Oleh: Diva Audrey Renata
Mahasiswi UIN Sunan Ampel Surabaya
Kesehatan mental tentunya penting untuk diperhatikan. Banyak orang sekarang yang kurang peduli dengan kesehatan mental dirinya sendiri. Padahal perlu kita ketahui bahwa sebenarnya kesehatan mental sangatlah penting bagi sesorang. Kesehatan mental dalam kondisi pandemik COVID-19/coronavirus disaese perlu penanganan tersendiri. Berubahnya aspek kehidupan yang dijalani pada kondisi pandemik sangat berbeda, seperti sosial distancing, karantina dan isolasi diri, yang dimana semua kegiatan dilakukan di dalam rumah. Berubahnya kegiatan yang terbiasa dilakukan seseorang sangat berpengaruh bagi kesehatan mentalnya.
Sebuah survei mengenai distres psikologis terkait COVID-19, dilakukan di Tiongkok, Hong Kong, Macau, dan Taiwan, melibatkan 52.730 responden. Hasil survei menunjukkan beberapa faktor yang berperan meningkatkan distres psikologis, seperti peningkatan gangguan cemas menyeluruh, panik, dan depresi. Umumnya wanita lebih rentan mengalami stres dan dapat mengalami post traumatic stress disorder / PTSD. Usia 18-30 tahun atau diatas 60 tahun lebih rentan, karena usia 18-30 tahun merupakan usia produktif dan lebih banyak mendapatkan informasi dari sosial media sehingga meningkatkan terjadinya stres. Sebenarnya, pengaruh sering melihat sosial media membuat mental remaja semakin terganggu. Banyak sekali berita di sosial media yang belum tentu jelas kebenarannya dan itulah salah satu yang menjadi faktor terganggunya mental remaja saat lebih sering melihat sosial media. Mengenai usia 60 tahun pun ada faktor yang membuat terjadinya stres, seperti tingginya tingkat kematian pada pasien berusia diatas 60 tahun membuat terjadinya distres psikologis yang meningkat pada kelompok usia tersebut.
Tingkat pendidikan yang lebih tinggi berkaitan dengan self-awareness terhadap kesehatan yang lebih tinggi, sehingga mereka mudah mengalami stres. Banyak sekali siswa maupun mahasiswa yang masuk dalam golongan remaja sangat sering mengalami stres saat pandemik seperti ini, rata-rata penyebabnya yaitu banyak pekerjaan sekolah yang menumpuk dan harus segera diselesaikan dalam waktu yang bersamaan. Adapun pekerja yang bermigrasi mengalami peningkatan distres terkait kekhawatiran risiko penularan dari transportasi publik, serta penurunan pendapatan akibat penundaan atau pengurangan pekerjaan.
Lalu, Faktor Apa yang Dianggap Menjadi Stressor Selama Karantina?
Durasi karantina yang lebih panjang dan belum tentu pasti sampai kapan berhubungan dengan meningkatnya gangguan mental. Ketakutan akan infeksi yang dialami dan menularkan ke orang lain. Ketakutan ini khususnya terjadi pada wanita hamil dan mereka yang memiliki anak kecil karena mereka tidak ingin tertular akan penyakit apapun. Frustasi dan kebosanan terjadi akibat seseorang kehilangan rutinitas harian, dan terjadi pengurangan kontak fisik dan sosial dengan orang lain, termasuk akibat perasaan menjadi terisolasi dari dunia sekitar. Tidak memiliki cukup cadangan kebutuhan dasar, seperti makanan, minuman, pakaian, atau akomodasi, termasuk obat-obatan hingga alat pelindung diri. Kekurangan informasi resmi dari pemerintah mengenai panduan langkah yang perlu dilakukan, pembagian tingkat berisiko, dan tujuan dari karantina. Informasi yang kurang ini merupakan salah satu prediktor timbulnya gejala PTSD.
Pasca karantina pun dapat menimbulkan stressor baru. Sebuah penelitian di Korea menyatakan gejala cemas dan kemarahan tetap bertahan pada 4 hingga 6 bulan setelah selesai karantina. Bukan berarti selesai karantina kecemasan akan hilang seketika, kecemasan dalam pikiran akan masih ada. Penurunan atau kehilangan sokongan finansial terutama bagi pekerja dengan tingkat pendapatan rendah. Hal ini menjadi faktor risiko terjadinya kemarahan dan ansietas di beberapa bulan setelah karantina selesai, serta berkembangnya distres sosio-ekonomi. Karena banyak kebutuhan yang belum terpenuhi dan tidak mudah untuk langsung bisa dipenuhi. Dan, adapun Stigma terhadap orang yang mengalami karantina berupa diperlakukan berbeda, dihindari, tidak diundang dalam acara sosial, dianggap menakutkan dan berbahaya, dianggap menularkan, serta mendapat kritikan. Bagi tenaga medis yang bekerja mengatasi wabah, mendapatkan pandangan dari keluarga bahwa pekerjaannya terlalu berisiko dan menimbulkan ketegangan di dalam keluarganya. Beberapa tenaga kesehatan maupun pasien yang dapat selamat dari wabah juga menunjukkan ketakutan untuk kembali bekerja karena merasa takut dirinya menjadi sumber penyebaran penyakit.
Bagaimana Penanganan Psikologi pada Masa Karantina?
Stress psikologi dapat menetap setelah selesai masa karantina, faktor yang mempengaruhi antara lain terdapatnya gejala yang berhubungan dengan infeksi virus selama masa karantina, kebutuhan yang tidak terpenuhi, aktivitas sosial, riwayat gangguan jiwa, dan kehilangan finansial. Telah diketahui dari sebuah systematic review bahwa pasien dengan komorbiditas gangguan mental akan membutuhkan dukungan ekstra selama masa karantina. Waktu karantina diupayakan sependek mungkin dan dengan batasan periode tertentu. Beberapa penelitian menyarankan durasi karantina dapat disesuaikan dengan periode inkubasi. Perpanjangan waktu karantina telah diketahui akan mengeksaserbasi gejala frustasi. Pemberian informasi yang adekuat oleh lembaga kesehatan resmi mengenai tujuan karantina dan pemahaman menyeluruh tentang penyakit yang dihadapi.
Informasi yang adekuat juga dapat berperan menurunkan stigma yang terjadi pasca karantina. Mengurangi kebosanan dengan tetap menjalankan kontak sosial melalui telepon atau media lain terutama dengan keluarga, orang yang dicintai, atau teman, serta tetap bekerja atau beraktivitas dengan memanfaatkan koneksi internet, termasuk tetap menjalani pendidikan jarak jauh bagi siswa. Mencari atau menyibukan diri dengan melakukan kegiatan positif yang sebelumnya belum pernah dilakukan. Penyediaan Support grup dari sesama orang yang menjalani karantina mandiri akan membuat seseorang merasa dimengerti, divalidasi, dan dikuatkan oleh sesama yang menjalaninya. Dan, Altruisme atau perasaan bahwa orang lain akan mendapatkan keuntungan dengan melakukan pengorbanan diri, termasuk melakukan karantina mandiri secara sukarela (home-based quarantine) dapat menurunkan tingkat stres yang dialami. Rasa terima kasih oleh otoritas kesehatan atas karantina mandiri yang dilakukan terbukti menurunkan gangguan jiwa.