Langit sore itu berwarna jingga kemerahan. Cahaya matahari perlahan meredup di balik gedung-gedung kampus, Rahma seorang mahasiswi farmasi semester dua.
Ia yakin, sebagai mahasiswa farmasi, ia tidak hanya bertugas memahami senyawa kimia dan obat-obatan, tetapi juga memiliki tanggung jawab moral terhadap lingkungan,
Baginya, farmasi bukan sekadar ilmu tentang obat, tetapi juga tentang bagaimana menjaga harmoni antara manusia dan alam.
Ia berpendapat bahwa mahasiswa farmasi harus sadar akan dampak limbah laboratorium dan produk farmasi terhadap lingkungan.
Sebelum praktikum dimulai, para mahasiswa dikumpulkan di ruang auditorium untuk mengikuti briefing safety lab.
Dosen pengampu menjelaskan prosedur keselamatan, cara penggunaan alat pelindung diri, dan tata cara menangani bahan kimia berbahaya.
Rahma memperhatikan setiap instruksi dengan saksama. Baginya, safety lab bukan sekadar formalitas, melainkan bentuk tanggung jawab ilmiah dan etika profesi.
Saat praktikum kimia farmasi selesai, Rahma memperhatikan teman-temannya ingin langsung membuang sisa larutan ke wastafel.
Ia segera menegur, “Tunggu dulu, kita harus tahu dulu sifat bahan kimianya. Nggak semua bisa dibuang begitu saja.”
Menurutnya, memahami sifat bahan kimia adalah hal mendasar. Bahan korosif, mudah terbakar, atau toksik berbahaya bila masuk ke saluran air.
Larutan encer, seperti NaCl, etanol di bawah 24%, atau basa/asam yang sudah dinetralkan boleh dibuang, tapi pelarut organik, logam berat, dan asam pekat tidak boleh dibuang ke wastafel.
Memahami sifat bahan kimia adalah hal mendasar dalam praktikum.
Zat yang bersifat korosif, mudah terbakar, atau toksik sangat berbahaya bila masuk ke saluran air tanpa pengolahan.
Kita tidak boleh hanya berpikir selesai di meja praktikum. Apa yang kita buang bisa berdampak pada lingkungan di luar kampus, jika kita membuangnya sembarangan.
Bahan yang tidak boleh dibuang ke wastafel, karena berbahaya atau mencemari lingkungan, meliputi, pelarut organik seperti eter, kloroform, dan aseton dalam jumlah besar, senyawa logam berat (merkuri, timbal, kromium), bahan yang mudah terbakar atau bereaksi dengan air, larutan pekat dari asam kuat (HCl, H2SO4) atau basa kuat (NaOH), sisa reaksi yang menghasilkan gas beracun atau endapan berbahaya.
Ia menambahkan bahwa limbah seperti itu harus dikumpulkan dalam wadah khusus dan dilabeli, kemudian diserahkan ke petugas laboratorium untuk dikelola sesuai prosedur keselamatan.
Sebagai calon apoteker, kita mahasiswa farmasi diajarkan untuk memahami toksisitas dan degradasi senyawa kimia.
Kesadaran lingkungan harus dimulai dari lingkungan akademik. Bila tidak, ilmu yang kita pelajari akan kehilangan makna sosialnya.
Sebelum melakukan praktikum, di awal pertemuan kita mengikuti kegiatan safety lab.
Dalam rangkaian acara safety lab kita diberikan arahan dan informasi mengenai bahan-bahan yang berbahaya bagi lingkungan.
Sikap sembrono dalam membuang limbah mencerminkan ketidaktahuan atau ketidakpedulian, dua hal yang sangat bertentangan dengan etika profesi farmasi.
“Kalau kita ingin jadi apoteker yang bertanggung jawab, kita harus mulai dari hal kecil seperti ini,” ujarnya sambil mengingatkan satu per satu temannya yang hendak membuang limbah.
Rahma sering berpendapat bahwa laboratorium yang baik bukan hanya yang tertib di dalam, tapi juga bersih dan aman di sekitarnya.
Ia percaya, jika mahasiswa terbiasa acuh terhadap lingkungan sekitar lab, maka kelak mereka juga akan abai saat bekerja di dunia profesional.
“Kalau kita mulai peduli dari hal kecil, seperti memastikan botol limbah tidak dibiarkan terbuka di luar, kita sedang menyelamatkan lingkungan kampus sedikit demi sedikit,” ujar Rahma.
Opininya sederhana namun tegas: kepedulian terhadap lingkungan bukan pilihan, tapi bagian dari integritas sebagai ilmuwan.
Menurut Rahma, membuang limbah sembarangan adalah bentuk ketidakpedulian terhadap kehidupan di sekitar.
Ia percaya bahwa setiap tetes limbah mengandung potensi bahaya, terutama jika mengandung senyawa beracun atau logam berat.
Tumbuhan yang rusak hari ini bisa jadi awal dari rusaknya ekosistem kampus.
Baginya, lingkungan tidak pernah berdiri sendiri, apa yang kita buang di laboratorium bisa menyebar tanpa terlihat, meresap ke tanah, mencemari air, dan akhirnya merusak kehidupan.
“Kalau kita sebagai mahasiswa farmasi saja tidak peduli, siapa lagi yang bisa jadi contoh?” tambahnya dengan nada prihatin.
Rahma menegaskan bahwa ilmu yang mereka pelajari tentang toksisitas dan stabilitas zat kimia seharusnya membuat mereka lebih sadar, bukan lebih ceroboh.
Ia yakin, jika mahasiswa mulai memperlakukan limbah sebagai tanggung jawab bersama, maka lingkungan kampus akan tetap hijau dan sehat untuk generasi berikutnya.
Penulis: Dhea Oktavia
Mahasiswa Prodi Farmasi, Universitas Islam Indonesia
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News