Pemikiran Filsafat Pendidikan Romo Mangun Wijaya

mangun wijaya

Yusuf Bilyatra Mangun Wijaya atau yang akrab di telinga masyarakat Indonesia dengan sebutan Romo Mangun Wijaya adalah sosok yang dikenal sebagai pejuang Wong Cilik.

Usaha dan karyanya untuk membangun harkat dan martabat orang terpinggir semata-mata dilakukannya karena ingin mengabdi untuk kesejahteraan masyarakat.

Karakter yang kuat dan humanis sudah ada dalam sanubarinya yang diturunkan dari keluarga terutama ayahnya. Ia selalu mengingat nasihat ayahnya bahwa “hidup itu tidak hanya untuk mencari nasi dan uang tetapi mencari yang sejati (implementasi humanis).”

Bacaan Lainnya

Hal tersebutlah menjadi salah satu alasannya mengapa  ia memutuskan untuk menjadi seorang pastor dan mengabdi untuk masyarakat. Romo Mangun adalah anak sulung dari pasangan Yulianus Sumadi Mangun wijaya dan Serafin Kamdanijah[1].

Lahir dari pasangan yang berprofesi sebagai guru SD membuatnya semakin peka akan pentingnya pendidikan dari Sekolah Dasar. Berdasarkan pengalaman dan refleksinya beliau mendirikan Sekolah Dasar Eksperimen Mangunan. Sekolah tersebut mendapat ijin dari kementerian pendidikan dan kebudayaan pada saat itu. 

Baca juga: Istilah-Istilah Penting dalam Filsafat Ilmu

Pada saat remaja beliau sempat bergabung dalam prajurit BKR, TKR Divisi lll, Batalyon X, Kompi Zeni 1945-1946[2].

Ketika menjadi prajurit beberapa kali ia sempat terjun dalam pertempuran di Ambarawa, Magelang, dan Semarang. Keterlibatannya dalam pertahanan dan keamanan negara memberikan kesan yang mendalam akan arti hidupnya.

Hingga akhirnya ia merasa bahwa bukanlah masyarakat yang harus bersyukur dan memuliakannya karena jasa-jasanya. Justru masyarakatlah yang telah menolongnya dari kejahatan perang sehingga ia merasa memiliki utang kepada masyarakat.

Kemudian ia membulatkan tekadnya itu dengan mengambil langkah yang seratus delapan puluh derajat mengubah hidupnya, yakni pilihannya untuk menjadi seorang pastor. Hal tersebut adalah bukti komitmennya untuk mengabdi seutuhnya bagi masyarakat.

Baca juga: Mari Memahami Filsafat Ilmu

Sebagai seorang pastor, beliau tidak melakukan karya pastoral di paroki-paroki untuk mengembalakan umatnya. Ia justru memohon kepada Uskupnya untuk menjalani hidup “Ngrekasa” bersama masyarakat miskin untuk membangun harkat dan martabat mereka yang kerap kali tidak dianggap dan tidak punya akses pendidikan yang layak.

Filsafat Pendidikan Romo Mangun

Pokok-pokok pemikiran Romo Mangun dilatarbelakangi dari adanya masalah kurikulum yang ada di Indonesia. Menurut beliau kurikulum yang diterapkan terlalu sentralistik atau terpusat.

Sehingga banyak kesenjangan antara masyarakat yang berduit dengan masyarakat desa yang miskin. Kerap kali hanya orang-orang yang mapan yang mampu menyekolahkan anaknya di sekolah unggulan bahkan sampai pada perguruan tinggi.

Pola pendidikan di Indonesia telah menumpulkan daya kreativitas anak-anak. Para guru dipandang hanya sebagai seorang pawang yang menuntun anak-anak agar berjalan di jalur yang sudah ditentukan yang mana belum tentu baik dan sesuai dengan kepribadian anak.

Visi pendidikan Romo Mangun adalah memerdekakan manusia dari penindasan.  Hal ini mendorongnya untuk selalu komitmen total dalam pemerdekaan individu.

Visi pendidikan Romo Mangun juga dikenal dengan istilah Tri Bina. Tri Bina yang beliau maksudkan adalah membina manusia, bina usaha, dan bina lingkungan. Belajar dari pengalaman dan kenyataan pendidikan di Indonesia pada waktu itu, Romo Mangun mengajukan solusi alternatif dari polemik pendidikan di Indonesia.

Baca juga: Arti Filsafat Ilmu Pengetahuan

Strategi pendidikan dan Kebudayaan Rakyat Semesta (P dan K Rata)

Romo Mangun mengatakan bahwa pendidikan atau informasi bagaikan pedang bermata dua yakni di satu sisi ia dapat membela dan memperjuangkan hak-hak kaum yang miskin dan tertinggal dan di sisi lain ia dapat menikam kaum yang lemah pula.

Bagi Mangun Wijaya tidak ada pendidikan di dunia ini yang netral. Oleh karena itu pendidikan dan kebudayaan harus merata. Agar siswa dapat menjadi pribadi-pribadi yang sungguh berkembang dan bertanggung jawab.

Apa yang disampaikan Romo Mangun tersebut  rupanya masih relevan hingga saat ini. Bahwa siswa tidak hanya dimajukan dalam pendidikan yang setinggi-tingginya tetapi perlu juga penanaman nilai-nilai budaya yang sudah ada sejak zaman nenek moyang.

Sekolah harusnya bukan hanya wadah untuk menelurkan anak-anak yang cerdas saja, tetapi anak-anak yang cerdas dan berkarakter sesuai dengan budaya Indonesia. oleh karena itu ajaran cinta kasih, ajrih asih, toleransi dan menghormati orang lain harus tetap ditanamkan sedari Sekolah Dasar.

Perkembangan informasi dan teknologi yang semakin pesat, kerap kali membuai para siswa untuk belajar dan mencintai budaya-budaya luar yang dianggap lebih tren dan sesuai zaman. Sedangkan budayanya sendiri sering terlupakan dan sudah dianggap kolot.

Memang tidak semua budaya dari luar itu jelek, dan mencintai budaya lain itu juga bukanlah hal yang keliru. Namun sebagai orang Indonesia kita pun harus melestarikan budaya dan ciri khas kita sebagai orang Indonesia agar tidak kehilangan identitas dan lupa akan jati diri kita sebagai anak-anak Indonesia. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan kebudayaan.

Menurut beliau pemeliharaan kebudayaan harus bertujuan memajukan dan menyesuaikan dengan setiap pergantian alam dan zaman.

Selain itu memasukkan kebudayaan lain yang tidak sesuai dengan alam dan zamannya merupakan pergantian kebudayaan yang menyalahi tuntutan kodrat dan masyarakatnya, dan hal ini membahayakan[3].

Selain kita menyesuaikan dengan kebudayaan dari luar, kebudayaan sendiri harus terus dimajukan. Sebagai orang Indonesia kita harus selalu menjunjung tinggi budaya sopan satu dan saling menghormati satu dengan yang lain.

Dalam hal ini sekolah memiliki peran yang sentral untuk mendidik para siswa agar semakin terampil dalam melestarikan budaya-budaya di Indonesia. Pelestarian budaya tersebut dapat terwujud apabila para murid mendapat pendidikan karakter.

Pater Beek mengatakan bahwa pendidikan karakter pada dasarnya membimbing peserta didik untuk secara sukarela mengikatkan diri pada nilai[4]. Untuk  sampai pada tingkat tersebut harus ada peristiwa batin yang amat penting yang harus terjadi dalam diri anak[5].

Peristiwa ini disebut dengan conatio. Maka tugas sekolah juga harus sampai pada konatif ini di luar pendidikan intelektual. Langkah pendidikan konatif ini yang oleh Ki Hajar Dewantara disebut dengan kata-kata cipta, rasa, dan karsa.

Hal ini dilakukan bukan hanya penanaman doktrin-doktrin ajaran tentang belas kasih. Seperti yang dikatakan Romo Mangun sekolah harus menjadi tempat siswa belajar dan mengajar.

Artinya selain guru-guru yang memberikan contoh dengan mengajar penuh cinta kasih. Para murid setelah melihat contoh tersebut dapat tergerak untuk menjadi agen cinta bagi sesamanya.

Jadi perbuatan tersebut lahir karena kesadaran dan kebebasan bukan hanya melulu dari ceramah bapa ibu guru yang kerap kali membosankan anak-anak. Jadi tugas guru juga mengantar para muridnya sampai pada kesadaran pribadi untuk melaksanakan nilai-nilai.

Sampai akhirnya tepat seperti yang dikatakan profesor Ann Phoenix, seorang ahli psikologi perkembangan dan sosial bahwa “voluntary personal commitment to values” (komitmen atas kemauan sendiri untuk mewujudkan nilai-nilai[6].

Alfred Sius Ngese Doja
Mahasiswa Sekolah Filsafat Teologi Widya Sasana Malang-Prodi  Filsafat Keilahian


[1] Dkk Sindhunata, Y.B. Mangunwijaya Pejuang Kemanusiaan, ed. Dkk. Y.B. Priyanahadi (Kanisius, 1999).

[2] https://poltekamangun.ac.id/2018/07/16/biografi-singkat-romo-mangun/

[3] https://www.silabus.web.id/pendidikan-dan-kebudayaan-menurut-ki-hajar-dewantara/

[4] J.B Soedarmanta, PATER BEEK, SJ LARUT TETAPI TIDAK HANYUT, ed. Yon Lesek, pertama. (OBOR, 2008).

[5] Ibid.

[6] Ibid.

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI