Pandemi Covid-19 Mengancam Perbankan?

Covid-19 Mengancam Perbankan
Covid-19 Mengancam Perbankan

Untung rugi pandemi Covid-19 dan kebijakan pemerintah terhadap perbankan untuk mengatasinya

Adanya pandemi Covid-19 hampir melumpuhkan perekonomian nasional, bahkan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 pada kuartal kedua mencapai negatif 3,1%. Adanya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) secara tidak langsung menghambat roda perekonomian. Kebijakan ini membawa dampak terhadap seluruh sektor, terutama masyarakat yang bekerja di sektor informal. Demi memulihkan kondisi ekonomi, pemerintah memberikan kebijakan penerapan kebiasaan normal baru dengan membuka sejumlah kegiatan, termasuk aktivitas ekonomi dan tempat ibadah dengan tahapan yang ketat.

Bagaimana Pandemi Covid-19 Mengganggu Perbankan ?

Adanya pertumbuhan ekonomi negatif menyebabkan peningkatan tingkat pemutusan tenaga kerja dan pengangguran. Sehingga, menurunkan tingkat konsumsi masyarakat dan menurunkan permintaan terhadap perbankan. Disisi penawaran, akibat penghentian aktivitas bisnis, penjualan menurun dan banyak bisnis yang mengalami kerugian. Pengusaha dan pemilik dana di pasar modal melakukan mitigasi risiko dengan mengurangi uang yang telah diinvestasikan.

Risiko yang Dihadapi Perbankan Selama Pandemi Covid-19

Terdapat empat risiko dalam perolehan laba perbankan, risiko lingkungan yang disebabkan karena adanya pertumbuhan ekonomi negatif, peraturan pemerintah baru seperti adanya relaksasi kredit, risiko kredit karena naiknya kredit macet, dan risiko pasar karena adanya ketidakstabilan dari harga aset. Kedua, risiko penyerahan risiko yang disebabkan karena internal dari perbankan seperti risiko operasional, risiko teknologi, dan risiko strategis.

Bacaan Lainnya

Ketiga, risiko manajemen dengan adanya restrukturisasi kredit menyebabkan adanya kamuflase nasabah yang memiliki kredit macet karena profitabilitas. Dalam artian, nasabah tidak dapat membayar secara permanen akan terlihat seolah-olah lancar. Jika perbankan tidak memiliki kemampuan dan tidak jeli dalam melihat kondisi keuangan, nasabah akan berisiko mendapat masalah dikemudian.

Masalah yang timbul karena perbankan seolah mendapatkan pendapatan berlebih tetapi tidak merepresentasikan yang sesungguhnya. Untuk menanggulanginya, perbankan harus melakukan pencadangan kredit macet untuk nasabah tersebut. Keempat, risiko keuangan risiko yang berkaitan langsung dengan pengaruh internal dan eksternal seperti risiko likuiditas karena menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, risiko suku bunga, dan risiko internasional.

Pengaruh Relaksasi Kredit terhadap Perbankan

Relaksasi kredit pasti menyebabkan kekhawatiran sebagian besar perbankan, bahkan masyarakat awam. Bagaimana jika semua nasabahnya tidak membayar bunga ataupun pokok pinjaman yang akan berdampak pada likuiditas perbankan? Pada dasarnya semua masyarakat menginginkan menerima relaksasi kredit tetapi secara prinsip dan pelaksanaannya relaksasi kredit hanya diberikan kepada golongan tertentu.

Selain itu, sesuai syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan pada peraturan, yakni difokuskan kepada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Kebijakan relaksasi kredit juga disesuaikan dengan kondisi masing-masing nasabah, bisa berupa penurunan suku bunga kredit, perpanjangan waktu kredit, dsb.

Bagaimana Kondisi Perbankan Dimasa Pandemi ?

Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk, Jahja Setiaatmadja mengatakan secara umum perbankan masih baik. Mundurnya pembayaran bunga dan cicilan pokok belum tentu menyebabkan perbankan kewalahan tergantung pada bagaimana bank membuat kredit baru dan bagaimana kondisi perbankan. Sedangkan saat ini, permintaan kredit melemah. Jika perbankan dapat mengelola dengan baik, maka akan cukup untuk kegiatan operasional.

“Untuk situasi perbankan seharusnya secara industri baik, jika kita masuk kepada detail susah untuk di judge apakah semua baik karena secara general. Jika nasabah menunda pembayaran dan bunga apakah bank langsung kewalahan ? Jawabannya belum tentu, tergantung seberapa agresif mereka melepas kredit baru. Dalam keadaan normal memang bank butuh cicilan kembali, mendapat bunga, ada keuntungan, keuntungan untuk membiayai operasional, induk yang diberikan untuk memberi kredit baru,” ujar Jahja Setiaatmadja pada Rabu, 10 Juni 2020.

Bank akan memiliki masalah likuiditas apabila sebelum adanya pandemi bank tersebut sudah memiliki masalah likuiditas. Atau bahkan sumber pendanaan bank berasal dari obligasi dan saatnya jatuh tempo. Ada lagi ketika nasabah tiba-tiba menarik uang yang ia simpan dalam jumlah yang besar karena berkurangnya kepercayaan terhadap perbankan. Sehingga, masalah likuiditas dapat dikontrol dengan melakukan kontrol terhadap pemberian kredit baru.

Pengaruh Pandemi Covid-19 terhadap Fasilitas Perbankan

Kondisi pandemi Covid-19 mengharuskan masyarakat untuk beraktivitas di rumah. Hal ini memaksa masyarakat untuk beradaptasi dengan teknologi digital dan berdampak terhadap bertambahnya kesiapan masyarakat menghadapi era 4.0.

Dalam keterangan Jahja Setiaatmadja, digital payment Bank Central Asia naik sekitar 20% dan dinilai digital payment lebih efisien daripada melakukan pembayaran secara tunai. Pembukaan rekening melalui video banking juga dinilai lebih produktif karena tercatat telah melakukan pembukaan 5.100 rekening dalam satu hari. Sedangkan dengan 1200 cabang BCA sebelum adanya pembukaan rekening secara digital hanya melakukan transaksi pembukaan rekening sebanyak 3000 rekening dalam satu hari.

Bank juga sangat diuntungkan dengan adanya transaksi pembayaran e-commerce melalui virtual account atau topup karena dari transaksi tersebut masing-masing dikenai charge Rp 1.000. Meskipun charge atau imbalan dari transaksi virtual account maupun topup masih dibagi dengan pihak e-commerce, terdapat jutaan transaksi dalam satu hari. Inilah yang dapat menjadi pemasukan perbankan.

Melihat dari naiknya transaksi digital, bank harus mulai merevisi rencana pembangunan infrastruktur perbankan seperti rencana memperbanyak mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) atau pembukaan kantor cabang baru dan beralih kepada pembangunan fasilitas digital.

Kapan Perbankan Bisa Melakukkan Recovery ?

Penyembuhan perbankan maupun kondisi ekonomi nasional dapat dilakukan setelah menyembuhkan akar dari masalah, yaitu dengan mengendalikan Covid-19. Atau mungkin dapat menutup mata dengan adanya Covid-19, contohnya seperti yang diberlakukan di Brazil, maka perekonomian negara akan baik-baik saja. Dalam kondisi ini, kesehatan dan perekonomian adalah tradeoff yang sangat sulit untuk dipilih. Saat ini, Indonesia menerapkan new normal sebagai masa transisi untuk memulihkan kondisi perekonomian yang telah melalui pertimbangan saintifik. Diharapkan dalam kondisi new normal ini, kurva kenaikan kasus Covid-19 melandai sehingga pasien dapat ditangani dengan baik.

“Jika new normal dapat berjalan dengan lancar maka diperkirakan perekonomian dapat pulih dalam 3-6 bulan ke depan, tetapi perlu waktu yang lama untuk dapat kembali seperti semula,” tutup Jahja Setiaatmadja dalam webinar yang dilaksanakan oleh Bisniscom.

Via Zhaniar
Mahasiswa PKN STAN

Editor: Diana Intan Pratiwi

Baca Juga:
Fintech: Bank Jadi Merana?
Dampak Covid-19 terhadap Ekonomi maupun Bisnis Syariah serta Peran Lembaga Keuangan Sosial Islam
Pengaruh Pandemi Covid-19 terhadap Pergerakan Harga

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0811-2564-888
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.