Pancasila bisa menjadi jalan keluar—asal kita mau menerapkannya dengan jujur dan kreatif.

Anak muda hari ini hidup di dunia yang serba cair, penuh tantangan mental, krisis identitas, dan tekanan eksistensial. Dalam situasi ini, Pancasila bisa menjadi jangkar yang menstabilkan. Ia mengajarkan keseimbangan antara spiritualitas dan rasionalitas, antara hak individu dan tanggung jawab sosial.

Baca Juga: Ilmu Tanpa Nilai? Pancasila sebagai Penjaga Arah Inovasi

Misalnya, sila pertama bisa memberi arah moral tanpa memaksakan keyakinan. Sila kedua dan kelima menanamkan nilai keadilan dan empati, yang sangat penting di era digital yang kadang kejam.

Yang dibutuhkan sekarang adalah pembaruan cara pandang terhadap Pancasila. Pendidikan Pancasila di sekolah harus lebih kontekstual dan aplikatif, bukan sekadar hafalan. Pancasila harus dikaitkan dengan isu-isu nyata: intoleransi, perubahan iklim, kesehatan mental, bahkan etika bermedia sosial.

Bayangkan jika setiap anak muda memahami bahwa membagikan hoaks itu bertentangan dengan sila kedua dan keempat. Atau bahwa menjaga lingkungan adalah wujud nyata dari sila kelima.

Selain itu, para pemimpin juga harus memberi contoh. Pancasila tidak akan punya daya jika mereka yang duduk di kursi kekuasaan hanya menjadikannya jargon politik. Ketika integritas pemimpin sejalan dengan nilai Pancasila, maka publik pun akan ikut percaya.

Dan kita sebagai anak muda, punya peran besar juga. Jangan cuma menunggu. Kita bisa mulai dari hal kecil: memperlakukan teman beda agama dengan hormat, aktif dalam kegiatan sosial, atau kritis terhadap kebijakan publik dengan cara yang santun. Dengan cara itu, Pancasila nggak akan cuma jadi bagian dari buku teks, tapi hidup dalam tindakan nyata.

Pada akhirnya, menjawab pertanyaan “Pancasila, kamu masih ada buat aku nggak?” itu tergantung pada kita sendiri. Pancasila memang tidak pernah ke mana-mana. Tapi sering kali, kitalah yang menjauh darinya. Mungkin sudah saatnya kita kembali menyapa Pancasila, bukan dengan seremoni, tapi dengan aksi nyata.

Karena kalau bukan kita yang menghidupkannya, siapa lagi?

Penulis:
1. Mutiara Dwisyahfika
2. Sarah Putri Azizah
3. I Putu Hiroki MK
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Brawijaya

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

 

Ikuti berita terbaru di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses