Abstrak
Kemunculan Immaterial labour telah menjadi fenomena penting dalam era digitalisasi dan globalisasi. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki pengaruh kemunculan immaterial labour terhadap restrukturalisasi tenaga kerja dalam perusahaan.
Melalui pendekatan kualitatif, penelitian ini mengumpulkan data dari berbagai sumber, hasilya menunjukan bahwa immaterial labour telah mempengaruhi restrukturalisasi tenaga kerja dengan memunculkan kebutuhan dan keterampilan baru, seperti pemrograman, analisis data, dan manajemen konten digital.
Perusahaan harus menyesuaikan strategi mereka dalam merekrut, melatih, dan mempertahankan tenaga kerja yang sesuai dengan tuntutan immaterial labour untuk bersaing di pasar global yang semakin kompleks.
1.1 Pendahuluan
Antonio Negri adalah seorang Marxis dan pemikir Autonomia. Lahir di Veneto Italia Timur Laut pada tanggal 1 Agustus tahun 1933. Ayahnya adalah seorang militan komunis aktif dari kota Bologna (di wilayah Italia Timur Laut Emilia-Romagna).
Dia meninggal ketika Negri berusia dua tahun. Keterlibatan politiknya membuat Negri akrab dengan Marxisme sejak usia dini. Sementara ibunya adalah seorang guru dari kota Poggio Rusco (di Provinsi Mantua, Lombardy). Ia memulai karirnya sebagai seorang militan pada tahun 1950-an dengan aktivis organisasi pemuda Katolik Roma Gioventú Italiana di Azione Cattolica (GIAC).
Negeri menjadi seorang komunis pada tahun 1953–1954. Dia bergabung dengan Partai Sosialis Italia pada tahun 1956 dan tetap menjadi anggota sampai tahun 1963. Pada awal 1960-an, Negri diangkat sebagai profesor Dottrina Dello Stato di Universitas Padua.
Pada tahun 1969, ia ikut mendirikan asosiasi Potere Operaio (“Kekuatan Pekerja”) dan setelah pembubarannya pada tahun 1973, bergabung dengan Autonomia atau Potere Operaia (Kekuatan Pekerja), jaringan desentralisasi yang beroperasi di seluruh Italia.
Negri dikenal karena karya trilogi filsafat politik yakni: Empire (2000), Multitude (2004), dan Commonwealth (2009). Trilogi filsafat politik yang ditulis Negri bersama Filsuf Politik Amerika Michael Hardt, menjabarkan kritik dan visi tentang tatanan politik global, di satu pihak.
Di lain pihak visi dan kritik tatanan politik global ini menyiratkan aksi penyadaran demi transformasi struktur sosial, politik, budaya dan ekonomi dari fondasinya yang tiranik dan destruktif menuju struktur yang berbasis pada hidup, dan upaya agar setiap orang mampu ‘silih berbagi’ kehidupan[1].
Buku Empire (Harvard University Press, 2000), ditulis bersama dengan Michael Hardt, di mana mereka mencoba untuk menunjukkan bahwa konsep “Empire” adalah rezim baru globalisasi.
Hipotesis dasar mereka adalah bahwa kedaulatan telah mengambil bentuk baru, terdiri dari serangkaian organisme nasional dan supranasional yang disatukan di bawah satu logika aturan. Bentuk kedaulatan global baru inilah yang disebut Kekuasaan” (empire).
Baca juga: Perbandingan Hak Pekerja/ Buruh pada Undang-Undang Cipta Kerja dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan
2.1 Pembahasan
2.1.1 Pandangan Autonomia tentang Kerja Immaterial
Untuk membantu kita memahami apa itu Immaterial Labour, ada sebuah pandangan teoretis kontemporer dari gerakan intelektual Italia bernama Autonomia atau sering disebut dengan Operasimo dan Workersim, menganalisis secara tajam tentang dimensi politik dari kerja.
Perlu diketahui, Atonomia merupakan salah satu gerakakan yang muncul pada awal tahun 1950-an di Italia, yang kemudian melahirkan tradisi pemikiran kiri dengan tokoh-tokohnya seperti: Mario Tronti, Antonio Negri, Sergio Bolongna, Maurizio Lazaratto, Paulo Viono dan beberapa pemikir kiri Italia laninya.
Autonomia megajukan penafsiran kembali atas pemikiran Karl Marx. Formasi pemikiran yang diajukan tidak berkorespondensi dengan tradisi Marxisme Barat, melainkan berdasarkan interpretasi atas dinamika konflik yang terjadi di Italia setelah perang Dunia II.
Pada masa itu, para pekerja imigran dari selatan yang bekerja di pabrik-pabrik besar yang ada di Italia Utara melakukan penentangan terhadap Serikat buruh, Partai komunis, dan Negara melalui berbagai aksi kolektif seperti autoredeksi dan sabotase produksi.
Mereka kemudian mengorganisasikan diri kedalam berbagai organisasi dan gerekan yang bernaung secara nasional dengan kelompok yang disebut dengan Potere Operaio (kekuatan pekerja).
Tradisi Autonomia baru mulai masuk ke dalam gelanggang arus utama pemikiran kontemporer sejak penerbitan buku Empire (2000) oleh Michael Hardt dan Antonio Negri. Buku tersebut mengundang debat yang keras di kalangan akademis, terutama yang berhaluan kiri, karena caranya yang segar dan provokatif dalam membaca realitas kapitalisme dan globalisasi kontemporer.
Buku yang sering disebut-sebut sebagai Manifesto Komunis untuk abad 21 tersebut merupakan bagian pertama dari trilogi yang disusul berturut-turut dengan penerbitan Multitude (2004) dan Commonwealth (2009).
Melalui berbagai tulisan dari para pemikirnya, mazhab Autonomia berusaha mengungkapkan sifat-sifat dasar dari kerja di era globalisasi yang sering disebut era jejaring, post-modern, atau kapitalisme lanjut.
Hal yang menarik dari pandangan mereka tentang kerja adalah bahwa kerja di era kontemporer berbeda secara paradigmatis dibandingkan dengan bentuk-bentuk kerja di masa lalu sehingga tidak ada presedennya. Kerja bentuk baru tersebut yang disebut dengan “kerja Immaterial”.
2.1.2 Pandangan Michael Hard dan Antonio Negri tentang Kerja Immaterial
Menurut Hardt dan Negri, kerja immaterial adalah kerja yang memproduksi barang-barang immaterial seperti pengetahuan, informasi, komunikasi, relasi, atau respons emosional. Banyak di antara para pekerja lainnya, pekerja immaterial membutuhkan mobilitas dan fleksibilitas yang tinggi, seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, keuangan, transportasi, hiburan, dan periklanan[2].
Kerja yang tergolong dalam kerja imaterial tetaplah bersifat material, yakni melibatkan tubuh dan otak sebagaimana kerja material. Kerja immaterial juga dilakukan menggunakan alat-alat material (perawat, misalnya, dalam bekerja menggunakan perban).
Apa yang bersifat immaterial, sekali lagi, adalah produknya. Pada dirinya produk ini tidak dapat dihabiskan melalui konsumsi sekali untuk selamanya. Akan tetapi, produk kerja imaterial justru memperluas, mentransformasi, dan menciptakan lingkungan “ideologis” dan kultural dari konsumen. Dengan kata lain, produk kerja immaterial mentransformasi orang yang menggunakannya.”[3].
2.1.3 Jenis-jenis Pekerja Immaterial (Immaterial Labour)
Dari pembahasan di atas, mungkin kita berpendapat bahwa pekerja Immaterial adalah semua jenis pekerja yang memproduksi barang-barang immaterial atau barang-barang nonfisik. Misalnya para motivator, para dosen dan para guru, para vlogger, youtuber dan para tiktokers yang memproduksi konten-konten menarik berupa video-video audiovisual pada platform-platform yang dapat kita dengar dan nonton berulang-ulang.
Singkatnya kita memahami bahwa pekerja immaterial adalah pekerja yang menghasilkan barang-barang non fisik yang produknya tidak habis dalam sekali pakai. Agar tidak terjadi ambiguitas pemahaman terhadap pengertian immaterial labour, maka perlu adanya pengklasifikasian jenis-jenis pekerja immaterial.
Misalnya ada batasan lama yang biasa membedakan antara pekerja mental dengan manual, pekerja intelektual dengan pekerja fisik, dan pekerja individual dengan pekerja kolektif, tidak dapat lagi dipertahankan karena semua kategori tersebut kini menyatu ke dalam kerja imaterial. Berikut jenis-jenis pekerja immaterial tersebut.
1. Pekerja immaterial yang bercorak intelektual atau berhubungan dengan manipulasi simbol (linguistik) (pekerja Kognitif) [4].
Pekerja ini disebut sebagai pekerja koqnitif karena memproduksi pengetahuan, teks, simbol, imaji dan sebagainya. Ambil contoh mereka yang bekerja di sektor pemasaran, dengan kemampuan teknis mereka, mereka dapat melakukan survey mengenai selera pasar yang nantinya menghasilkan pengetahuan yang berguna bagi perusahaan yang menjadi klien mereka.
Contoh lainnya, mereka yang berkerja di sektor advertising, misalnya perikalanan-periklanan yang terdapat pada platform dan aplikasi-aplikasi seperti Youtube, Tiktok, Shooping, Lazada, Babe, dan lain sebagainya yang menyediakan produk berupa makanan, pakain dan bahkan perabot-perabot rumah tangga.
Sebisa mungkin mengandalkan kemampuan teknis dan seni mereka membuat iklan yang menarik khalayak banyak dengan beragam desain gambar dan sesi pemotretan barang yang dibuat sedemikian rupa agar terlihat menarik sehingga memudahkan kita menemukan barang-barang yang sesuai dengan keinginan kita.
Keahlian yang diperlukan disini adalah kreativitas, daya imajinasi dan kecakapan pekerja dalam berinovasi sehingga produk yang dipasarkan mengikuti trend dan mengikuti zaman, sehingga menarik minat banyak orang terkhusus anak muda yang ingin berpenampilan trend dan mengikuti zaman.
2. Pekerja immaterial yang menghasilkan afeksi seperti rasa aman, nyaman, kepuasan, kesenangan, keramahan, dsb (pekerja Afektif) [5]
Jenis pekerja immaterial yang satu ini sering kita temui hamper di semua tempat seperti Kasir di Mini market, para pekerja konter, pegawai Bank, Pramugari, misalnya, menggunakan kata-kata yang sudah dilatih sebelumnya untuk diterapkan pada konsumen agar menimbulkan kesan ramah dalam melayani sehingga konsumen pun merasakan kenyamanan dan kepuasan.
Pelayan yang ditekan oleh prosedur 3S (Senyum, Sapa, Salam) misalnya, juga termasuk. Segala keramahtamahan itu datang bukan secara ‘tulus’ dari hati para pekerja, tetapi imperatif dari perusahaan. Sehingga keramahtamahan itu hanya menjadi standar prosedur pelayanan saja agar menrik minat konsumen.
2.1.4 Perbedaan Pekerja Material dan Immaterial
Setelah mengenal dan mengetahui jenis-jenis pekerja immaterial dari pembahasan di atas, maka pemahaman kita akan pekerja immaterial memjadi lengkap apabila kita sudah tau membedakan pekerja immaterial dengan pekerja material. Perbedaan tersebut yakni perbedaan dari segi hasil produksinya dan dari segi sifat kerjanya.
1. Dari segi hasil produksinya
Menurut Maurizio Lazaratto, seorang pemikir Autonomia dari Italia, berpendapat bahwa Pekerja immaterial memproduksi produk (informasi selera pasar) yang nantinya menciptakan kegiatan produksi di pabrik (barang diproduksi) yang nantinya produk riil itu dikonsumsi konsumen (barang dibeli) setelah barang tadi dimasukkan konten kultural kedalamnya (dibuatkan iklan).
Komunikasi adalah kuncinya. Dengan berbagai bentuk komunikasi, misalnya survei dan iklan, pekerja immaterial berfungsi memuaskan permintaan sekaligus menciptakan permintaan konsumen. Yang kemudian menarik, produk pekerja immaterial jika dikonsumsi tidaklah hancur, tetapi malah meluas dan menciptakan lingkungan ideologis dan kultural untuk konsumen[6].
2. Dari segi sifat kerjanya[7]
Dari segi sifat kerjanya, pekerja immaterial dibagi dalam dua bentuk antara lain,
a. Pekerja imetrial mengubah konsep tempat dan waktu kerja.
Negri mengungkapkan bahwa pekerja immaterial berkerja di sebuah ‘pabrik yang tak berdinding’ sehingga lokus kerja mereka tidak terlihat karena mereka berkerja di masyarakat secara luas (diffuse factory). Artinya, pekerja immaterial (kognitif atau afektif) tak berkerja di sebuah tempat yang lokal.
Mereka bisa bekerja di kamar tidur mereka, atau bahkan bekerja di ruang tamu calon konsumen. Semua itu dimungkinkan karena teknologi komunikasi. Seorang kepala tim pemasaran masih bisa berkomunikasi sekaligus memantau pekerjaan anak buahnya melalui internet. Sedangkan untuk waktu, lepas dari jam lembur, pekerja immaterial selalui dihantui deadline.
Maka dengan hantu yang terus membayanginya itu, dia tidak bisa hanya menggunakan waktu jam 9 sampai jam 5. Ketika dia di rumah, hendak beristirahat pun dia masih bisa berkerja. Atau bahkan, mengingat produknya yang sangat bekaitan dengan seni (new media art misalnya), inspirasi bisa datang kapan saja.
Ketika inspirasi itu datang, sontak pekerja immaterial bisa langsung bekerja. Atau ambil contoh usaha Google yang mencoba membuat tiap kantornya agar terasa seperti rumah. Kantor-kantor Google memberikan fasilitas yang sangat nyaman yang hanya, kira-kira, bisa didapat hanya di rumah.
Singkatnya, pekerja immaterial tidak dapat lagi membedakan mana tempat serta waktu kerja dan mana yang bukan, mereka dituntut untuk serba fleksibel dan mobile. Semakin blur mana hidup mana kerja, maka bukan kebetulan jika kita sering mendengar idiom ‘kerja adalah hidup, hidup adalah kerja’.
b. Berbeda dengan pekerja material atau manual, konsep kerja itu sendiri berubah di pekerja immaterial. Jika pekerja pabrik hanya bekerja sesuai dengan komando atau tugasnya saja, pekerja immaterial dituntut menjadi subjek yang aktif, yang mempunyai inisiatif, kreativitas dan inovasi.
Dalam pabrik, kapitalis mengumpulkan para pekerja untuk di dalamnya bekerjasama dan berkomunikasi untuk menghasilkan barang jadi. Namun pekerja immaterial kini harus aktif bekerjasama dan berkomunikasi satu-sama lain tanpa harus dikumpulkan terlebih dahulu oleh kapitalis.
Pekerja immaterial harus berkompetensi di bidang-bidang komunikasi, manajemen dan kreativitas. Pekerja immaterial harus bisa mencari informasi sendiri, kemudian membangun relasi sendiri dan menghasilkan ‘produk’ sendiri. Wartawan misalnya, dia harus mencari berita yang tak hanya substansial saja sifatnya, tetapi juga sellable.
Kemudian membangun relasi dengan narasumber untuk diwawancara lalu pada akhirnya menjadi produk berita informasi. Dari sisi ini, Negri melihat otonomi pekerja immaterial yang relatif besar terhadap kapital, dan ia optimis mengenai itu.
2.1.5 Restrukturalisaisi Tenaga Kerja
Untuk membantu memecahkan persoalan-persoalan kehidupan, manusia menciptakan robot. Namun seiring berjalannya waktu, kepunahan spesies manusia semakin terlihat karena beberapa dari robot ini kemudian dimodifikasi dengan teknologi yang modern dan menjadi begitu pintar, sehingga menjadi ancaman bagi cara berpikir dan keberadaan manusia itu sendiri.
Situasi inilah yang disebut sebagai ancaman dari system automatisasi mesin terhadap tenaga kerja manusia. Dan pada saat yang sama, apa yang kita sebut sebagai mesin supercerdas massa depan memaksa kita untuk memeriksa kembali apa artinya menjadi manusia[8].
Junaid Mubeen, dalam bukunya Kecerdasan Matematis, mengulas kisah tentang superioritas manusia atas mesin, di mana ia sebenarnya mau menekankan bahwa apa yang manusia miliki ini sesungguhnya tidak dimiliki oleh robot.
Buku ini memberi pemahaman kepada kita bahwa sebenarnya, manusia melalui jutaan tahun evolusidan penyempurnaan yang secara terus-menerus telah memiliki keunggulan kreatif lebih dari computer. Ia telah membekali dirinya sendiri dengan kecakapan untuk menjinakkan berbagaii makluk digital berbahaya ini.
Sesungguhnya penulis ingin nmemandu kita untuk mempertajam kecakapan tersebut agar kita menjadi tangguh dan mampu bersaing dengan teknologi.
Dewasa ini, modernisasi telah selesai dan kita telah memasuki era ketiga yanki era Ekonomi Post modern. Di era ini, pekerjaan, umumnya menggantikan manusai dalam mengerjakan sesuatu.
Misalnya sebuah produksi yang semula menggunakan tenaga kerja manusia mulai menggunakan mesin dan robot yang super canggih guna meningkatkan hasil produksi dan efektivitas kerja dalam perusahaan, sehingga persaingan antar perusahaan semakin ketat.
Bermacam-macam upaya dibuat perusahaan supaya yang didirikan bisa bertahan dan berkembang sesuai kapasitas pekerjanya masing-masing. Perusahaan harus menilai kinerja karyawan serta melakukan beberapa perbaikan agar dapat berkembang dengan baik. Salah satu strategi untuk memperbaiki dan memaksimalkan kinerja perusahaan adalah dengan cara restrukturisasi tenaga kerja perusahaan.
David menyatakan “restrukturalisasi atau disebut downsizing atau delayering, sebagai kejadian yang menyebabkan perusahaan dapat mengurangi karyawan, unit karyawan atau divisi karyawan ataupun pengurangan tingkat jabatan dalam struktur organisasi diperusahaan”.
Adapun dalam bukunya Wahyono juga menyatakan “restrukturalisasi adalah upaya pengelolaan perusahaan supaya baik. Namun, pemikiran itu menyangkut bahwa struktur perusahaan, pembagian tugas, pembagian kewenangan dan pembagian beban tanggung jawab masing-masing struktur perusahaan dapat dicapainya”[9].
Restrukturisasi merupakan penataan ulang struktur kepemilikan, operasional dan struktur lainnya dengan tujuan agar perusahaan lebih menguntungkan dan kinerjanya lebih baik. Restrukturisasi dapat merubah asset, kepemilikan dan penggabungan perusahaan dengan melakukan aliansi dengan tujuan untuk meningkatkan nilai perusahaan dan memaksimalkan kesejahteraan pemilik saham.[10]
Dari pengertian diatas, maka dapat dikatakan restrukturalisasi tenaga kerja merupakan strategi yang dilakukan perusahaan dalam meningkatkan operasi perusahaan dengan tujuan agar perusahaan dapat bertahan, bersaing dan berkembang.
Strategi restrukturalisasi perusahaan terdiri dari tiga model yaitu, restrukturalisasi keuangan, restrukturalisasi portofolio dan restrukturalisasi organisasi[11].
1. Restrukturalisasi Keuangan
Restrukturalisasi keuangan adalah suatu upaya untuk menghindari likuidasi (kebangkrutan) perusahaan. Biasanya melibatkan pihak ketiga guna mencapai kesepakatan guna mencapai klaim kreditur berdasarkan [ersyaratan dan ketentuan tertentu.
Restrukturalisasi keuangan bias dilakukan dengan menungkatkan likuiditas, mengurangi risiko, menghilangi kehilangan control, menurunkan biaya modal dan memperbaiki nilap pemilik saham serta alasan lainnya.
2. Restrukturalisasi Portofolio
Restrukturalisasi portofoli merupakan bentuk kepemilikna dengan melakukan self-off atau menggantikan jenis asset lain yang tidak diingingkan dengan asset yang diinginkan. Restrukturalisasi portofolio sebenarnya rekonstruksi lini bisnis perusahaan, baik dengan meningkatkan atau menurunkan divestasi.
3. Restrukturalisasi Organisasi
Resstrukturalisasi Organisasi berawal dari adanya perubahan kebijakan sumberdaya manusia, dengan melakukan perampingan sumberdaya manusia, mengubah struktur organisasi untuk memulia strategi bisnis baru. Ada beberapa gejalah yang mengindikasi perluu adanya restrukturalisasi organisasi.
Gejalah tersebut meliputi, komunikasi organisasi tidak konsisten, tidak efissiennya teknologi dan inovasai menciptakan perubahan alur ketiga dan proses produksi, peninggkatan atau penurunan staf secara signifikan, kemampuan dan keterampilan buruh diperlukan untuk memenuhi operasional yang diharapkan.
Baca juga: Pentingnya Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam Meningkatkan Produktivitas Karyawan
2.1.6 Pengaruh Kemunculan Immaterial Labour terhadap Restrukturalisasi Tenaga Kerja
Ernest Mandel, seorang Marxis-revolusioner asal Belgia. Ia berpendapat bahwa manusia kini berada dalam era ‘revolusi teknologi ketiga’, yang signifikansinya sama besarnya dengan revolusi-revolusi teknologi sebelumnya-revolusi agrikultur dan industri.
Mandel menyatakan bahwa di zaman revolusi teknologi ketiga ini, akan datang ‘the end of work’, yakni saat robot-robot dan komputer supercanggih menggantikan pekerja-pekerja pabrik sehingga kelompok orang yang disebut pekerja pabrik tak ada lagi.
Mesin otomatis di sepanjang assembly line pabrik-pabrik mobil, komputer Deep Blue, robot Asimo, dan perkembangan teknologi lainnya merupakan bagian dari kehidupan kita sekarang ini [12].
Jika kita memahami prediksi ini jika dirasa-rasa, asumsi Mandel sepertinya akan terbukti tak lama lagi. Dunia sekarang ini dikenal dengan berbagai macam nama ada yang mengatakan ini adalah era post-modern, era revolusi industry 4.0, era, periode globalisasi 3.0 dan masih banyak istilah lainnya.
Sebenarnya tidak ada perbedaan makna yang begitu jauh antara istila-istila tersebut. Istilah-istilah tersebut mengacu pada satu pemahaman yang sama akan gambaran kegiatan produksi dan konsumsi di zaman sekaran.
Di mana produksi dan konsumsi era ini lebih berorientasi pada kecanggihan teknologi dan otomatisasi serta kecerdasan buatan atau istilanya AI (Artificial Intelegence) yang akan mengubah kinerja sektor industri menjadi lebih efisien dan produktif, karena pekerjaan yangdahulu dilakukan oleh manusia mulai digantikan oleh tenaga mesin yang secara otomatis melakukandan mengatur pekerjaan dengn cepat.
Berdasarakan penjelasan singkat ini penulis mencoba menguraikan bahwa ada dua jenis pengaruh dari kemunculan immaterial labour terhadap Restrukturalisasi tenaga kerja yakni pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung.
1. Pengaruh Langsung
Hardt dan Negri memberikan setidaknya tiga pembuktian kualitatif mengenai pengaruh dari kemunculan immaterial labour terhadap pekerja [13].
a. Pertama, kini sektor ekonomi agrikultur dan industrial semakin dijalankan dengan cara yang sesuai dengan kualitas-kualitas pokok yang melekat pada model ekonomi post-modern yang menekankan informasi dan pengetahuan.
Sama seperti ketika era modernisasi menyebabkan terjadinya industrialisasi dalam sektor ekonomi lain dan bahkan masyarakat secara umum, demikian juga era post-modernisasi menyebabkan terjadinya informatisasi dan “jasaisasi” dalam seluruh sektor ekonomi dan kehidupan sosial.
Agrikultur, misalnya, kini semakin banyak menggunakan inovasi biologis dan biokimia seiring dengan pemanfaatan teknologi-teknologi baru seperti rumah kaca, pemanasan buatan, dan pertanian tanpa tanah. Demikian pula dengan produksi industrial. Kini produksi ini semakin terinformasionalisasikan melalui penggunaan teknologi komunikasi di dalam proses produksinya.
b. Kedua, semakin dihargainya dimensi imaterial yang termuat dalam sebuah produk. Hal ini muncul melalui fenomena seperti paten, hak cipta, dan produk-produk hukum internasional yang menjadikan barang imaterial sebagai bagian dari hak privat yang dapat dimiliki secara eksklusif oleh seseorang atau sebuah perusahaan.
c. Ketiga, jaringan tersebar yang merupakan kekhasan dari produksi imaterial kini semakin berkecambah di sekujur kehidupan sosial sebagai cara untuk mengetahui segala hal, mulai dari fungsi saraf sampai organisasi teroris.
Selain tiga pengaruh yang disebutkan diatas, penulis menambahkan beberapa pengaruh lngsung dari kemunculan immaterial labour terhadapa restrukturalisasi tenaga kerja antara lain:
a) Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan keputusan yang diambil perusahaan untuk menghindari kebangkrutan akibat resesi ekonomi. Biasanya PHK dilakukan karena jumlah permintaan konsumen lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah produksi, sehingga salah satu cara yang dilakukan perusahaan agar terjadi keseimbangan modal dalam perusahaan adalah dengan megurangi jumlah tenaga kerja yang beoperasi dibidang produksi.
Selain faktor dalam perusahaan, faktor lain yang menyebabkan pekerja di-PHK adalah factor internal individu sendiri seperti minimnya kreativitas, skill dan pengetahuan dibidang tertentu dalam hal ini SDM pekerja itu sendiri. Sehingga posisi pekerja tersebut digantikan dengan pekerja yang lebih unggul dibidang yang dibutuhkan perusahan.
2. Pengaruh tidak langsung
Karena maraknya para pekerja immaterial maka beberapa posisi pekerja di beberapa bidang secara tidak langsung bergeser. Saya mengambil contoh para penjual kaset DVD.
Sebelum berkembangnya platform-platform online seperti YouTube, TikTok, Spotify dan aplikasi-aplikasi online lainya juga situs-situs online untuk menonton film, mendengar lagu, kaset dan CD ROM adalah salah satu yang menguasahi pasar music dan video, khususnya film-film, namun seiring berkembangnya IT dan AI (artificial Inteligent).
Orang lebih memilih mengisi paket dan menonton film dan mendengarkan lagu-lagu dari youtube, vitmate, tik-tok, spotify dan aplikasi-aplikasi lainya.
Contoh lain, misalnya dibidang pemasaran dan layanan iklan, dulu sebelum mengenal aplikasi-aplikasi pemasaran pakaian, makanan dan perabot rumah tangga, seperti aplikasi Lazada, Shooping, Babe, Market Place dan lainnya, orang mempromosi barang-barang secara langsung, melalui brosur dan para Selles yang menjual sekaligus mempromosi barang dengan berjalan kaki.
Namun sekarang posisi selles sudah digantikan karena sudah tidak relevan lagi dizaman ini. Dengan demikian para pekerja dibagian-bagia tersebut secara tidak langsung telah digantikan oleh para pekerja immaterial (Immaterial Labour).
3.1. Metode
Metode yang digunakan penulis dalam penulisan karya tulis ini adalah metode analisis kulitaitatif dan motode pustaka di mana penulis mengumpulkan sumber-sumber dari jurnal-jurnal dan buku-buku sebagai sumber acuan dalam menulis karya tulis ini. Penulis juga menggunakan pendekatan
Baca juga: Tantangan Ekonomi bagi Generasi Z: Mencari Pekerjaan di Era Digital
4.1. Penutup
4.1.1 Kesimpulan
Generasi kita saat ini telah memasuki era baru yang disebut Era Revolusi Industri 4.0 dan era periode globalisasi 3.0. Artiya bahwa kita telah melewati empat tahap revolusi industri dan tiga tahapan perkembangan globalisasi.
Era baru, era revolusi industry 4.0 dan periode globalisasi 3.0 ini ditandai dengan terdistrubsinya aktivitas manusia dalam berbagai bidang tidak hanya di bidang teknologi, namun juga bidang lain seperti ekonomi, sosial budaya dan politik.
Di sektor ekonomi telah memasuki paradigma ekonomi ketiga. Hard dan Negri yang menyebutnya dengan ekonomi post-modern. Dalam era ini, sektor ekonomi berbasis jasa dan informasi menjadi sektor yang hegemonis.
Perubahan menuju paradigma ekonomi post-modern membawa pula perubahan pada kualitas dan sifat dari kerja. Kerja yang dilakukan dalam era ekonomi post-modern inilah yang disebut dengan istila “kerja immaterial“(Immaterial labour).
Para pekerja yang melakukan pekerjaan immaterial: yakni mereka yang bergerak di bidang jejaring pengetahuan, pelayanan jasa (misalnya; ojek online, para medis, pemotong rambut,yotuber dan sebagainya) dan afeksi.
Orang-orang yang menggeluti pekerjaan ini membangun dan mengembangkan jejalin interaksi sosial, kooperasi, dan kolaborasi. Jejalin interaksi sosial dan kooperasi yang dibangun para pekerja di bidang ini bersifat lintas sekat berbagai moda pekerjaan. Dalam hal ini, para pekerja ini memunculkan kondisi untuk selalu berbagi informasi, pengetahuan, penghargaan dan motivasi di antara pekerja.
Selain itu, pekerja di bidang ini pula menggantikan peran ‘kelas menengah’ atau ‘civil society’ yang bekerja di perusahaan jasa atau perusahaan biasa yang sudah maju teknik produksinya karena menggunakan mesin dan robot yang berteknologi tinggi.
Di era sekarang, era postmodernisasi dan otomatisasi bidang pekerjaan, umumnya telah menggantikan manusia dalam mengerjakan sesuatu. Misalnya kegiatan produksi perusahaan yang menggunakan mesin dan robot.
Maka tidak bisa dipungkiri ini merupakan ancaman bagi pekerja-pekerja dengan tingakat SDM, skill atau bakat dan kreativitas yang rendah dalm bekerja karena hamper semua bidang dikuasai oleh mesin-mesin dan robot.
Menghadapai situasi ini, perusahaan tidak sungkang-sungkang mengambil kebijakan untuk melakukukan restrukturalisasi bagi para pekerja dengan tujuan agar pruduktivitas produksi perusahaan semakin baik dan dapat bersaing.
Menghadapi situasi dan nasib pekerja manual saat ini, penulis menganjurka beberapa saran dan upaya agar pekerja dapat bersaing dengan hegemoni mesin dan robot yang semakin marak di perusahan-perusahaan swasta maupun negeri saat ini.
Karena bagaimana pun, mesin dan robot adalah hasil ciptaan dan rekayasa manusia untuk memudahkan manusia dalam pekerjaan bukan menggantikan keberadaan manusia itu sendiri. Upaya-upaya tersebut yakni upaya dalam diri sendiri dan upaya dari pemerintah.
a. Upaya dalam diri
Mengahadapai situasi dominasi mesin dan robot di dunia produksi saat ini, di mana hampir semua lini produksi dikuasai oleh pekerja-pekerja yang mempunyia keahlihan dalam mengoperasi IT, maka perlu adanya upaya-uapaya dalam diri individu calon pekerja itu sendiri. Misalnya membekali diri dengan berbagai jenis pengetahuan dan keahlihan dalam mengoperasi teknologi dengan mengikuti kursus dan pelatihan-pelatihan.
b. Upaya dari pemerintah
Mengahdapi kondisi pekerja dan calon pekerja di era ini, maka pemerinta mempunyai peran juga dalam mengembangakan SDM para pekerja dalam mengatasi PHK pekerja dari perusahaan dan juga mengurangi tingakat pengangguran.
Misalnya menyediakan Work Shop tempat pelatihan tenaga kerja, mengadakan kursus-kursus dan pelatihan-pelatihan bagi para calon tenaga keraja, juga membuka lapangan pekerjaan bagi para pekerja yang minim skli dan keahlihan di bidang IT.
Perlu juga peran pemerintah dalam mengembangkan kualitas sekolah-sekolah kejuruhan untuk menyiapkan calon-calon pekerja sejak dini.
Penulis: Fransisco Tae
Mahasiswa Filsafat, Universitas Katholik Widya Mandira-Kupang
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Referensi
Djunatan, Stephanus. “Antonio Negri: Revitalisasi ‘Kultur Silih Berbagi.’” Melintas 29, no. 2 (2013): 144–62.
Hardt, Antonio Negri dan Michael. Multitude: War and Democracy in the Age of Empire. New York: The Penguin Perss, 2004.
Mauben Junaio. Kecerdasan Matematis. Jakarta: PT Pustaka Alvabet, 2022.
Prasetyo, A. Galih. “Hegemoni Kerja Imaterial Sebagai Peluang Resistensi Terhadap Kapitalisme Dalam Perspektif Autonomia.” Diskursus – Jurnal Filsafat Dan Teologi Stf Driyarkara 12, no. 2 (2013): 217–52. https://doi.org/10.36383/diskursus.v12i2.105.
Saragih, Indah, Budiman Ginting, Sunarmi, and Agusmidah. “Analisis Yuridis Restrukturisasi Perusahaan Yang Mengakibatkan Pemutusan Hubungan Kerja Secara Sepihak.” Jurnal Darma Agung 20 (2) (2020): 414.
Sargani, Fajar. “Mengenal Pekerja Immaterial.” Indoprogress.Com, 2015, 1–5.
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News