Penunjukan Indonesia sebagai Tuan Rumah Piala Dunia U-20 dan Penolakan terhadap Israel: Sebuah Paradoks

Piala Dunia
Ilustrasi Piala Dunia (Sumber: Media Sosial dari freepik.com)

Menjadi tuan rumah dalam gelaran Piala Dunia U-20 merupakan impian banyak negara. Indonesia adalah salah satu negara yang bermimpi dijadikan tuan rumah Piala Dunia.

Guna mewujudkan impian tersebut, pada 2019 silam Indonesia kemudian mengajukan diri sebagai tuan rumah.

Federation Internationale de Football Association (FIFA), selaku induk organisasi sepak bola internasional, mengabulkannya dengan menunjuk Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 yang akan digelar pada 2023.

Bacaan Lainnya

Penunjukan tersebut mengundang respon positif dari banyak pihak. Sebab untuk pertama kalinya Indonesia menjadi tuan rumah event resmi FIFA.

Piala Dunia U-20 tersebut akan diikuti oleh 24 negara. Israel adalah salah satunya. Keikutsertaan Israel tersebut mengundang penolakan dari segelintir pihak.

Penyebabnya karena kebijakan politik Israel terhadap Palestina. I Wayan Koster selaku Gubernur Bali dan Ganjar Pranowo selaku Gubernur Jawa Tengah adalah 2 pejabat yang frontal menolak.

Selain itu, banyak pihak lain juga berposisi demikian seperti kader dari Partai Amanat Nasional dan Partai Keadilan Sejahtera serta berbagai kelompok masyarakat.

Secara tak terduga, FIFA mencabut penunjukan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 bertepatan dengan munculnya gelombang penolakan terhadap keikutsertaan Israel tersebut. Tak ayal, keputusan FIFA mengundang kekecewaan.

Pasalnya mimpi Timnas Indonesia untuk tampil di Piala Dunia, pupus saat itu juga. Bagaikan peribahasa “sudah jatuh tertimpa tangga pula”, FIFA dikabarkan juga bakal menjatuhkan sanksi bagi Indonesia. Peristiwa tersebut menjadi sebuah paradoks.

Bagaimana tidak, Indonesia sendiri yang mengajukan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20, tetapi juga Indonesia sendiri yang menolak keikutsertaan Israel yang nyata-nyata telah mengantongi satu tiket untuk berlaga di gelaran tersebut.

Penolakan yang dilontarkan banyak pihak terhadap keikutsertaan Israel apabila Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 mengundang respon dari Presiden Joko Widodo.

Dari keterangan pers yang disiarkan melalui kanal Youtube Sekretariat Presiden, Jokowi secara tegas menyatakan agar urusan olahraga dipisahkan dari urusan politik.

Dalam momen tersebut, Jokowi juga mengutarakan bahwa FIFA telah mengetahui mengenai penolakan terkait keikutsertaan Israel dalam event resmi FIFA tersebut.

Sebagaimana yang lazim diketahui bahwa sejak Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, Indonesia selalu berkomitmen mendukung Palestina dalam meraih kemerdekaan.

Komitmen Indonesia tersebut kiranya sejalan dengan amanat Konstitusi UUD NRI 1945 yang menolak segala bentuk penjajahan sebab tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.

Di sisi lain Indonesia secara tegas mengutuk tindakan dan kebijakan penjajahan Israel terhadap Palestina. Fakta sejarah membuktikan bahwa Indonesia konsisten dengan komitmen tersebut yang telah ditunjukkan sejak masa kepemimpinan Soekarno.

Tidak hanya sebatas dukungan moral, Indonesia beberapa kali mengirim bantuan kemanusiaan bagi Palestina Secara politik luar negeri, Indonesia menerapkan prinsip bebas aktif.

Prinsip bebas artinya Indonesia bebas menentukan kebijakan dan tidak berpihak pada salah satu blok atau poros kekuatan negara-negara tertentu.

Sedangkan prinsip aktif artinya Indonesia memberikan sumbangsih dalam mewujudkan perdamaian dan ketertiban dunia.

Dalam konteks Palestina secara aktif Indonesia memperjuangkan kemerdekaan Palestina sekaligus mengecam penjajahan Israel yang mendegradasi perdamaan dan ketertiban dunia.

Ketegasan Indonesia dalam mengecam penjajahan Israel juga tampak dari tidak adanya hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Israel.

Bahkan Indonesia menolak mengakui kedaulatan Israel. Penulis sendiri berada dalam posisi yang menolak keikutsertaan dan/atau kedatangan Israel sebagai salah satu peserta apabila Piala Dunia U-20 jadi digelar di Indonesia.

Terlepas dari gencarnya gelombang penolakan seperti yang disampaikan berbagai pihak, Penulis memiliki beberapa basis argumentasi pribadi yang mendasarinya.

Pertama, secara sosio-politik harus disadari dan diakui bahwa masyarakat Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim tentu tidak akan rela apabila Timnas Israel berlaga di Indonesia.

Masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim memiliki hubungan emosional yang sangat erat dengan Palestina dan tentu menolak penjajahan Israel sebab Masjidil Aqsa di Palestina memiliki arti penting bagi umat muslim.

Di samping itu, masyarakat Palestina mayoritas juga beragama muslim seperti di Indonesia. Sebagaimana lazimnya dalam pertandingan sepak bola, maka setiap Timnas yang berlaga haruslah dikibarkan bendera negaranya dan diperdengarkan lagu kebangsaannya.

Dua hal tersebut tentu akan sulit dilakukan apabila mempertimbangkan aspek sosio-politik tersebut. Kondisi empiris dalam masyarakat tersebut tentu tidak bisa disepelekan atau dikesampingkan sehingga dapat dikatakan bahwa penolakan tersebut sesuai dengan nilai dan pilihan masyarakat.

Kedua, secara sosio-yuridis harus disadari dan diakui bahwa Pancasila sebagai dasar negara dan Konstitusi UUD NRI 1945 sebagai sumber dari segala sumber hukum pada dasarnya menentang penjajahan dan kolonialisme dalam segala bentuknya.

Sebab Sila Kedua Pancasila mengamanatkan kemanusiaan yang adil dan beradab, tentu penjajahan dan kolonialisme tidak sejalan dengan sila tersebut.

Pembukaan UUD NRI 1945 secara tegas dan jelas menentang dan mendorong dihapuskannya penjajahan diatas dunia. Penolakan ini tidak lain adalah sebagai wujud konsistensi dan implementasi terhadap Sila Kedua Pancasila dan UUD NRI 1945 tersebut.

Ketiga, penolakan ini juga sebagai wujud penguatan keseriusan dan komitmen Indonesia dalam mendukung kemerdekaan Palestina.

Komitmen tersebut tentu menjadi kabur dan tidak jelas apabila di satu sisi Indonesia mendukung Palestina, tetapi di sisi lain Indonesia juga menerima, mengibarkan bendera Israel, bahkan memperdengarkan lagu kebangsaan Israel.

Akan kabur dan tidak jelas pula komitmen Indonesia menentang penjajahan Israel apabila Indonesia menerima, mengibarkan bendera Israel, memperdengarkan lagu kebangsaan Israel.

Seandainya Indonesia tetap menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 kemudian mengibarkan bendera dan memperdengarkan lagu kebangsaan Israel, bukankah Indonesia menjadi “bermain 2 kaki”?

Keempat, mengenai pemisahan antara politik dengan olah raga. Apabila berbicara mengenai olah raga atau persepakbolaan dalam negeri, tentu akan sedikit lebih mudah untuk mengatakan atau memerintahkan untuk memisahkan antara politik dengan olah raga.

Namun permasalahannya kemudian adalah Piala Dunia U-20 ini merupakan event olah raga dunia/internasional yang diikuti oleh berbagai negara.

Tentu akan semakin sulit untuk memisahkannya dengan politik. Terlebih politisasi olah raga masih menjadi kultur yang terjadi hingga saat ini di Indonesia. Dengan demikian sangat sulit memisahkan politik dengan olah raga.

 

Penulis: Syifa Kinanthi Puji Utami
Mahasiswi Hubungan Internasional, Uin Syarifhidayatullah Jakarta

 

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Referensi:

Mudore, S. B. (2019). Peran Diplomasi Indonesia Dalam Konflik Israel-Palestina. Center of Middle Eastern Studies (CMES): Jurnal Studi Timur Tengah, 12(2), 170-181.

Prasetya, M. N., & Srifauzi, A. (2018). Diplomasi politik Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina. Jurnal PIR: Power in International Relations, 2(2), 179-193.

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0811-2564-888
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.