Pengusahaan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Lestari: Pengelolaan Cermat, Pemanfaatan Tepat, Masyarakat Sejahtera

Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK): Getah Karet
Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) : Getah Karet

Pendahuluan

Paradigma pada sektor kehutanan memandang hutan adalah sumber daya yang memiliki sifat yakni: multi-fungsi, multi-guna dan multi-kepentingan. Di mana pemanfaatan sumber saya hutan diarahkan untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat sebesar-besarnya.

Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) merupakan sumber daya yang terdapat di alam dengan memanfaatkan segala sumber daya terkecuali kayu. Selain itu HHBK juga merupakan sumber daya yang mempunyai keunggulan secara komporatif dan paling banyak bersinggungan dengan kepentingan masyarakat.

Dilihat dari jenisnya, HHBK terbagi menjadi tiga jenis yakni kelompok getah-getahan, kelompok biji-bijian dan kelompok daun atau akar.

Baca Juga: Eksplorasi Sumber Daya Alam atau Membangun Human Capital, Mana yang Sebaiknya Dipilih Oleh Pemerintah?

Bacaan Lainnya

Adapun komoditi HHBK yang berpotensial untuk dikembangkan antara lain: gula aren, sereh wangi, daun kayu putih, kopi, getah pinus, madu, rumput gajah, gamal, cengkeh, rotan, aren, gaharu, kulit kayu, getah, kemenyan, sagu, kenari, kemiri dan sebagainya.

Menurut data Bappenas (2022), potensi HHBK Indonesia yang tercatat sebesar 66 juta ton per tahun. Lalu di tahun 2020, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Indonesia dari HHBK sebesar Rp4,2 miliar merupakan angka yang cukup besar dalam pemanfaatan HHBK.

Diketahui bahwa HHBK bukan hanya berperan pada aspek ekologis saja tetapi juga mempunyai peran dan fungsi tertentu dalam menunjang keberhasilan suatu ekosistem. Jika dilihat dari aspek ekonomi, HHBK menjadi sumber penghasilan bagi pemerintah dan terkhusus bagi masyarakat sekitar hutan.

Sedangkan pada aspek sosial & budaya, masyarakat ikut turut dilibatkan dalam pengelolaan dan pemanfaatannya sehingga dapat menyerap tenaga kerja dengan jumlah yang cukup besar dan berdampak pada penurunan angka pengangguran.

Akan tetapi dalam proses pemanfaatan HHBK terdapat faktor yang menjadi kendala dalam pengembangan HHBK di antaranya yaitu: 1) Keterbatasan modal, yang terjadi pada kelompok tani hutan di mana modal menjadi penting dalam melakukan pengolahan dan pengembangkan HHBK; 2) Skala pemanfaatan yang rendah, tidak semua HHBK dapat termanfaatkan oleh kelompok tani hutan karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman dalam pengelolaan; 3) Pengelolaan masih dalam skala kecil; 4) Peraturan tidak mendukung dan kurangnya penguasaan iptek oleh masyarakat (Palmolina, 2014).

Pemanfaatan HHBK di Negara Tropis Dunia

Perubahan tenurial, pasar global dan domestik serta tata kelola telah mengubah konteks usaha hutan berbasis masyarakat beroperasi.

Luas hutan di bawah kepemilikan hutan rakyat meningkat menjadi dua kali lipat dalam satu dekade terakhir menyebabkan sebagian besar negara-negara tropis mulai menerapkan usaha hutan berbasis masyarakat menjadi dua kali lipat dalam periode waktu yang sama.

Dengan adanya pertambahan populasi di negara berkembang telah memicu adanya pertumbuhan yang tinggi pada tingkat konsumtif dari pemanfaat produksi kayu dan bukan kayu.

Sementara pada negara maju berupaya memperluas penggunaan hasil hutan mereka terutama akibat adanya imigrasi dan negara-negara berkembang (Scherr, White & Khare, 2004).

Baca Juga: Pengusaha Tidak Harus Tua!

Negara-negara tropis juga merupakan negara yang menjadi pemain utama dalam usaha hutan berbasis masyarakat yang semakin signifikan di pasar domestik dan global.

Usaha berbasis masyarakat disukai karena adanya kondisi sosial, pasar, dan kebijakan peraturan, status tenurial dengan memiliki rekam jejak keberhasilan dalam pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat.

Negara tropis juga berkontibusi pada sektor ekonomi dan kesejahteraan masyarakat melalui penciptaan lapangan kerja dan investasi pada barang dan jasa, sosial, konservasi sumber daya alam dan budaya (Scherr dkk, 2004).

Analisis usaha hutan bebasis masyarakat dimana masyarakat pedesaan secara kolektif megelola produksi, pengolahan/ perdagangan barang dan jasa serta pengelolaan agroforestri memiliki hak dan akses oleh pemerintah setempat.

Sebagai contoh negara Guatemala dengan pemanfaatan HHBK berupa komuditas Arbol Verde dan Cermelita. Sedangkan negara  yang memanfaatkan ekowisata sebagai usaha hutan berbasis masyarakat adalah Mesiko yaitu wisata Santa Catarina Ixtepeji (CFE ITTO, 2007).

Pada pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat di negara Mesiko melepaskan kendali negara atas pemasaran hasil hutan dan aturan asosiasi untuk proses pemanenan dan pemasaran di mana mengalihkan tanggung jawab pada pemerintah daerah sehingga dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat atas keputusan zonasi dan pengelolaan hutan yang telah diakui.

Pada negara Gambia menyoroti pentingnya HHBK sebagai dasar aliran  pendapatan negaranya dengan melakukan pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat.

Melalui intervensi yang tepat maka upaya untuk meningkatkan produksi dan nilai madu di sejumlah negara seperti Afrika akan sangat menjadi peluang bagi negaranya.

Analisis Stakeholder dalam Pengelolaan HHBK sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat

Komoditas HHBK yang banyak dimanfaatkan disaat ini adalah getah pinus dengan jenis pinus merkusii atau di Indonesia dikenal dengan tusam yang berasal dari famili pinaceae dengan genus pinus.

Pinus tumbuh subur di wilayah indonesia bagian barat terutama pada Provinsi Jawa Barat. Faktor utama tumbuh suburnya pinus adalah sangat cocok tumbuh di dataran tinggi dengan ketinggian 400 sampai dengan 2.000 mdpl, bersuhu 18º C hingga -3º C, di mana karakeristik batang yang retak-retak dan daun yang membentuk seperti kumpulan jarum yang panjang.

Baca Juga: Tantangan Keluarga dalam Menghadapi Transformasi Digital di Bidang Jasa Keuangan, Bagaimana Manajemen Sumberdaya Berperan?

Menurut penelitian Zulvianita, Purnamahati, dan Dwiartama (2021), pemanfaatan dan pengelolaan getah pinus telah berhasil dilakukan oleh kelompok tani Taman Buru Masigit Kereumbi (TBMK). TBMK adalah salah satu dari 11 (sebelas) taman buru yang ada di Indonesia tepatnya di Sumedang, Jawa Barat.

Komoditi andalannya berupa tusam atau pinus (pinus merkusii) karena telah banyak dimanfaatkan dalam bidang industri seperti pelapis, pengemulsi, polimerasi, karet, sintesis, perekat, tinta, dan lain-lain.

Pada pemanfaatan HHBK berupa getah pinus perlu adanya strategi dalam proses pengelolaannya salah satunya adalah analisis pada stakeholder yang terlibat.

Kelembagan yang kuat dan solid membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) yang mandiri secara finansial dan keterampilan, hal ini yang dilakukan kedua kelompok tani yang berada di TBMK yaitu KTH Sawargi dan KTH Medal Kencana.

Sebelum melakukan analisis stakeholder yang harus diperhatikan adalah: a) Adanya keputusan stakeholder mempengaruhi aspek sosial dan sumber daya alam, b) Adanya suatu kelompok atau individu yang berpengaruh pada pengelolaan sumber daya hutan.

Baca Juga: Upaya dalam Meningkatkan Kelestarian Hutan dan Mencegah Kerusakan Hutan

c) Dalam proses pengambilan keputusan keberadaan individu dan kelompok diprioritaskan dalam  keterlibatannya pengambila keputusan. (Reed, Graves, Dandy, Posthumus, Hubacek, Morris, Prell, Quinn & Stringer, 2009). Sehingga diketahui analisis stakeholder di TBMK, sebagai berikut:

  1. Stakeholder kunci: adalah stakeholder yang memainkan peran penting dalam pengelolaan di mana memiliki kewenangan yang sah/ legal dalam pengambilan keputusan dan kebijakan.  Stakeholder kunci ini adalah KLHK dan BBKSDA Jawa Barat.
  2. Stakeholder primer: adalah kelompok yang berpartisipasi langsung dalam kegiatan pengelolaan serta memiliki kepentingan dalam kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan getah pinus di TBMK yaitu KTH Sawargi dan KTH Medal Kencana.
  3. Stakeholder sekunder: adalah kelompok pendukung kegiatan yang memberikan fasilitas dalam pelaksanaan kegiatan pemanfaatan  getah pinus oleh KTH yaitu FK3I, Koperasi pinus merkusii dan Kepala Desa Sukajaya.

Jika ditinjau dari aspek kelembagaan maka secara umum adanya kelembagaan telah memberikan manfaat positif dalam aspek sosial, ekonomi, dan kelembagaan. Stakeholder yang terlibat melakukan interaksi dengan baik antara satu dengan lainnya sesuai perannya masing-masing.

Informasi berjalan dengan kuat ataupun lemah karena adanya interaksi secara langsung dan tidak langsung  (Nidumolu, van Keulen, Lubbers, & Mapfumo, 2007).

Permasalahan yang ditemukan pada penelitian ini menjelaskan bahwa interaksi antara stakeholder terjadi cukup kuat satu sama lain kecuali pada stekeholder BBKSDA Jawa Barat dan Koperasi Pinus Merkusii.

Baca Juga: Peran Besar Para Pemuda dalam Melindungi Lingkungan

Penyebabnya dikarenakan adanya interaksi yang bersifat tidak langsung dan lemahnya pertukaran  informasi. Diperlukan penguatan kerja sama antar stakeholder dan peningkatan pengawasan oleh antar stakeholder dan pihak-pihak terkait dalam pengelolaan dan pemanfaatan HHBK.

Peran Kelembagaan dalam Pengelolaan Ekowisata Mangrove

Pengelolaan ekowisata mangrove sebagai salah satu pemanfaatan HHBK di Indoneisa salah satunya berada di pantai Bali, Kecamatan Talawi, Kabupaten Batubara, Provinsi Sumatera Barat. Dalam pemanfaatannya, tidak hanya terkait pada analisis teknis, tetapi diperlukan juga analisis ekonomi, sosial, dan kelembagaan.

Adanya keterlibatan masyarakat di dalam pengelolaan sumber daya hutan sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan karena secara pengetahuan masyarakat mempunyai pengetahuan dan pengalaman pada ekologi lokal termasuk pada sumber daya hutan mangrove.

Keterlibatan masyarakat dapat diwadahi dengan masuknya kedalam kelembagaan yang berbasis masyarakat  (Rangkuti, 2013).

Dengan adanya pengelolaan ekowisata hutan mangrove ini menambah pendapatan rata-rata anggota Kelompk Tani Hutan (KTH) karena di samping itu 25% memiliki mata pencaharian sebagai petani dan nelayan.

Berdasarkan pendapat masyarakat dengan adanya pengelolaan ekowisata membuat desa menjadi maju dan sekaligus memberikan peluang pekerjaan baru dimasa mendatang.

Baca Juga: Meningkatkan Kepedulian Sosial melalui Perlindungan Lingkungan

Untuk melihat seberapa besar partisipasi masyarakat dilihat dari keinginan mereka untuk terlibat langsung dalam pengembangan wisata, misalkan sebagai jasa penyeberangan perahu, tour guide /pemandu wisata dan membuka tempat-tempat kuliner di lokasi wisata.

Berdasakan hasil dari penelitian Muhtadi & Sitohang (2016), pengembangan kelembagaan ekowisata hutan mangrove dalam pola pengelolaan eksisting/ yang sudah ada sebelumnya untuk mengopimalkan koordinasi dan komando antar pihak-pihak yang terlibat.

Untuk merumuskan dan memodifikasi aturan dalam pengelolaan yang sesusai dengan kebutuhan pada saat ini dan kebutuhan dimasa yang akan datang perlu adanya acuan struktur kelembagaan yang terdiri dari (Ruddle, 1998):

  1. Kewenangan, terkait dengan wilayah kekuasan;
  2. Tata aturan, yakni aturan yang mengikat kedua belah pihak terkait pemanfaatan sumberdaya;
  3. Hak, berkaitan dengan hak antar kedua belah pihak;
  4. Kontrol, yaitu pemantauan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sesuai dengan aturan, perjanjian, norma mapun sanksi;
  5. Sanksi, adalah kesepakatan yang diberikan terhadap aturan yang telah dilanggar/ dicederai.

Aturan dalam pengelolaan suatu kawasan wisata perlu diterapkan untuk meminimalkan dan juga mencegah terjadinya konflik di antara pihak-pihak yang memanfaatkan sumber daya tersebut.

Konflik dapat terselesaikan dengan adanya pengelolaan yang baik dan juga memperhatikan keseimbangan ekosistem mangrove.

Dengan adanya pendekatan ekowisata dalam kegiatan ini dapat dijadikan acuan terjadinya dampak kerusakan lingkungan dan mendorong dilakukan konservasi biodiveristas yang menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi.

Usaha Budidaya HHBK: Lebah Madu yang Menjanjikan

Hampir setiap wilayah di Indonesia mengembangkan budidaya lebah madu di samping relatif mudah untuk dilakukan juga memberikan dampak yang baik bagi finansial petani lebah madu.

Produk turunan dari lebah madu ini sendiri adalah madu, propolis, royal jelly (bee milk), tepung sari (bee pollen), lilin lebah (bee wax), roti lebah (bee bread) dan racun lebah (bee venom).

Peningkatan jumlah produksi madu nasional dengan cara pengembangan usaha budidaya lebah madu merupakan salah satu program yang dilakukan oleh KPHL Rinjani Barat di wilayah kerjanya. Jika diihat dari kelayakan finansialnya, menurut penelitian Sari, Trisantika, Mundiyah dan Septiadi (2020).

Diketahui bahwa pekerjaan utama masyarakat sekitar kawasan KPHL Rinjani berprofesi sebagai petani hutan yakni jika di presentasikan sebanyak  86,67%.

Baca Juga: Air Bersih dalam Kehidupan Manusia

Sebagian besar masyarakat yang berada di resort Malimbu menggantungkan hidupnya pada sumber daya hutan sehingga keberadaa hutan dan masyarakat tidak dapat dipisahkan meiliki keterkaitan yang erat (Cronkleton et al 2013).

Masyarakat sekitar kawasan hutan lindung KPHL Rinjani yang berada di resort Malimbu hanya dapat memanfaatkan HHBK dan jasa lingkungan saja mengingat bahwa kawasan Rinjani merupakan kawasan hutan lindung milik negara.

HHBK yang dikembangkan adalah usaha budidaya lebah madu. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa usaha budidaya lebah madu layak secara finansisal, karena diketahui nilai NPV sebesar Rp 26.252.469,18.

Sedangkan nilai kriteria kelayakan investasi untuk lebah madu jenis madu trigona sp yaitu NPV sebesar Rp 96.764.781,19, Kelayakan finansial usaha budidaya lebah madu dalam penyusunan strategi pengembangan usaha sangat baik diterapkan bagi petani pemula untuk mengetahui kelayakan finansisal dari suatu usaha.

Penulis: 
1. Cindy Yoeland Violita
2.
Christine Wulandari
3. Hari Kaskoyo
4. Rudi Hilmanto

5.
Arif Ilmiyawan
6. Nanda Kurniasari
7. Popi Astuti
Mahasiswa Kehutanan Universitas Lampung

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Daftar Pustaka

Muhtadi, A dan Sitohang, P.S. 2016. Kelembagaan pengelolaan ekowisata mangrove di Pantai Bali Kabupaten Batu Bara ProvinsiSumatera Utara. Acta Aquatica, 3:1 (April, 2016): 26-32 ISSN. 2406-9825.

Nidumolu, U. B., van Keulen, H., Lubbers, M., &  Mapfumo, A. (2007). Combining interactive  multiple goal linear programming with an inter-stakeholder communication matrix to generate land use options. Environmental Modelling and Software, 22(1), 73–83. https:// doi.org/10.1016/j.envsoft.2005.11.004.

Palmolina, M. 2014. Peranan Hasil Hutan Bukan Kayu dalam Pembangunan
Hutan Kemasyarakatan di Perbukitan Menoreh (Kasus di Desa Hargorejo, Kokap, Kulon Progo, D.I. Yogyakarta. Jurnal Ilmu Kehutanan, 8 (2) : 117-125.

Sari, N.M.W.,  Trisantika, N.A., Mundiyah, A.I dan Septiadi, D. 2020. Kelayakan Finansial Usaha Budidaya Lebah Madu di KPHL Rinjani Barat, Nusa Tenggara Barat. AgriHumanis: Journal of Agriculture and Human Resource Development Studies, pp. 135-144 p-ISSN: 2721 2998, e-ISSN: 2721 1665  Volume 1, Number 2, Oktober 2020.

Zulvianita, D., Purnamahati, R.R., & Dwiartama, A. 2021. Evaluasi dan Strategi Pengelolaan Penyadapan Pohon Pinus Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat Di Sumedang, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Sosial Dan Ekonomi  Kehutanan Vol. 18 No.1, April 2021: 1-14 P-ISSN 1979-6013 E-ISSN 2502-4221 Terakreditasi RISTEKDIKTI Nomor 200/M/KPT/2020.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

1 Komentar